Bagi saya, momen "menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas" di dalam Istora sungguh nyata.
Ribuan suporter rela antre dalam hitungan puluhan menit hingga jam demi bisa masuk, lalu tak tanya siapa di sebelahnya, mereka sama-sama satu rasa dan menyanyikan chant seirama.
Keluar dari Istora, hal berbeda justru saya ketahui dan rasakan, terlebih dengan aktivitas saya di media sosial.
Bahasan-bahasan "cari perhatian" pun muncul dan "mendapat perhatiannya" di media sosial.
Beberapa sensasi untuk merundung atlet menjadi viral, tak sedikit para netizen yang turut menghardik pelaku, seakan memberi panggung untuk "gimmick" tersebut dikenal. Atau malah berniat agar dicap heroik, kita tak tahu.
Perbedaan
Warga Twitter :
'Ayo Ginting'
'Kamu sudah berjuang untuk indonesia. Kami bangga padamu'
'Semangat ginting'
'Terimakasih Ginting'
etc.Meanwhile warga Ig : pic.twitter.com/Vbi1NG3muD
— Githa Nathania (@NathaniaCircle) 27 Agustus 2018
Begitupun dengan perdebatan di luar konteks keolahragaan, soal celetukan "rahim anget" yang membuat masyarakat seolah terpecah antara kubu guyonan dan kubu pelecehan.
Bagaimana membuat lawakan beberapa hari terakhir? Masukkan kata: rahim hangat
.
Bagaimana membuat isu pelecehan beberapa hari terakhir? Masukkan kata: rahim hangat
.
Segala sesuatu memang bagaimana persepsi— Fiersa Besari (@FiersaBesari) 28 Agustus 2018
Fenomena ini juga membuat saya belajar, bahwa apa yang dikatakan Richard Gullianotti bahwa globalisasi, juga internet-isasi, merupakan antitesis dari olahraga itu sendiri.
(Baca Juga: Membaca Mulut Indra Sjafri, Timnas U-19 Indonesia Dibentuk Tak Sekadar untuk Gelar Juara)
Bahasan-bahasan "subjektif" tersebut bahkan sempat menutupi pencapaian kolektif, saking viralnya dan banyak dibahas dengan cukup lama.
Ini yang dapat juara Indonesia lho, kok malah bahas yang lain....
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar