BOLASPORT.COM – Pujian pelatih Islandia, Heimir Hallgrimsson, adalah tamparan buat sepak bola Indonesia.
Pujian yang dilontarkan Heimir Hallgrimsson terhadap pemain Indonesia dan Stadion Utama Gelora Bung Karno adalah sebuah kenyataan.
Bukan hanya Febri Haryadi yang pantas bermain di luar negeri, banyak pemain lain yang layak untuk berkompetisi di negara yang sepak bolanya jauh lebih baik.
Stadion yang dulu bernama Stadion Utama Senayan itu merupakan stadion bersejarah dengan inovasi yang jauh ke depan.
Ketika Soekarno membangun stadion dengan kapasitas 100 ribu penonton pada 1960, hal itu menjadi simbol sebuah kemajuan bangsa.
Sudah direnovasi beberapa kali, kini di mata Hallgrimsson SUGBK lebih baik dibanding stadion yang ada di Eropa.
Tetapi pujian dokter gigi itu juga sekaligus tamparan bagi bangsa ini.
(Baca Juga: Luis Milla Terpesona dengan Pemain Persebaya Surabaya)
Bukan tidak mungkin juga pujian itu adalah sindiran pedas buat negara yang punya kapasitas dan kelebihan yang tak dimiliki oleh Islandia.
Dalam berbagai hal, hanya satu keunggulan negara Nordik yang berposisi di sebelah barat laut Eropa dan sebelah utara Atlantik itu.
Yakni postur yang lebih tinggi dibanding rata-rata orang Indonesia.
Selebihnya? Luas wilayahnya kurang dari 10 persen wilayah Indonesia.
Penduduknya hanya sekitar 0,3 persen populasi penduduk negeri ini.
Dua pertiga penduduknya bertumpuk di satu kota: Reykjavik, sekaligus sebagai ibu kota negara Republik Islandia.
Jadi, sulit dipercaya negara yang hanya bisa melihat matahari selama 4 bulan dalam setahun itu bisa lolos ke Piala Dunia.
Akan lebih sulit lagi dipercaya kalau negara yang hanya berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa punya pelatih sepak bola berlisensi UEFA lebih dari 500 orang.
Lebih dari 100 pelatih lain memiliki lisensi nasional di negara penuh salju itu.
(Baca Juga: Pelatih Timnas U-16 Indonesia Minta PSSI Profesional Terkait Kontrak)
Artinya, 20 persen lebih dari penduduk negara yang bersuhu di bawah nol sampai minus 23 derajat itu adalah pelatih sepak bola.
Lalu, sejak kapan negeri Bumi Es ini membangun sepak bola mereka? Sejak kapan mereka melahirkan pelatih-pelatih tersebut?
Boleh percaya, boleh tidak. Negara dengan luas 103 ribu kilometer persegi dan terdiri dari pulau-pulau penuh es itu baru melakukan revolusi sepak bola sejak 2002. Atau tepatnya sekitar 15 tahun silam.
Coba bandingkan dengan Indonesia, negeri dengan populasi penduduk lebih dari 260 juta jiwa.
Nusantara memiliki luas 1.905 juta kilometer persegi dan kita sudah membangun sepak bola sejak 1930.
Pada awal tahun 2000-an pemerintah Islandia dan Asosiasi Sepak Bola Islandia (KSI) memunculkan ide untuk membangun lapangan indoor.
Mereka menamakannya dengan rumah sepak bola.
Semula dibangun 15 rumah sepak bola dengan harapan pada cuaca ekstrim selama delapan bulan anak-anak muda negeri itu bisa terus berlatih sepak bola.
Kini, jumlah rumah sepak bola terus berkembang. Tak hanya di setiap kota-kota besar dan kecil, juga setiap sekolah punya rumah sepak bola.
Komplek-komplek perumahan menyediakan fasilitas yang sama.
(Baca Juga: Target Bima Sakti untuk Timnas U-19 Indonesia pada Piala AFF U-18 2018)
Lalu, setelah punya fasilitas latihan pada musim dingin, KSI mulai berpikir untuk menciptakan pemain dan pelatih berkualitas.
Dengan mengusung moto: “Untuk melahirkan pemain berkualitas dibutuhkan pelatih berkualitas. Melahirkan pelatih berkualitas dibutuhkan pendidikan kepelatihan yang baik”, KSI mulai membangun komunikasi dengan UEFA.
Salah satu jurus jitu yang mereka sampaikan kepada UEFA adalah meminta Asosiasi Sepak Bola Eropa itu untuk menggelar pelatihan pelatih UEFA B di Islandia pada 2003.
Hasrat itu dipenuhi UEFA. Setahun kemudian latihan kepelatihan UEFA A juga digelar di negara yang dulunya menjadi bagian negara Norwegia itu.
Nah, lapangan sudah, pemain-pemain muda mulai bermunculan. Pelatih-pelatih andal dan berlisensi juga sudah. Lalu, bagaimana menciptakan pemain berkelas?
Melahirkan pemain dari kompetisi yang hanya selama 4 bulan jelas tidak mungkin.
Tak cukup waktu untuk mencetak pemain berkelas nasional dan internasional dengan hanya ber-matahari selama 120 hari.
Kemudian, muncul lagi gagasan KSI untuk meminjamkan pemain-pemain muda mereka ke berbagai negara di Eropa.
Belakangan, sejumlah klub Liga Eropa mulai tertarik. Selain kualitas pemain juga didapat dengan harga murah bahkan gratis.
Tak menunggu lama, hanya dalam beberapa tahun kemudian Islandia yang dulunya sebagai pelengkap penderita dalam setiap kali tampil dalam babak kualifikasi Piala Eropa, kini muncul sebagai distroyer alias perusak.
Ajang Piala Eropa 2016 dan Kualifikasi Piala Dunia 2018 adalah bukti kabar Islandia sebagai distroyer.
Setelah mampu mencapai babak perempat final Piala Eropa di Prancis 2016, Islandia kemudian merepotkan Kroasia pada Grup I untuk lolos otomatis sebagai juara grup ke Piala Dunia 2018.
Bagaimana dengan sepak bola Indonesia?
Ada pesan sekaligus harapan dari pelatih Islandia yang tak kalah pedihnya kalau dimaknai dengan hati dan ketulusan.
Isinya: “Semoga suatu saat nanti kita bertemu di pentas Piala Dunia”.
Ada hal tersirat yang bermakna caci-maki buat negara besar yang sepak bolanya tak kunjung beranjak maju.
Negara yang kelebihan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber cahaya matahari, plus kelebihan yang tak pantas dibandingkan dengan negara yang merdeka dari Denmark itu.
Islandia sadar bila kompetisi di dalam negeri tak akan menghasilkan pemain hebat.
Solusi yang tepat adalah menyebar semua potensi pemain muda bermain di berbagai klub sepak bola di Eropa dengan harga murah, lalu mereka menikmati dengan nilai yang amat mahal: lolos ke Piala Dunia.
Berbeda dengan kita. Indonesia belum berani melakukan hal sama. Karena unsur komersialisasi jauh lebih penting. Peran pemerintah juga belum maksimal.
Ketika muncul talenta muda yang berstandar Eropa, kita hanya bisa berbangga.
Tetapi, kita tak pernah berupaya memudahkan jalan mereka guna menimba ilmu di negara yang sepak bolanya jauh lebih sempurna.
Mungkin, setelah kedatangan timnas Islandia, ada pola pikir baru yang lahir dari PSSI serta dukungan pemerintah untuk membangun sepak bola Indonesia.
(Baca Juga: Februari 2018, Timnas U-23 dan U-19 Gelar TC Bersama)
Bukan sekadar menonton pertandingan timnas, juga “menonton” yang tersirat dari hal-hal baik negara yang datang beruji coba.
Memikirkan bahwa suatu suatu saat nanti timnas Indonesia yang datang ke Eropa untuk beruji coba menjelang keikutsertaan di Piala Dunia.
Bisa? Bisa! Asal sama-sama bertekad untuk itu.
Bekerjalah sepenuh hati, niscaya kita akan menuai mimpi. Tetapi, kalau bekerja setengah hati, selamanya kita akan bermimpi!
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar