Tiga puluh satu menit, 1.860 detik. Hanya segitu waktu yang diperlukan untuk menutup dongeng perjalanan Mohamed Salah sepanjang musim 2017-2018.
Waktu kecil, saya terbiasa membaca cerita yang karakter utama alias karakter jagoan atau karakter “baik” akan menang melawan karakter lawan alias karakter “jahat”.
Perjalanan Liverpool dan Mohamed Salah pada musim 2017-2018 juga tidak ubahnya sebuah cerita dongeng yang sudah menunggu babak akhirnya.
Setelah absen di final selama 11 tahun, Liverpool kembali ke partai puncak Liga Champions dan akhirnya kembali direken sebagai salah satu klub terhormat di Eropa.
Sementara itu, Mohamed Salah, sempat dianggap gagal saat pertama berkarier di Chelsea, tetapi lalu menggebrak dengan gelontoran 44 golnya di Liverpool dan membuat namanya semakin bersinar.
Di atas kertas, ini tidak ubahnya cerita-cerita di film khas Hollywood yang bertemakan from zero to hero.
(Baca Juga: Daftar Juara Liga Champions - Real Madrid 13 Gelar, Siapa Bisa Kejar?)
Kalau Mohamed Salah mencetak gol, lalu Liverpool menang atas Real Madrid, sempurna sudah narasi soal munculnya sosok pahlawan baru di dunia sepak bola.
Harusnya demikian.
Nyatanya, hidup tidak selalu tunduk pada segala macam “kalau” dan kemungkinan-kemungkinan.
Mohamed Salah hanya bermain 31 menit sebelum tulang bahunya bergeser karena ditabrak Sergio Ramos.
Liverpool kalah 1-3 dan Salah gagal jadi pahlawan. Malah, ketika saya sedang membuat tulisan ini, katanya Salah terancam tidak akan ikut ke Piala Dunia 2018 karena efek cedera bahunya berbuntut panjang.
Saya tidak akan membahas apakah pelanggaran terhadap Salah oleh Ramos layak mendapat justifikasi. Silakan nilai sendiri, tergantung dari perspektif yang Anda pakai.
Namun, orang yang bukan fans Liverpool pun rasanya sulit untuk tidak berempati ke Mohamed Salah setelah kontribusi yang dia catatkan pada musim perdana.
Pemandangan Salah keluar dari lapangan sambil menangis bukan jenis pemandangan yang saya nantikan pada pertandingan final Liga Champions di Kiev itu.
Ini bukan ending yang saya--dan mungkin juga penggemar Liverpool--nantikan. Bukan juga akhir yang layak untuk seorang pemain yang sudah memberikan penampilan terbaik sepanjang musim.
Mungkin memang akhir cerita Salah musim ini seperti menyesuaikan dengan Zeitgeist (semangat zaman).
Kita tidak lagi dikelilingi oleh cerita yang happy ending yang menampilkan karakter protagonis mendapatkan apa yang dia mau dengan mudahnya.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Alih-alih, kita hidup di generasi Game of Thrones, ketika narasi yang ada tidak selamanya berpihak pada figur yang kita anggap jagoan.
Di serial Game of Thrones, karakter yang disukai pemirsa bisa saja tewas terbunuh tanpa diduga, sementara karakter yang dibenci bisa bertahan hidup dalam waktu yang lama.
Figur seperti Mohamed Salah pun tidak selalu bisa mendapat hasil yang dia mau--tidak peduli jika dia diharapkan jadi sosok pahlawan baru oleh penonton yang ingin ada penyegaran setelah nyaris sedekade dihadapkan pada nama yang itu-itu saja.
Tapi, ya sudahlah.
Kalau mengutip kata-kata Petyr Baelish, salah satu karakter di Game of Thrones, “a past is a past. The future is all that worth discussing.”
Masa lalu ya masa lalu. Yang layak dibahas hanya masa depan.
Hal-hal seperti yang terjadi pada Mohamed Salah di final Liga Champions cuma satu dari sekian banyak yang membuat sepak bola jadi tidak membosankan.
Setelah dia tidak sempat unjuk gigi pada babak final, tinggal menunggu, bisakah Salah mendapat kesempatan bersinar yang layak pada partai puncak Liga Champions?
Kalau ya, kapan? Dengan klub yang mana? Liverpool-kah, atau justru klub lain?
You’ll never walk alone, Salah. Semoga cepat sembuh.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar