Sebagai bagian dari anggota tim nasional Indonesia, saya ingin meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas kegagalan kami di babak 16 besar.
Harus saya akui, pengalaman melatih saya tidak bisa disejajarkan dengan Luis Milla, pelatih yang dipilih federasi untuk membawa tim nasional berprestasi.
Tim kami memang gagal di Asian Games 2018. Namun, sebagai asisten Luis Milla, saya melihat banyak hal positif yang ia berikan untuk terus dikembangkan sepak bola nasional.
Pertama, Luis Milla mengajarkan kepada kepada seluruh anggota tim arti kedisiplinan, di dalam dan luar lapangan.
Saya benar-benar harus menjaga kebugaran fisik selama menjadi asisten Luis Milla.
Bagaimana tidak, setiap usai latihan ketika kami melakukan pemusatan latihan di luar kota, Luis Milla pasti mengajak tim pelatih kembali ke hotel dengan berlari.
(Baca Juga: Komentar Sekjen PSSI soal Kegagalan Timnas U-23 Indonesia di Asian Games 2018)
Bukan berlari santai lho ya, melainkan dengan kecepatan yang termasuk tinggi.
Saya membayangkan bila kebugaran saya buruk. Mana mungkin saya ikut berlari bersama tim pelatih.
Luis Milla juga menekankan kepada pemain dan anggota tim arti respeck.
Tak ada yang boleh menyepelekan pekerjaan anggota tim, termasuk kitman atau pekerja lain yang bertugas melayani kebutuhan tim.
Saya selalu memerhatikan kepedulian Luis Milla kepada para pemain. Ia kerap bertanya kondisi pemain, siapa yang sakit, dan persediaan obat-obatan yang dibutuhkan.
Secara teknis, Luis Milla mengajarkan kepada saya tentang persiapan secara detail.
Katanya, pelatih bisa saja salah dalam menyusun strategi bertanding.
Atau program latihan yang ternyata dianggap monoton.
(Baca Juga: Ini Alasan Asisten Pelatih Timnas U-23 Diusir oleh Wasit Shaun Evans)
Tetapi, hal itu bisa diperbaiki di kemudian hari. Yang penting, kita harus jujur dan tulus dalam bekerja.
Kejujuran mengakui kesalahan itu yang bisa membuat kita memperbaikinya di kemudian hari.
Kalau ada yang beranggapan ada anak emas di timnas saat ini, Anda salah.
Tak ada pemain yang punya kedudukan istimewa di mata Luis Milla.
Ia memperlakukan semua pemain sama. Milla kerap memanggil pemain secara pribadi, entah itu di ruang makan atau cafe sambil minum kopi.
Diskusi secara santai itu mendekatkan ia dengan seluruh anggota tim. Jadi, tak heran bila pemain dekat dengan Luis Milla.
Termasuk para pemain senior yang kerap mendapat tugas khusus dalam tim karena keberadaan mereka.
Pemain senior diminta untuk membimbing pesepak bola muda.
Dalam pekerjaannya, Luis Milla juga kerap mengumpulkan pemain dalam satu posisi tertentu.
Ia berdiskusi dua arah dengan para pemain, dan hal itu dilakukan dengan pemain semua posisi.
Totalitas Luis Milla dalam bekerja sungguh harus menjadi contoh bagi para pelatih di Tanah Air.
Ia kuat dalam detail persiapan dan pertandingan.
Selalu ada ide-ide baru yang didiskusikan untuk menghadapi lawan di pertandingan berikut. Seperti taktik membongkar pertahanan lawan.
Taktik itu dibahas dan diuji dalam latihan untuk kemudian dipraktikkan saat pertandingan.
Mempertontonkan video saat tim latihan dan bertanding juga menjadi salah satu kebiasaan Luis Milla.
Pemain ditunjukkan apa kelebihannya secara individu dan bagian tim. Lalu, pelatih memperlihatkan kesalahan si pemain, baik itu saat latihan atau pertandingan.
Tak berhenti di situ, Luis Milla biasanya menutup sesi diskusi itu dengan kembali memberikan pujian kepada si pemain.
(Baca Juga: Pesan Luis Milla pada Pesepak Bola Indonesia sebelum Kembali ke Spanyol)
Jujur, perbedaan bahasa memang sempat menjadi kendala di awal-awal keberadaan Luis Milla di timnas.
Bahkan, ada pihak-pihak yang meminta Luis Milla mencari asisten pelatih dari Indonesia yang bisa berbahasa Spanyol sehingga tidak memerlukan penerjemah.
Luis Milla menolak saran tersebut.
Lama-kelamaan perbedaan bahasa itu menjadi biasa, dan tidak membuat jarak antara pelatih dengan pemain.
Luis Milla juga menolak anjuran dari tokoh-tokoh sepak bola nasional dan mantan pemain yang meminta ia menerapkan sepak bola tiki-taka di timnas.
Katanya, ia harus menyesuaikan program latihan dengan karakter pesepak bola di Tanah Air. Tidak bisa dipaksakan dengan gaya tiki-taka atau milik negara lain.
Hal mencolok dari Luis Milla yang juga saya perhatikan adalah ia selalu membela pemain.
Tak ada pemain yang ia biarkan menerima kritikan atau celaan dari pihak luar, termasuk tokoh atau mantan pesepak bola kita.
Totalitas Luis Milla dalam bekerja untuk timnas Indonesia juga terlihat dalam wujud kesedihannya yang luar biasa ketika kita kalah dari Uni Emirat Arab.
Sayang, saya tidak sempat merekam momentum saat ia menangis di hadapan pemain usai pertandingan itu.
Saya tidak menduga ia akan begitu sedih dan sangat terpukul. Saya tidak berbohong soal ini.
Soal pemberitaan reaksi Luis Miulla terhadap wasit yang memimpin laga Indonesia versus UEA, menurut saya Luis Milla tidak marah.
Hanya, ia menyebut wasit tersebut tidak pantas memimpin pertandingan di event sebesar Asian Games.
Lalu, ke depan seperti apa?
Pertama, saya berharap PSSI mau kembali memakai Luis Milla sebagai pelatih tim nasional.
Asistennya bisa siapa saja, tak harus saya. Tetapi, alangkah baiknya bila Luis Milla yang memimpin timnas berlaga di Piala AFF 2018.
Bagi saya pribadi, Sabtu (25/8/2018) sore saya kembali ke Pekanbaru.
Saya akan kembali melatih anak-anak di Pekanbaru, yakni di Akademi Sepak Bola Tiga Naga.
Kita tunggu saja bagaimana komposisi tim pelatih saat rencana beruji coba pada pertengahan September nanti. Semoga ada Luis Milla di dalamnya.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar