Pada kesempatan pertama berlaga kembali dengan status sebagai salah satu peserta kompetisi kasta teratas Indonesia di Piala Presiden 2018, PSMS Medan langsung bersua dua karib lama sejak era Perserikatan.
Setelah PSM Makassar, giliran Persib Bandung yang bakal dihadapi pada Minggu (21/1/2018).
Sebagian orang menilai laga kontra Persib ini punya gengsi yang lebih istimewa bagi Tim Ayam Kinantan.
Julukan mentereng el clasico Indonesia buat laga ini menunjukkan hal tersebut.
Nilai spesial laga ini juga, diakui atau tidak, dirasakan oleh bobotoh walau dengan pemaknaan yang berbeda.
Bagi suporter Persib, laga ini diiringi aroma balas dendam kekalahan tim kesayangan mereka dalam drama adu penalti di final Perserikatan 1985.
Laga tersebut memang menyisakan dampak yang masih terasa setelah 33 tahun.
Hal ini tak lepas dari tingginya harapan suporter Persib dan warga Jawa Barat ketika itu.
(Baca Juga: Hadapi PSMS Medan, Persib Bandung Harus Bekerja Lebih Keras)
Sebagaimana dilaporkan Pikiran Rakyat, jalanan di Kota Bandung lengang menjelang pertandingan pada 23 Februari 1985 tersebut.
Toko-toko televisi di sekitar Jalan Dalem Kaum, Braga, Cicadas, Kosambi, dan Cicaheum dikerumuni pengunjung yang hendak menyaksikan laga.
Adapun di Stadion Utama Senayan, sekitar 150 ribu orang hadir hingga meluber ke pinggir lapangan dan membuat pertandingan ini mencatatkan rekor penonton terbanyak di dunia untuk level amatir.
Besarnya kekecewaan Persib ketika itu bahkan membuat banyak dari mereka yang kini melupakan momen ketika kiper Sobur tertelungkup di atas lapangan sambil membenamkan wajah di atas rumput lapangan Stadion Utama Senayan pada 10 November 1983.
Ketika itu, Persib juga kalah lewat adu penalti di laga puncak Perserikatan.
Warna Baru
Menariknya, dua pukulan besar itu tak membuat kedua klub maupun suporter masing-masing menyimpan dendam kesumat.
Tak percaya? Buktinya, selepas final Perserikatan 1983, Persib tetap bersedia memenuhi undangan PSMS sebagai peserta turnamen segitiga bersama klub Jerman, Freiburg, di Stadion Teladan, Medan, pada bulan Desember.
(Baca Juga: Lawan Persib, Legimin Rahardjo dkk Nikmati Atmosfer Pertandingan)
Selepas kekalahan menyesakkan di edisi 1985, Persib maupun bobotoh juga merelakan Robby Darwis, Adjat Sudradjat, dan beberapa pemain lain berlatih bersama PSMS dan memperkuat Tim Ayam Kinantan di Piala Merlion.
Suporter PSMS pun menerima mereka dengan tangan terbuka. Setelah melihat Adjat dalam beberapa sesi latihan misalnya, fan PSMS menjuluki sang legenda sebagai "Soetjipto Soentoro baru".
Jalinan mesra itu terasa hingga sekarang.
Lihat saja skuat PSMS Medan di Piala Presiden 2018, sangat kental dengan aroma Jawa Barat.
Selain mempertahankan Suhandi, Roni Fatahillah, Choiril Hidayat, dan mengontrak Djadjang Nurdjaman sebagai pelatih, Tim Ayam Kinantan kini diperkuat Dhika Bayangkara, Erwin Ramdani, Abdul Aziz Lutfi, dan Jajang Sukmara.
Sebagaimana lelaki Sumatra Utara, khususnya Batak, yang kerap kesengsem dengan kecantikan para mojang, PSMS juga punya jalinan cinta istimewa dengan pemain dari Tanah Sunda.
Masih ingat dengan Usep Munandar? Tersingkir dari skuat Maung Bandung akibat kehadiran pemain bintang, Usep menjadi pujaan publik Teladan kendati cuma sebentar memperkuat tim asal Medan tersebut.
Usep mencuri hati suporter PSMS berkat permainan lugas dan kengototan yang membuat istilah "lebih Medan daripada anak Medan" disematkan padanya.
(Baca Juga: Eka Ramdani Akui Skuat PSMS Medan Memiliki Keunggulan Ini)
Hal serupa juga diperlihatkan Boy Jati Asmara yang membuat namanya disimpan di tempat spesial dalam hati suporter PSMS hingga saat ini.
Jajang Sukmara punya karakter yang membuatnya bisa saja mengikuti jejak para pendahulunya itu.
Lelaki 29 tahun ini tumbuh dari keluarga pas-pasan yang membuatnya cuma punya sepasang sepatu ketiga magang di Persib hingga Cristian Gonzales iba dan menghibahkan sepatu bola buat Jajang.
Fakta bahwa ia tersingkir dari Persib akan membuat Jajang mengusung motivasi pembuktian diri bersama Tim Ayam Kinantan.
Lain halnya dengan Erwin dan Abdul Aziz. Dua pemain ini diberkati dengan kualitas teknik oke yang bisa menjadi warna tersendiri di PSMS.
Bukankah tim yang berisi mayoritas pekerja keras seperti Atletico Madrid juga membutuhkan pemain berteknik tinggi sebagaimana halnya Arda Turan dulu dan kini Antoine Griezmann?
Menegur dengan Indah
Para pilar Tanah Pajajaran ini setidaknya sudah berkontribusi besar, termasuk gol penyeimbang melalui Suhandi, saat PSMS meraih kemenangan 2-1 versus PSM di laga perdana Grup A.
Hanya, pertandingan ini juga semestinya telah meninggalkan perasaan miris di hati penikmat sepak bola Sumatra Utara.
Dari daftar starting XI yang diturunkan Djadjang Nurdjaman pada partai tersebut, cuma kapten Legimin Rahardjo yang merupakan pemain asli Sumatra Utara.
Hal ini jelas merupakan pukulan telak bagi daerah yang punya sejarah panjang sebagai produsen pesepak bola berkualitas yang juga menjadi andalan di timnas.
Siapa tak kenal Ricky Yacobi, striker legendaris era 1980-an yang mendapat julukan sebagai Paul Breitner dari Medan.
Kota Binjai juga pernah melahirkan Zulkarnain Lubis, gelandang legendaris era 1970-an yang disebut sebagai Maradona dari Indonesia.
Belum lagi nama-nama seperti Ponirin Meka, Ronny Pasla sang penepis tendangan penalti Pele, Ansyari Lubis, Peri Sandria, Mahyadi Panggabean, Saktiawan Sinaga, dan masih banyak lagi.
Menyebut Medan dan Sumatra Utara sudah berhenti menghasilkan talenta hebat tentu tak benar.
Paulo Sitanggang lahir serta mengenyam masa kecil di Deli Serdang. Sementara si bocah ajaib Egy Maulana Vikri yang fenomenal itu lahir di Medan.
Namun, mereka lahir bukan dari pembinaan yang sistematis dan berjenjang.
Paulo meninggalkan Medan saat masih SMU karena menilai Jember lebih tepat untuk mengembangkan kariernya.
Adapun kisah Egy yang nyaris berhenti bermain sepak bola karena dimintai uang untuk bisa bermain di Jakarta menjadi secuil gambaran betapa mengerikannya atmosfer bal-balan di Sumatra Utara.
PSMS bukannya tak punya andil bagi terciptanya kondisi ini. Sebagai tim profesional, semestinya dan tidak bisa tidak PSMS memiliki akademi atau diklat berjenjang.
(Baca Juga: Sempat Tepuk Jidat Saat Diskusi dengan Essien, Eka Ramdani Tak Masalah di Pos Nomor 6)
Bukankah lewat cara seperti itu Persib kini bisa memiliki pemain seperti Febri Hariyadi?
Karenanya, kemunculan Febri bisa dimaknai sebagai indahnya cara Persib 'menegur' PSMS terkait pembinaan usia dini.
Saya yakin para pelaku sepak bola di Sumatra Utara telah menyampaikan hal semacam ini serta solusinya.
Pertanyaannya, jajaran manajemen PSMS, termasuk sang pembina yang juga Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, tidak anti-kritik dan saran kan?
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar