Baca berita tanpa iklan. Gabung Bolasport.com+

Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Drama Mesut Oezil dan Solusi Masalah yang Sangat Tidak Jerman

By Lariza Oky Adisty - Selasa, 24 Juli 2018 | 08:13 WIB
 Gelandang timnas Jerman, Mesut Oezil, melangkah gontai setelah timnya dikalahkan Korea Selatan dalam partai Grup F Piala Dunia 2018 di Kazan Arena, Kazan, 27 Juni 2018.
LUIS ACOSTA/ AFP
Gelandang timnas Jerman, Mesut Oezil, melangkah gontai setelah timnya dikalahkan Korea Selatan dalam partai Grup F Piala Dunia 2018 di Kazan Arena, Kazan, 27 Juni 2018.

Keputusan Mesut Oezil mundur dari tim nasional Jerman masih jadi topik hangat di negara pemenang Piala Dunia empat kali tersebut. Alasannya: ada sentimen rasialisme di balik keputusan Mesut Oezil.

Dalam pernyataannya yang terbagi dalam tiga bagian, Oezil mengatakan bahwa dia menjadi sasaran sentimen rasialisme setelah tampil buruk pada Piala Dunia 2018 yang berujung Jerman gagal lolos dari penyisihan grup.

Oezil menyebut Presiden DFB, Reinhard Grindel, dan sejumlah pihak lain yang dinilai melakukan diskriminasi rasial terhadapnya dengan menyinggung-nyinggung soal asal-usulnya yang lahir dari keluarga Turki.

Persoalan tersebut seperti menambah panas kontroversi saat Oezil berfoto dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada Mei lalu.


Gelandang timnas Jerman, Julian Draxler (kedua dari kiri) melakukan selebrasi bersama rekan setimnya, Thomas Mueller (kiri) dan Mesut Oezil, seusai mencetak gol ke gawang timnas Norwegia dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2018 di Stuttgart, Jerman, pada 4 Septemer 2017. ( THOMAS KIENZLE/AFP )

Masalahnya, Erdogan bukan figur populer di Jerman karena kebijakannya yang represif, termasuk kepada media massa.

Oezil sendiri sudah memastikan bahwa dia bukan mendukung kebijakan Erdogan, melainkan karena dia ingin menghormati asal-usul keluarganya yang berasal dari Turki.  

(Baca juga: Duit Bukan Magnet Utama Penarik Pemain Bintang ke Liverpool)

Tidak ada yang membantah bahwa penampilan Oezil di Piala Dunia 2018 tidak meyakinkan. Jangankan mencetak gol, assist atas namanya saja tidak ada.

Bukan catatan yang pantas untuk seorang pemain yang kerap dijuluki sebagai raja assist di level klub. Bukan juga catatan yang elok untuk sosok yang sudah membela Jerman di dua Piala Dunia sebelumnya.

Namun, menjadikan Oezil sebagai satu-satunya kambing hitam kegagalan Jerman di Rusia 2018 jadi terasa aneh, tidak mengenai akar persoalan, dan “sangat tidak Jerman.”

Bandingkan ketika Der Panzer gagal di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. DFB ketika itu melakukan perombakan di tubuh skuat mereka, dimulai dari penunjukan pelatih baru, sampai ke pengalihan fokus untuk membina pemain muda.

Lompat hampir dua dekade kemudian, ketimbang mengevaluasi kerja pelatih Joachim Loew, atau menganalisis soal kinerja tim keseluruhan, DFB--dalam hal ini Grindel dan manajer tim Oliver Bierhoff--memilih menyebut Oezil-lah oknum paling bertanggung jawab untuk kegagalan Jerman.

Hal lain yang juga menjadikan polemik Oezil ini jadi terasa tidak biasa ialah karena adanya sentimen rasialis yang mengiringi.  

Sosok Oezil adalah bukti relasi sentimental antara Turki dan Jerman. Turki adalah satu pengirim Gastarbeiter (pekerja tamu) terbesar di Jerman usai Perang Dunia II.

Pekerja Turki ini tidak semuanya pulang ke negara mereka, tetapi ada yang menetap di Jerman dan membawa keluarga mereka, untuk kemudian beranak-pinak di negara tersebut.

Di masyarakat Jerman, Oezil termasuk golongan generasi ketiga imigran Turki, yang lahir dan besar, serta membaur dengan kultur Jerman.

(Baca juga: Mesut Oezil soal Rasialisme di Jerman: Apa Bedanya Saya dengan Klose dan Podolski?)

Figur seperti Oezil ini yang kemudian menjadi contoh bagaimana integrasi di Jerman berjasa membentuk tim nasional Jerman menjadi tim yang kuat dan disegani, bersama dengan nama-nama lain seperti Sami Khedira (Tunisia) dan Jerome Boateng (Ghana).

Soal keputusannya berfoto dengan Erdogan, bisa jadi Oezil melakukan blunder dengan gesture yang tidak populer di mata publik Jerman.

Namun, menyalahkan Oezil dan tidak melindungi Oezil dari serangan golongan konservatif Jerman jadi tidak sejalan dengan prinsip integrasi dan anti-rasialis yang didengung-dengungkan oleh tim nasional selama beberapa tahun terakhir.

Dalam pernyataannya, Oezil terang-terangan mengungkit pernyataan Grindel pada 2004 yang menyebut bahwa multikulturalisme hanyalah mitos dan kebohongan, serta sikapnya yang menolak kebijakan paspor ganda untuk warga keturunan imigran seperti Oezil. 

Jerman boleh jadi terus berusaha menghapus kenangan kelam mereka di masa kejayaan Adolf Hitler dan Holocaust-nya, dengan kampanye anti-rasialis, anti-neo NAZI ataupun kampanye untuk menggalakkan integrasi.

Namun, nuansa rasialis dalam polemik Oezil seperti jadi bukti bahwa Jerman tidak lepas dari politik identitas, seperti yang terjadi ketika Amerika Serikat memilih Donald Trump sebagai presiden atau saat mayoritas warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa dalam kasus Brexit pada 2016.

Mesut Oezil sudah memutuskan: dia tidak akan kembali ke tim nasional Jerman selama dia masih merasa tidak nyaman dan aman.

Dengan usianya yang akan menginjak 30 pada Oktober 2018, saya tidak akan berharap dia segera kembali mengenakan seragam Jerman.


Mesut Oezil (tengah) merayakan gol timnas Jerman ke gawang Argentina bersama Miroslav Klose (kiri) dan Lukas Podolski dalam partai perempat final Piala Dunia 2010 di Cape Town, 3 Juli 2010. Oezil adalah pemain Jerman berdarah Turki, sedangkan Klose dan Podolski punya garis keturunan Jerman-Polandia.(CARL DE SOUZA / AFP)

Anti-klimaks? Jelas. Jerman kehilangan salah satu pemain besarnya, bukan karena dia cedera atau dimakan tua, tetapi karena dia tidak nyaman saat membela negaranya.

Nun jauh dari Jerman, kita di Indonesia punya diaspora masyarakat yang mungkin lebih kaya dari mereka karena terdiri atas beragam suku dari Sabang sampai Merauke, dengan beragam latar belakang keluarga, ras, dan agama.

Saya hanya berharap, kalau Indonesia sepak bolanya sudah sebagus Jerman, tidak ada kasus ketika seorang pemain harus meninggalkan tim nasional karena persekusi atas identitas dirinya, baik itu suku, ras, atau agamanya.

Dengan contoh yang sudah ada, seharusnya kita mau kan belajar?

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P

Editor : Beri Bagja
Sumber : BolaSport.com
Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Klasemen

Klub
D
P
1
Liverpool
25
60
2
Arsenal
25
53
3
Nottm Forest
25
47
4
Man City
25
44
5
Bournemouth
25
43
6
Chelsea
25
43
7
Newcastle
25
41
8
Fulham
25
39
9
Aston Villa
25
38
10
Brighton
25
37
Klub
D
P
1
Persib
23
50
2
Persebaya
23
41
3
Dewa United
23
40
4
Persija Jakarta
23
40
5
Bali United
22
37
6
Borneo
23
35
7
Persita
23
35
8
PSM
23
33
9
Persik
23
33
10
Arema
22
32
Klub
D
P
1
Real Madrid
24
51
2
Atlético Madrid
24
50
3
Barcelona
23
48
4
Athletic Club
24
45
5
Villarreal
24
41
6
Rayo Vallecano
23
35
7
Mallorca
24
34
8
Real Betis
24
32
9
Osasuna
24
32
10
Girona
24
31
Klub
D
P
1
Napoli
25
56
2
Inter
25
54
3
Atalanta
25
51
4
Juventus
25
46
5
Lazio
25
46
6
Fiorentina
25
42
7
Milan
24
41
8
Bologna
24
41
9
Roma
25
37
10
Udinese
25
33
Pos
Pembalap
Poin
1
J. Martin
508
2
F. Bagnaia
498
3
M. Marquez
392
4
E. Bastianini
386
5
B. Binder
217
6
P. Acosta
215
7
M. Viñales
190
8
A. Marquez
173
9
F. Morbidelli
173
10
F. Di Giannantonio
165
Close Ads X