Namun, menjadikan Oezil sebagai satu-satunya kambing hitam kegagalan Jerman di Rusia 2018 jadi terasa aneh, tidak mengenai akar persoalan, dan “sangat tidak Jerman.”
Bandingkan ketika Der Panzer gagal di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. DFB ketika itu melakukan perombakan di tubuh skuat mereka, dimulai dari penunjukan pelatih baru, sampai ke pengalihan fokus untuk membina pemain muda.
Lompat hampir dua dekade kemudian, ketimbang mengevaluasi kerja pelatih Joachim Loew, atau menganalisis soal kinerja tim keseluruhan, DFB--dalam hal ini Grindel dan manajer tim Oliver Bierhoff--memilih menyebut Oezil-lah oknum paling bertanggung jawab untuk kegagalan Jerman.
Mesut Ozil na Rais Recep Tayyip Erdogan wa Uturuki... Uchawi ulianzia hapa wa Wajerumani pic.twitter.com/Cf15QsAwlw
— SHARO GANGSTAR (@SharoGangstar) 23 Juli 2018
Hal lain yang juga menjadikan polemik Oezil ini jadi terasa tidak biasa ialah karena adanya sentimen rasialis yang mengiringi.
Sosok Oezil adalah bukti relasi sentimental antara Turki dan Jerman. Turki adalah satu pengirim Gastarbeiter (pekerja tamu) terbesar di Jerman usai Perang Dunia II.
Pekerja Turki ini tidak semuanya pulang ke negara mereka, tetapi ada yang menetap di Jerman dan membawa keluarga mereka, untuk kemudian beranak-pinak di negara tersebut.
Di masyarakat Jerman, Oezil termasuk golongan generasi ketiga imigran Turki, yang lahir dan besar, serta membaur dengan kultur Jerman.
(Baca juga: Mesut Oezil soal Rasialisme di Jerman: Apa Bedanya Saya dengan Klose dan Podolski?)
Figur seperti Oezil ini yang kemudian menjadi contoh bagaimana integrasi di Jerman berjasa membentuk tim nasional Jerman menjadi tim yang kuat dan disegani, bersama dengan nama-nama lain seperti Sami Khedira (Tunisia) dan Jerome Boateng (Ghana).
Soal keputusannya berfoto dengan Erdogan, bisa jadi Oezil melakukan blunder dengan gesture yang tidak populer di mata publik Jerman.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar