Bagi Anda penggemar teori multiverse yang konspiratif, Piala Dunia 2018 bisa dijadikan materi bahasan menarik karena di sanalah hal-hal yang tak lazim terjadi di dunia dapat muncul.
Teori multiverse menjelaskan bahwa alam semesta tempat kita hidup ibarat ada dalam sebuah gelembung, di mana ada semesta lain terdapat di dalamnya.
Artinya, alam semesta yang kita tempati bukan satu-satunya, melainkan ada banyak universe lain yang diisi oleh "kita yang lain" dengan paralel dan cerita hidup berbeda pula.
Mungkin agak lebay, tapi Piala Dunia 2018 saya sebut ibarat semesta berbeda karena memunculkan sederet anomali yang tidak biasanya terjadi di "dunia nyata".
Anomali yang membuncah membuat skenario ideal sebuah turnamen tidak berjalan sesuai pandangan mainstream.
Simpel saja. Lihat dua megabintang terdepan di dunia kita sekarang, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, mesti angkat koper lebih dini di babak 16 besar. Mereka gugur pada hari yang sama pula.
Padahal, skrip ideal yang dinanti umat bal-balan masa kini melihat Messi dan Ronaldo bertarung pada partai paling akbar di final Rusia 2018, yang sangat mungkin jadi penutup karier paripurna mereka di timnas.
(Baca juga: Piala Dunia 2018, Kelanjutan Rekor Horor Spanyol Kontra Tuan Rumah)
Rusia menjadi kuburan bagi Messi, Ronaldo, dan Mohamed Salah - tiga superstar yang digadang-gadang bakal sukses di ajang ini dan paling kuat dicalonkan meraih Ballon d'Or 2018.
Hanya, kegemilangan trio tersebut di "dunia nyata" yang terjadi sebelum turnamen tidak berlanjut saat memasuki universe Rusia.
Kehancuran Jerman di fase grup, serta melempemnya Argentina, Portugal, dan tentu saja Spanyol, menjadi bukti lain tim-tim kuat tradisional itu seperti bukan mereka dalam versi sebenarnya.
Menurut saya, isyarat Piala Dunia 2018 bakal berjalan tak biasa sudah terlihat dengan rontoknya Belanda dan Italia di kualifikasi zona Eropa.
Piala Dunia tanpa mereka rasanya berbeda. Terus, keganjilan lain menyusul saat Spanyol memecat pelatih cuma dua hari sebelum laga pertama mereka di grup.
Ke mana tuah emas Thomas Mueller, ketajaman Gonzalo Higuain-Sergio Aguero-Paulo Dybala, atau produk fantasi Andres Iniesta-David Silva?
Lalu, apa yang terjadi dengan mesin Leo Messi, Robert Lewandowski, atau Radamel Falcao?
Walau sudah jamak terlihat, kelesuan Mesut Oezil pun masuk taraf lebih mengkhawatirkan.
Bahkan Cristiano Ronaldo cuma hebat dalam 100 menit awal penampilan di Piala Dunia 2018 setelah bikin 4 gol. Sisanya, CR7 seperti bukan dirinya lagi.
Kemudian, top scorer Kolombia di Piala Dunia 2018 bukan Si Macan Falcao atau Si Anak Emas James Rodriguez, melainkan Yerry Mina, bek anyar Barcelona yang baru main 5 kali di La Liga musim lalu.
Seperti dijabarkan kolumnis top The Guardian, Nick Miller, Piala Dunia tahun ini adalah chaos, sebuah kekacauan luar biasa.
Alasannya, semuanya seperti skrip berantakan, tak bisa diprediksi. Menurutnya, banyak hal ajaib di luar logika umum muncul di sini.
Sorotan Miller, justru pemain seperti Marouane Fellaini dan Nacer Chadli yang malah menjadi aktor kebangkitan Belgia dalam comeback luar biasa versus Jepang di 16 besar.
Mungkin sindiran soal Lord Fellaini akibat penampilannya di Manchester United sudah banyak orang tahu.
Bagaimana dengan Chadli, yang cuma 4 kali tampil musim lalu di West Bromwich Albion - klub yang terdegradasi ke divisi II Liga Inggris?
Lantas, apa yang terjadi dengan performa kikuk kiper terbaik Premier League, David de Gea? Pun dengan Manuel Neuer, si peraih Sarung Tangan Emas Piala Dunia 2014 yang tampil gelagapan.
Di Piala Dunia 2018, kita juga bisa menemukan peristiwa, rekor, atau hal yang jarang, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
Jerman untuk kali pertama rontok di putaran perdana Piala Dunia sejak 1938.
Rusia menyapu dua laga pertama dengan kemenangan telak (5-0, 3-1). Uruguay melakoni trilaga awal dengan kemenangan tanpa sekali pun kebobolan.
Yang aneh, Uruguay juga baru dapat satu kartu kuning sampai kelar babak 16 besar. Ya, satu! Untuk tim yang terkenal doyan tampil beringas, catatan ini luar biasa.
Swedia maju sebagai juara Grup F dan masuk perempat final untuk kali pertama sejak 1996. Afrika bikin rekor terburuk tanpa wakil di fase gugur sejak 1982.
Jangan lupa soal efek VAR yang disebut-sebut membuat Piala Dunia 2018 memecahkan rekor gol penalti dan via bola mati terbanyak, juga jumlah gol bunuh diri paling tinggi.
Di Piala Dunia 2018, untuk kali pertama urutan akhir klasemen di fase grup ditentukan lewat jumlah kartu. Pelakunya Jepang dan Senegal.
Oh iya, Inggris juga akhirnya menang adu penalti atas Kolombia setelah dihantui kegagalan dua dekade. Hal ini mungkin disambut megah publik Inggris bak kemenangan di Perang Dunia.
Di Piala Dunia 2018, Anda tak usah tampil bagus-bagus dan dominan untuk menang. Tiki-taka ala Spanyol menuju tanda kepunahan.
Apa gunanya melepas rekor 1.137 operan dan 25 tembakan jika akhirnya harus takluk oleh Rusia, tim pemilik satu tembakan on target sepanjang laga?
Di Piala Dunia 2018, cukup modal bertahan bagus, jago bola mati, efektif dan disiplin, Anda bisa melaju jauh. Taktik ini primadona bagi hampir semua tim yang masih sintas.
Tak usah lama-lama menguasai bola, menyisir lapangan dari berbagai sisi, atau menghujani lawan dengan tembakan, kalau ujung-ujungnya kikuk di kotak penalti musuh.
Menurut data Whoscored yang dikutip BolaSport.com, dari lima pemilik penguasaan bola tertinggi, hanya Brasil yang masih bertahan (57,2%).
Spanyol (69%), Jerman (65,3%), Argentina (61,1%), dan Arab Saudi (57%), sudah pulang duluan.
Ada yang kelewat. Ronaldo dan Messi juga kompak gagal bikin gol lewat spot penalti. Sejauh ini, Neymar lebih sering dituding akting berguling-guling, jempalitan di lapangan ketimbang bikin gol (2).
Di balik segala anomali tersebut, semua pasti ada musababnya.
Vonis Jerman terpuruk karena kombinasi pemilihan materi, taktik, minim pemimpin dan build-up buruk sebelum turnamen, hingga isu politis serta arogansi mental juara bertahan.
Argentina kolaps akibat faktor materi tak seimbang, kenaifan pelatih, dan bobroknya internal federasi.
Spanyol terdepak lantaran kekacauan di pos pelatih, kondisi fisik, dan ada di masa peralihan pilar senior ke pemain muda.
Portugal? Ah, paling kaitannya dengan efek Ronaldo lagi.
Toh, sampai perempat final, Piala Dunia 2018 masih menyisakan Prancis, Brasil, dan Inggris sebagai pilihan mainstream calon kampiun, biar turnamen tak terlalu ganjil.
Buat para penggemar arus utama, bertahannya Harry Kane atau Romelu Lukaku yang stabil mempertahankan performa di daftar pencetak gol masih membuat lega.
Namun, untuk para pendukung yang netral, kelahiran juara baru antara Belgia, Rusia, Kroasia, atau Swedia amat dinantikan. Pun Uruguay, pelakon lawas yang terakhir kali juara dunia pada 1950.
(Baca juga: Makan Tumbal Tim-tim Raksasa, Perjalanan Swedia di Piala Dunia 2018 Bukan Dongeng)
Siapa tahu di semesta Rusia 2018 ini tim yang terburuk malah menjadi peserta terkuat di akhir turnamen? Bukan negara terfavorit yang bakal menjadi tim terbaik seperti biasa terjadi pada umumnya.
Kalau soal ini, saya jadi ingat ada klenik perihal siklus 20 tahunan di Piala Dunia.
Ditelusuri bahwa sejak 1958, tim tuan rumah selalu tampil hebat minimal sampai final.
Secara beruntun, mereka adalah Swedia (finalis 1958), Argentina (juara 1978), dan Prancis (juara 1998).
Nah, sekarang Piala Dunia 2018 digelar di Rusia, dan Anda tahu kan maksud saya?
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | whoscored.com, BolaSport.com, Theguardian.com |
Komentar