Setelah 2006, beberapa kejadian (Raymond Domenech dan segala keanehannya, handsball Thierry Henry kontra Irlandia, dan tandukan Zinedine Zidane kepada Marco Materazzi) membuat saya tak lagi antusias dengan Les Blues.
Pada waktu sama muncul paradigma baru dalam pribadi saya: Kenapa harus mendukung negara lain?
Hanya ada satu negara yang harus (dan bisa) saya dukung: Timnas Indonesia!
Identitas dan hidup saya terikat dengan Garuda di dada. Kakek saya dari sisi ibu merupakan pejuang di Perang Kemerdekaan dan kakek dari sisi ayah dulu seorang jurnalis radio Voice for Free Indonesia.
Cikal bakal Radio Republik Indonesia itu didirikan untuk menyebar kabar kemerdekaan Indonesia pada 1945. Setelah Voice for Free Indonesia, kakek masuk Departemen Luar Negeri dan menjadi perintis perwakilan Indonesia di luar negeri.
Sehingga, aneh bagi saya untuk “mengkhianati” warisan perjuangan mereka dengan menjagokan negara lain.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 Buktikan Bahwa Posisi Tak Selalu Menentukan Prestasi)
Di sini saya berusaha menjalankan peran sebagai duta bagi Bumi Pertiwi.
Sebisa mungkin saya menjelaskan kelebihan sepak bola Tanah Air, keindahan pantai-pantai kita, dan hal-hal menarik dari Indonesia lainnya kepada turis atau sesama wartawan asing.
Tentu, akan aneh jika saya mempromosikan keindahan Jamrud Khatulistiwa dengan berbalutkan jersey Argentina atau Jerman atau Brasil bukan?
*Artikel ini telah muncul di Tabloid BOLA edisi 2882 dan telah diedit ke dalam versi online
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar