Halo pembaca, pada Kamis (28/6/2018), leg kedua perjalanan BolaSport.com di Rusia selesai dengan partai Inggris vs Belgia di Kaliningrad. Duel tersebut adalah pertandingan kedelapan yang tim Tabloid BOLA dan BolaSport.com hadiri di Piala Dunia 2018.
Segala macam emosi dari para suporter dan pemain, senang, sedih, gembira, dan kecewa, telah kami lihat dari dekat dan dokumentasikan untuk para pembaca.
Kami melihat suporter berpelukan bahagia, lompat-lompat kegirangan, bernyanyi lepas dan melemparkan gelas bir mereka ke udara dalam keriangan.
Pada spektrum sebaliknya, tak sedikit terlihat air mata, pelukan sendu, serta amarah saat jagoan mereka kalah.
Di tengah-tengah itu semua, emosi yang mengalir di sekujur tubuh saya ketika menyaksikan mereka hanya satu: hampa.
Tentu, saya turut berbahagia ketika berada di antara para suporter Argentina yang merayakan gol kemenangan Marcos Rojo saat bersua Nigeria.
Pun, perasaan belasungkawa juga saya rasakan ketika melihat para suporter timnas Jerman merana setelah tim Panser terdepak untuk pertama kalinya dari fase grup.
Namun, ada batasan dari toleransi perasaan itu.
Mungkin, penyebabnya datang ketika saya sering kali di sini ditanya, “Ooh kamu dari Indonesia, mendukung tim mana di Piala Dunia ini?”
Jawaban saya selalu sama, "Saya orang Indonesia. Saya tak bisa mendukung negara lain selain negara saya. Sebagai jurnalis saya juga netral di turnamen ini."
Bagi saya pribadi, memberikan support kepada suatu tim nasional jauh sekali berbeda dengan menjagokan suatu klub.
Saya tak bisa lagi mengenakan jersey negara lain dan mendukung sepenuhnya negara tersebut, menuangkan emosi saya kepada jersey tersebut.
Jersey timnas negara lainhanya sekadar bagian dari hobi saya mengumpulkan baju bola.
Bagi saya setidaknya, aneh melihat banyak orang mengenakan jersey timnas negara lain.
(Baca Juga: Sempat Jadi Juru Kunci, 3 Tim Ini Bawa Sial di Piala Dunia 2018)
Di sini banyak fan-fan negara lain yang mendukung peruntungan Argentina, Portugal, Brasil, Inggris, dan Prancis.
Mereka memakai jersey lengkap dengan bendera diikat di leher mereka. Kebanyakan adalah fan dari benua Asia, terutama China daratan.
Cinta terakhir saya pada timnas negara lain jatuh ke Prancis. Saya sempat mendukung Les Bleus semenjak Euro 1996 hingga sekitar Piala Dunia 2006.
Saya suka mereka karena dari dulu ayah saya, sebagai seorang francophone (bisa berbahasa Prancis) sering menyetel saluran dari Negeri Mode termasuk siaran sepak bola Liga Prancis.
Setelah 2006, beberapa kejadian (Raymond Domenech dan segala keanehannya, handsball Thierry Henry kontra Irlandia, dan tandukan Zinedine Zidane kepada Marco Materazzi) membuat saya tak lagi antusias dengan Les Blues.
Pada waktu sama muncul paradigma baru dalam pribadi saya: Kenapa harus mendukung negara lain?
Hanya ada satu negara yang harus (dan bisa) saya dukung: Timnas Indonesia!
Identitas dan hidup saya terikat dengan Garuda di dada. Kakek saya dari sisi ibu merupakan pejuang di Perang Kemerdekaan dan kakek dari sisi ayah dulu seorang jurnalis radio Voice for Free Indonesia.
Cikal bakal Radio Republik Indonesia itu didirikan untuk menyebar kabar kemerdekaan Indonesia pada 1945. Setelah Voice for Free Indonesia, kakek masuk Departemen Luar Negeri dan menjadi perintis perwakilan Indonesia di luar negeri.
Sehingga, aneh bagi saya untuk “mengkhianati” warisan perjuangan mereka dengan menjagokan negara lain.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 Buktikan Bahwa Posisi Tak Selalu Menentukan Prestasi)
Di sini saya berusaha menjalankan peran sebagai duta bagi Bumi Pertiwi.
Sebisa mungkin saya menjelaskan kelebihan sepak bola Tanah Air, keindahan pantai-pantai kita, dan hal-hal menarik dari Indonesia lainnya kepada turis atau sesama wartawan asing.
Tentu, akan aneh jika saya mempromosikan keindahan Jamrud Khatulistiwa dengan berbalutkan jersey Argentina atau Jerman atau Brasil bukan?
*Artikel ini telah muncul di Tabloid BOLA edisi 2882 dan telah diedit ke dalam versi online
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar