Namun, menyalahkan Oezil dan tidak melindungi Oezil dari serangan golongan konservatif Jerman jadi tidak sejalan dengan prinsip integrasi dan anti-rasialis yang didengung-dengungkan oleh tim nasional selama beberapa tahun terakhir.
Dalam pernyataannya, Oezil terang-terangan mengungkit pernyataan Grindel pada 2004 yang menyebut bahwa multikulturalisme hanyalah mitos dan kebohongan, serta sikapnya yang menolak kebijakan paspor ganda untuk warga keturunan imigran seperti Oezil.
Jerman boleh jadi terus berusaha menghapus kenangan kelam mereka di masa kejayaan Adolf Hitler dan Holocaust-nya, dengan kampanye anti-rasialis, anti-neo NAZI ataupun kampanye untuk menggalakkan integrasi.
Namun, nuansa rasialis dalam polemik Oezil seperti jadi bukti bahwa Jerman tidak lepas dari politik identitas, seperti yang terjadi ketika Amerika Serikat memilih Donald Trump sebagai presiden atau saat mayoritas warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa dalam kasus Brexit pada 2016.
Mesut Oezil sudah memutuskan: dia tidak akan kembali ke tim nasional Jerman selama dia masih merasa tidak nyaman dan aman.
Dengan usianya yang akan menginjak 30 pada Oktober 2018, saya tidak akan berharap dia segera kembali mengenakan seragam Jerman.
Anti-klimaks? Jelas. Jerman kehilangan salah satu pemain besarnya, bukan karena dia cedera atau dimakan tua, tetapi karena dia tidak nyaman saat membela negaranya.
Nun jauh dari Jerman, kita di Indonesia punya diaspora masyarakat yang mungkin lebih kaya dari mereka karena terdiri atas beragam suku dari Sabang sampai Merauke, dengan beragam latar belakang keluarga, ras, dan agama.
Saya hanya berharap, kalau Indonesia sepak bolanya sudah sebagus Jerman, tidak ada kasus ketika seorang pemain harus meninggalkan tim nasional karena persekusi atas identitas dirinya, baik itu suku, ras, atau agamanya.
Dengan contoh yang sudah ada, seharusnya kita mau kan belajar?
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar