Rasanya tidak perlu survei bahwa sebagian besar Jakmania dan Bobotoh adalah Muslim. Bukankah sesama Muslim tak boleh bermusuhan selama lebih dari tiga hari?
Saya bukan mau berdakwah, karena memang bukan ahlinya. Ini hanya sebuah keadaan yang mesti sama-sama kita perbaiki.
Bahwa permusuhan di antara suporter hendaknya tidak melebihi batas, baik batas waktu maupun, apalagi, batas kemanusiaan.
Rivalitas wajib dimiliki, karena itu adalah rohnya olahraga.
Di mana pun itu selalu tersaji, apakah antarnegara atau antarklub. Tanpa rivalitas, olahraga hambar.
Perseteruan di antara klub-klub tertentu di Indonesia, sayangnya, masih belum sepenuhnya bermakna rivalitas.
Perseteruan mereka berupa permusuhan yang mengarah ke kedengkian mendalam.
Jakmania vs Bobotoh dan Aremania vs Bonek adalah dua contoh klasik untuk hal itu.
Rasanya korban nyawa sudah berulangkali jatuh, tapi permusuhan tak juga reda.
Saya dan kita semua berharap bahwa kematian Ricko Andrean benar-benar menyadarkan siapa pun.
Menyadarkan, terutama, Bobotoh dan Jakmania, menyadarkan Aremania dan Bonek, menyadarkan siapa saja yang merasa cinta dan memiliki sepak bola Indonesia.
Menyadari bahwa bermusuhan berlama-lama dan tanpa sebab itu memang tidak baik.
Dari sisi agama (agama apa pun yang mereka anut), atau dari sisi kemanusiaan.
Di sepak bola ada contoh menarik soal kerusuhan ini: Tragedi Heysel 1985.
Saya tak mau menjelaskan panjang lebar soal tragedi yang menyebabkan tewasnya sekitar 39 orang yang sebagian besar penggemar Juventus itu.
Yang saya mau tekankan adalah cara UEFA menghukum.
Mereka bukan hanya menghukum Liverpool, klub lawan Juventus di final Piala Champion saat itu, tapi juga sepak bola Inggris secara keseluruhan.
Klub-klub mereka dilarang tampil di kancah antarklub Eropa selama lima musim.
Pukulan telak, pasti. Karena kejuaraan antarklub Eropa itu bukan hanya ajang bergengsi, tapi juga sekaligus pentas cari uang.
Dari sini, bisa saja PSSI menjatuhkan hukuman serupa bila terjadi peristiwa yang dampaknya adalah nyawa suporter.
Larang klub tersebut mengikuti kompetisi selama lima tahun. Jangan pedulikan nama besar klub, tapi pedulikan nyawa suporter.
Saya yakin, kalau hukuman tegas ini bisa terlaksana, efek jeranya akan berdampak bagus buat masa depan sepak bola Indonesia.
Masa depan yang bukan hanya muaranya adalah prestasi, tapi juga suporter yang tertib. Tertib mendukung klub kesayangan dengan jiwa sportivitas sudah tertanam di dalam dada mereka.
Saya kok membayangkan suatu waktu tercipta pemandangan indah ini.
Ketika Persija menjamu Persib, di mana pun stadionnya, di antara puluhan ribu Jakmania yang tentu saja berbaju oren (oranye), terselip satu sektor biru dengan keriuhan Bobotoh.
Mereka boleh saling ledek, tapi tidak saling lempar.
Mungkin di awal kondisi ini tercipta bolehlah ada batas pasukan pengaman, untuk jaga-jaga, tapi selanjutnya kita harapkan alamiah terjadi. Begitu juga di Bandung nanti.
Di antara lautan biru Bobotoh, tersisa pasukan oren yang pergi dan pulang untuk menyaksikan Persija dengan aman dan nyaman.
Di Malang, Surabaya, Yogya, Solo, Sleman, atau mungkin di luar Jawa, kondisi ini juga harus kita usahakan tercipta.
Seperti slogan lama tapi tetap relevan untuk kasus ini, 'kalau bukan kita yang melakukan, siapa lagi?'. Tidak perlu ada seminarseminar untuk memulainya.
Cukup diawali dengan kedatangan pentolan-pentolan suporter, diikuti lapisan bawahnya.
Kalau perlu pakai cara presiden kita, Pak Jokowi, sering-sering makan bareng pakai jersey kebesaran.
Ingat, negeri ini sudah banyak masalah dan sepak bola jangan ikut-ikutan nambahin masalah.
@pemredBOLA
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.789 |
Komentar