Persija kini menjadi satu-satunya kebanggaan warga ibukota Indonesia di kancah sepak bola nasional. Selama hampir sedekade terakhir, Macan Kemayoran seperti menari sendirian di lapangan luas bernama Jakarta.
Padahal, publik sepak bola nasional sebelumnya pernah mendengar nama-nama semacam Pelita Jaya, Persijatim Jakarta Timur, Persitara Jakarta Utara, hingga Warna Agung.
Keempat klub yang disebut terakhir itu juga pernah menjadi wakil Jakarta di kompetisi kasta teratas Indonesia pada era profesional.
Belum lagi bila garis sejarah ditarik sedikit lebih panjang ke masa Galatama. Pada musim pertamanya saja (1979/1980), tercatat delapan klub Jakarta ada di Divisi Utama dengan dua lainnya di Divisi Satu.
(Baca Juga: Wawancara Hargianto: Persija adalah Impian Anak Jakarta!)
Persija seakan kembali ke masa sebelum 1975 saat keinginan Ketua Umum-nya, Soekahar, memperjuangkan berdirinya Komda PSSI DKI Jaya terwujud walau ketika itu ia sudah diangkat sebagai Duta Besar Rumania dan posisinya digantikan oleh Soekendro. Hal ii termuat di BOLA edisi nomor 50, terbitan Jumat, 8 Februari 1985.
Setelah Persija yang dianggap mewakili Jakarta Pusat, lahirlah empat perserikatan lain sebagai representasi masing-masing wilayah administratif di Jakarta.
(Baca Juga: Timnas Indonesia Krisis Bek Kanan, Cuma Dua Sepanjang 2018)
Namun, satu per satu ‘menyerah’ dengan sejumlah alasan berbeda.
Persijatim Jakarta Timur, hampir setiap musim mendampingi Persija di kasta teratas selama sewindu pertama Liga Indonesia, hijrah ke Solo pada 2002 akibat krisis finansial yang menghantam sebelum kemudian dibeli oleh pemerintah provinsi Sumatera Selatan dan berganti nama menjadi Sriwijaya FC pada 2004.
Sebagian dugaan menyebut krisis yang menimpa Persijatim juga tak lepas dari sikap Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Sutiyoso, yang lebih memedulikan Persija.
Persijatim, yang sempat menempati peringkat kedua Wilayah Barat Liga Indonesia 1999/2000 alias tepat di bawah Macan Kemayoran, bahkan dianggap sebagai 'pengganggu'.
Persijatim, yang diperkuat oleh pemain seperti Gendut Dony dan Francis Wawengkang, ketika itu menjadi tim tersubur di fase wilayah dengan 49 gol. Persija ketika itu menguntit di bawahnya dengan selisih 1 gol lebih sedikit.
Sementara Persitara Jakarta Utara, yang sempat memiliki pemain sekaliber Javier Rocha, tak pernah lagi kembali ke kasta teratas sejak terakhir kali terdegradasi pada Liga Barat FC bahkan sama sekali tak pernah hadir di kompetisi kasta teratas Indonesia.
Okelah, saat ini memang ada Bhayangkara FC, yang bermarkas di Jakarta, tepatnya di Stadion Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, jelang Liga 1 2017.
Luis Milla Dipastikan Batal Datang ke Indonesia, Ini Alasannya https://t.co/KVTiEoffrO
— BolaSport.com (@BolaSportcom) October 9, 2018
(Baca Juga: Opening Ceremony Asian Paragames 2018 - Pesan Presiden Jokowi dalam Pidatonya)
Namun, kendati secara luar biasa langsung menjadi juara, klub berjulukan The Guardians ini tak pernah dianggap sebagai wakil ibukota.
"Bhayangkara FC adalah punya Mabes Polri walau home base kami tetap di Jakarta," kata Manajer Bhayangkara FC, Sumardji.
Anggapan itu bukan hanya dari internal, tetapi juga muncul di kepala warga Jakarta.
“Bhayangkara FC memang bermarkas di ibukota, tetapi tim ini identik dengan Polri. Orang lain juga akan menyebut tim ini sebagai klub polisi, bukan klub Jakarta,” kata gelandang M. Hargianto.
“Sejumlah teman suporter juga menganggap demikian, mengatakan bahwa Bhayangkara bukan tim Jakarta. Kalau sudah begini, saya akan membalas bahwa setidaknya Bhayangkara FC punya stadion sendiri. Hanya, itu buat bercanda saja,” ucapnya.
Pertanyaannya, apakah Jakarta terlalu sempit untuk melihat ada klub lokal selain Persija di kompetisi kasta teratas Indonesia?
Eks striker timnas Indonesia, Bambang Nurdiansyah, menyebut hal ini tak menjadi masalah.
“Setidaknya, hal ini bagus buat bisnis klub. Warga Jakarta yang mendukung Persija jadi lebih banyak karena mengusung semangat kedaerahan. Aspek bisnisnya jadi lebih mudah digarap. Perlu diingat bahwa dulu Galatama kendur karena kekurangan suporter,” ujar Banur, sapaan akrabnya.
Lelaki kelahiran Banjarmasin pada 57 tahun ini juga tak menganggap keberadaan Persija sebagai satu-satunya klub top di ibu kota jadi penghambat keran lahirnya pemain asli Jakarta.
(Baca Juga: The Jak Mania Tagih Janji Pemprov Soal Stadion Baru, Bos Persija Angkat Bicara)
“PSSI saat ini sudah memperbaiki sistem kompetisi hingga lebih terstruktur dan berjenjang. Selain itu, juga sudah ada kompetisi di level junior dan klub amatir,” kata eks pilar klub Arseto dan Tunas Inti di era Galatama tersebut.
“Pesepak bola muda Jakarta bisa membuktikan kualitasnya di level junior dan amatir itu lebih dulu. Kalau kualitasnya memang bagus toh pasti akan diboyong oleh Persija. Jadi, saya tidak melihat dampak jelek dengan hanya Persija yang ada di Jakarta,” ujar Banur.
Editor | : | Andrew Sihombing |
Sumber | : | BolaSport.com, Tabloid Bola |
Komentar