Sinar matahari pagi masuk lewat jendela restoran Hotel Century, Jakarta, 2004 silam. Cahaya menguning itu menyirami sekujur tubuh Dedeh Erawati yang terduduk di salah satu meja restoran.
Air mata banjir di wajah pelari gawang putri itu. Wanita kelahiran Sumedang, 25 Mei 1979, ini tak tahu ke mana tujuan hidupnya selain berlari tanpa mendapat medali apa-apa.
Pada 2004, nama Dedeh sudah cukup dikenal masyarakat. Ia adalah atlet yang rutin dikirim Indonesia untuk mengikuti SEA Games. Saat itu, terhitung ia telah mengikuti tiga SEA Games tanpa sekali pun pulang dengan medali emas.
"Saya merasa sudah berlatih keras, tapi tak mendapat hasil apa pun. Waktu itu saya merasa sia-sia sebagai atlet, karena tak bisa menjadi juara meski sudah berlatih maksimal. Saya tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukan. Saya pun ingin berhenti menjadi atlet," katanya.
Suasana haru Dedeh kala itu dipergoki Fahmy Fachrezzy, pelatih dari pelatnas aerobik. Entah mengapa, Fahmy, yang tak begitu mengenal Dedeh, terdorong untuk mendekatinya.
Hotel Century adalah tempat menginap para atlet dari beberapa cabang olahraga yang tengah mengikuti pelatihan nasional (pelatnas) menjelang SEA Games Filipina 2005.
Ia lantas duduk tepat di depan Dedeh. Mereka hanya dibatasi sebuah meja yang dihiasi dengan tisu, pot bunga, dan beberapa hiasan lainnya.
(Baca Juga: 3 Pesepak Bola Berdarah Indonesia di Kasta Atas Liga Eropa, Akankah Bermain untuk Timnas?)
“Kamu kenapa?” Fahmy bertanya pada Dedeh. Lawan bicaranya tak langsung menjawab. Dedeh malah sibuk menyibak air mata di pipinya, baru menjelaskan apa yang tengah dirasakan: kegundahannya sebagai atlet dengan pandangan masa depan yang suram saat itu.
Setelah itu Dedeh terdiam. Dia menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan Fahmy berikutnya. Tak habis akal, Fahmy lantas mengambil selembar tisu restoran.
“Kamu coba tulis apa keinginanmu di tisu ini. Curahkan apa cita-citamu di atasnya,” kata Fahmy pada Dedeh. Dedeh, yang masih dirundung haru, mengikuti apa kata Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Setelah menulis, ia menggenggam erat tisu itu 30 menit lamanya. Ia kembali menangis, berdoa, sampai selembar tisu itu banjir oleh air matanya.
Suasana kembali sunyi. Dedeh diam dengan cita-cita pada tisunya. Sementara Fahmy diam dengan satu tekad di hatinya: membantu Dedeh sebisa mungkin untuk menggapai cita-citanya meski ia tak tahu apa yang Dedeh tulis di atas tisu itu.
Memang apa yang Dedeh tulis dalam secarik tisu itu? Olimpiade!
Perkenalan dengan Dedeh
Sejak saat itu Fahmy dan Dedeh sering bertemu untuk berlatih. Tentunya, dengan cara diam-diam karena Fahmy tak ingin dianggap mengintervensi program latihan Dedeh yang tengah dibangun Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI).
Hal pertama yang dilakukan fahmy adalah mengubah pandangan Dedeh pada dunia olahraga. Bahwa mimpi menjadi juara dunia bukan hal yang tak mungkin dicapai orang Indonesia. Tak hanya itu, cara pandang Dedeh terhadap pola latihan pun ia ubah.
Saat itu, Fahmy menemukan tubuh Dedeh yang tak terprogram dengan baik. Banyak program latihan yang tak pas diberikan padanya, sehingga menghambat mencapai performa terbaik sebagai seorang sprinter.
“Misalnya, secara lahiriah, setiap orang memiliki bentuk otot dengan sifat berbeda-beda. Tentu program pengembangan pelatih perlu menyesuaikannya. Dedeh tidak mencapai itu,” kata Fahmy.
Selain kondisi fisik yang tak ditunjang dengan bentuk latihan, teknik berlari Dedeh kala itu pun tak tepat. Misalnya, dalam urusan ayunan tangan selama berlari dan posisi pantat saat melompati gawang.
Membentuk apa yang telah tercipta bukan urusan mudah. Apalagi, Dedeh dikenal sebagai sosok yang keras kepala. Bukan hal baru jika Fahmy dan Dedeh kerap bertengkar hanya karena masalah-masalah teknis.
Maka itu tak heran jika Fahmy kerap mengajak Dedeh ngopi setelah latihan. “Dalam suasana santai, Dedeh lebih bisa menerima masukan. Kalau saya beri masukan di lapangan (Sesaat setelah latihan usai), Dedeh lebih keras kepala. Mungkin karena capek,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Dedeh mengalami peningkatan drastis. Ia mencapai setiap program latihan yang diberikan Fahmy. Selang setahun, ia mendapat perak di SEA Games Filipina 2005.
Baik Fahmy maupun Dedeh tak kecewa dengan hasil perak saat itu. Terutama Dedeh, mulai percaya bahwa prestasi besar tak dicapai dengan cara mudah.
Sejak saat itu, Dedeh pun menjadi langganan Indonesia dalam mengikuti SEA Games dan kejuaraan-kejuaraan internasional lain. Performanya terus meningkat, dan semangatnya sebagai olahragawan semakin menggebu-gebu.
Ia mengukir prestasi terbaik dengan menggondol emas SEA Games Myanmar 2013, Thailand 2007, dan Laos 2009. Dedeh pun menjadi satu-satunya atlet Indonesia yang diundang di Kejuaraan Atletik Grand Prix Asia 2006-2010.
Puncaknya ialah ketika Dedeh menerima informasi penting dari PASI pada 2008. Ia resmi menjadi kontingen Indonesia untuk Olimpiade Beijing 2008 bersama pelari jarak jauh putri, Triyaningsih.
“Sambil gemetaran, saya menelpon kak Fahmy. Saya bilang: Kak, saya terpanggil untuk ikut olimpiade. Itu yang saya tulis di atas tisu waktu 2004 di Hotel Century,” ujar Dedeh. Di sana Fahmy baru tahu apa yang Dedeh cita-citakan sejak 2004.
Pada 2008, Dedeh memang tidak pulang dengan medali olimpiade. Tapi, sebagaimana mazhab para atlet: siapa pun yang berangkat ke panggung olimpiade adalah pemenang. Mereka adalah kumpulan atlet-atlet terbaik dari setiap negara. Maka itu, mereka menyandang gelar “olimpian”.
Kepercayaan diri Dedeh terus bangkit. Kariernya sebagai atlet telah menapaki puncak kejayaan. Ia pun merasa keranjingan dengan dampak dari program latihan Fahmy. Tak heran jika ia kembali menghubungi Fahmy untuk lanjut berlatih dengannya.
Fahmy mengerti apa keinginan Dedeh. Ia pun memahami tekad anak didiknya yang tengah berada di puncak kejayaan. Tapi, bukan berarti Fahmy menerima permintaan Dedeh dengan mudah.
Ia membersi satu syarat: kuliah. Artinya, Fahmy meminta Dedeh yang kala itu hanya berijazah SMA Negeri 20 Bandung, untuk melanjutkan pendidikan sarjana. Anda berhak mengatakan jika permintaan sang pelatih muluk-muluk, karena usia Dedeh saat itu 28 tahun!
Syarat itu tentu tidak mudah. Selain Dedeh sudah berusia 28 tahun, jarang sekali atlet dapat berprestasi di jalur keolahragaan sekaligus pendidikan. Biasanya kedua hal itu bertolak belakang. Jika berprestasi sebagai atlet, maka porsi untuk pendidikan harus dikurangi. Begitu pula sebaliknya.
Tapi Dedeh menerimanya. Ia menganggap syarat Fahmy sebagai tantangan yang harus dituntaskan.
(Baca Juga : Lebih Cepat dari Perkiraan, Pengumuman Pensiun Gianluigi Buffon)
Masa keemasan masters
Salah satu keresahan yang sering hinggap di benak seluruh atlet Indonesia adalah persoalan nasib. Ya, bagaimana nasib mereka setelah melalui masa kejayaan? Paling, rata-rata atlet mulai menjauhi aktivitas olahraga di usia sekitar 30 tahun.
Tapi tidak dengan Dedeh. Saat atlet lain mulai melemah di usia kepala tiga, Dedeh masih setia pada kariernya sebagai pelari hingga saat ini. Tak hanya itu, ia pun kini tengah menuntaskan pendidikan Doktor (S3) di UNJ.
Tak lagi banyak kejuaraan senior yang bisa dilakoninya. Maka itu, Dedeh fokus mengejar Kejuaraan Masters—Kejuaraan yang melombakan atlet-atlet usia 35 tahun ke atas. Dalam kejuaraan tersebut, namanya cukup dikenal di panggung internasional.
Ia memegang dua gelar Asian Master (Medali emas Kejuaraan Asia Masters Singapura 2016 dan Korea Selatan 2017). Ia pun menyabet emas di tiga Kejuaraan Dunia Masters (Kejuaraan Dunia Masters Australia 2016, Kejuaraan Dunia Masters Indoor Korea Selatan 2017, dan World Masters Games Auckland 2017.
Tahun ini, namanya tak lagi menghiasi daftar altet Asian Games 2018 Jakarta-Palembang yang digelar Agustus-September 2018. Memang, hal itu jitu membuatnya kecewa. Tapi, ia masih punya agenda lain yakni Kejuaraan Dunia Masters di Malaga, Spanyol, pada September 2018.
“Saya merasa sangat yakin mendapat emas di Malaga tahun ini. Fisik dan persiapan saya jauh lebih baik dari tahun lalu,” katanya. Dedeh tak pernah meninggalkan program latihannya yang berjalan sembilan sesi selama sepekan. Program tersebut sama persis dengan yang ia lahap waktu masih muda.
Fahmy mengatakan bahwa Dedeh akan menampilkan performa hebat di sana. “Lebih daripada waktu Dedeh melakoni Masters di Daegu,” tutur Fahmy. Waktu berlaga di Kejuaraan Asia Masters Daegu 2017, Dedeh menyumbang emas lari 60 meter putri dengan 7,81 detik.
“Jika mengacu pada program latihan, semestinya Dedeh punya kondisi fisik terbaik pada akhir Februari atau awal Maret 2018. Tapi nyatanya, dia sudah mencapai kondisi fisik terbaik sejak Januari 2018,” kata Fahmy.
(Baca Juga: Pulau Tak Bertuan Hancurkan Kemesraan Korea Selatan dan Korea Utara di Paralimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018)
Menuju Kanada dan AS
Dedeh tentu memerlukan banyak persiapan menjelang Kejuaraan Dunia Master 2018 di Malaga. Salah satu persiapannya ialah dengan lebih dulu melakoni kejuaraan terbuka Ontario Masters Athletics Indoor di Kanada (10-11 Maret 2018) dan Kejuaraan USA Track and Fields (USATF) Indoor Masters (17-18 Maret 2018).
Dua jam sebelum berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta pada Selasa (6/3), saya menemui Dedeh dan Fahmy di Mall Ciputra, Jakarta. Keduanya terlihat semringah, terutama setelah visa menuju Kanada dan AS berhasil diterbitkan. “Urusan visa baru beres pukul 14.00. Lega rasanya, ” kata Dedeh.
Penerbitan visa jadi salah satu kendala yang dihadapi Dedeh sebelum berangkat ke Kanada dan AS. Kendala lainnya ialah tidak adanya dukungan finansial baik dari pemerintah mau pun instansi-instansi swasta.
“Tapi saya tekankan pada Dedeh untuk tidak mengharapkan dukungan finansial itu. Kami masih punya tabungan untuk berangkat ke Kanada dan AS. Anggap aja ini sebuah ibadah,” kata Fahmy.
Dedeh kini telah terbang menjauhi Indonesia. Tapi, masalah seakan tak pernah luput dari perjalanannya. Ia transit di Hongkong, dan mendapat informasi bahwa cuaca AS sedang buruk.
Ada badai salju berangin di sana. Cathay Pacific, maskapai yang mereka tumpangi, tak mau mengambil risiko. Walhasil, Dedeh dan Fahmy mesti berada di Hongkong selama tiga hari dua malam.
“Anggap saja ini training camp. Kami latihan track di Hongkong,” kata Fahmy.
Asa Dedeh yang menggebu-gebu menginjakkan kaki di AS mesti ditunda beberapa hari. Sebagai atlet yang sudah melanglangbuana, AS adalah negara yang belum pernah ia datangi.
Sambil terkekeh-kekeh, ia bilang: “Sudah kebayang di New York, taunya China lagi China lagi,” kata Dedeh.
(Baca Juga: Mahkota Boxing Superseries Jadi Upaya Kembalikan Kejayaan Tinju Tanah Air)
Siapa bisa menghentikan Dedeh? Usia dan cuaca sekali pun tak bisa menghalanginya untuk berlomba dan mengibarkan merah putih di belahan dunia lain.
Syahdan, pukul 05.12 Jumat (9/3), saya mendapat pesan whatsapp dari Fahmy. “Morning Jakarta. Mohon doanya agar kami dimudahkan, dilancarkan, dan mendapat keajaiban Sang Khalik. Wind Snow Storm memaksa kami cancel direct flight Hongkong-New York. Pagi ini kami baru memulai perjalanan ke New York,” tulisnya.
Saya pun membalas pesan tersebut tiga jam kemudian tepat pukul 08.34 dengan lirik lagu Across The Universe karya grup musim legendaris asal Inggris, The Beatles: “Words are flowing out like endless rain into a paper cup. They slither while they pass, they slip away across the universe.”
Across The Universe adalah salah satu dari rentetan karya terbaik The Beatles. Liriknya yang disusun pentolan The Beatles, John Lennon, sarat arti.
Lantas mengapa saya mengirimkan lirik tersebut pada Fahmy dan Dedeh? Saya ingin sekali mereka mendengar lagu tersebut dan mendalami artinya.
“Jai Guru Deva Om. Nothing’s gonna change my world. Nothing’s gonna change my world.”
Dalam kebudayaan India, "Jai Guru Deva Om" adalah mantra yang dimaksudkan untuk menenangkan pikiran ke dalam kesadaran yang lebih tinggi untuk berhubungan dengan getaran alami semesta. Saya seakan ingin menenangkan Dedeh, bahwa tak ada yang bisa mengubah dunianya.
Lalu, saya menambahkan pesan Whatsapp tersebut pada Fahmy: “Semesta meregang, saatnya Dedeh untuk menang."
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar