Bulu tangkis, seperti halnya olahraga lainnya, memang dipercaya bisa menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas.
Gagasan "menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas" bukan datang dari saya, tetapi muncul dari konsep yang diperkenalkan oleh Richard Giulianotti, seorang profesor Sosiologi dari Sekolah Olahraga dan Ilmu Kesehatan, Universitas Loughborough, Inggris.
Richard Giulianotti banyak meneliti mengenai olahraga dan beberapa kaitan dengan globalisasi serta internet-isasi. Gagasan tersebut pun muncul terlebih ketika dua hal tersebut menimbulkan dampak yang kerap bertolak belakang.
Dari tiga jurnal yang saya baca, Richard Giulianotti melihat bahwa globalisasi tak sekadar menjadi fenomena yang menghilangkan batas-batas teritorial atau seperti istilah milik Marshall McLuhan, global village.
Lebih dari itu, Gullianotti melihat globalisasi melemahkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas suatu masyarakat.
Sedangkan olahraga seperti sebuah antitesis dari globalisasi, di mana olahraga bisa malah memperkuat hubungan tiga hal tersebut.
Setidaknya, saya percaya konsep ini ketika menonton langsung pertandingan semifinal kategori perorangan bulu tangkis di ajang Asian Games 2018.
Senin, 27 Agustus 2018, saya kembali menginjak Gelora Bung Karno, sejak terakhir kali saya magang di Kompas TV pada tahun 2016, dan pertama kalinya bagi saya masuk ke dalam Istora.
Istora memang menjadi sebuah ikon tersendiri bagi dunia bulu tangkis, momok bagi banyak atlet bulu tangkis, bahkan tidak berlebihan jika predikat itu digelarkan hingga masa sekarang.
(Baca Juga: Timnas Indonesia Dominan Serangan Sayap, Adakah Senjata Simpanan Luis Milla?)
Mantan Redaktur Olahraga Harian Kompas, Jimmy S Harianto, menuliskan bahwa kondisi angker di Istora tercipta lewat atmosfernya.
"Orang boleh juara All England di Wembley Arena, London. Atau Japan Open di Yoyogi Stadium, Tokyo. Tetapi kalau belum pernah juara di Istora Senayan, ia belum dipandang publik bulu tangkis sebagai juara sejati," tulisnya dalam kolom yang diterbitkan pada 2017.
Tumbangnya juara dunia tunggal putra 2018, Kento Momota, dan juara dunia ganda putra 2018, Li Junhui/Liu Yuchen, di Asian Games 2018 oleh wakil Indonesia jelas menjadi bukti tersendiri soal angkernya Istora.
Saya yang waktu itu duduk di kursi Kategori A langsung terpana dengan suasana Istora dan para pencinta bulu tangkis Indonesia.
Megahnya stadion berkapasitas tujuh ribu kursi ini berkombinasi dengan meledak-ledaknya semangat para suporter di tribune, terlebih jika wakil Indonesia bermain.
Saat match pertama babak semifinal tunggal putra antara Jonatan Christie melawan Kenta Nishimoto, saya duduk empat baris di atas pendukung Pusarla Venkata Sindhu, yang juga bertanding melawan Akane Yamaguchi di court berbeda.
Saya melihat bahwa beberapa kali kelompok suporter berisi lima orang ini agak sungkan untuk berteriak memberikan semangat bagi Sindhu.
Padahal, persiapan mereka sudah cukup lengkap. Bendera India dan clapping balloon pun sudah berada di tangan.
(Baca Juga: Kebanggaan Tiada Batas di Opening Ceremony Asian Games 2018)
Hanya, teriakan "Jojo Bisa...", "Indonesia..." dan "Habisin...Habisin..." seakan tak berhenti sepanjang tiga gim laga berjalan.
Tak hanya itu, satu momen yang menggetarkan hati saya adalah saat detik-detik kekalahan Anthony Sinisuka Ginting dari wakil Taiwan, Chou Tien Chen.
Saya sendiri merasakan lolosnya dua wakil Indonesia di nomor ganda putra ke final jelas ingin disempurnakan dengan All Indonesian Final juga di nomor tunggal putra.
Setiap Anthony kehilangan poin, tak sedikit dari kami yang kecewa dan beruciap "Yah..." atau "Aduh, Ginting..." sembari harap-harap cemas.
Hasil tetap memperlihatkan bahwa langkah Anthony terhenti di capaian medali perunggu.
Namun, satu hal yang tidak saya ekspektasikan terjadi riuh di dalam stadion.
Saat Anthony bertumpu pada lututnya dan menunduk lemas, ribuan suporter Indonesia saat itu memberikan standing ovation dengan meriah.
Teriakan "Terima kasih Anthony...", "Semangat Anthony....", bersahutan. Bahkan siulan-siulan tanda apresiasi penampilan sang atlet pun terdengar.
Dua poin terakhir Chou Tien Chen (Taiwan) yang menghentikan laju pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting, pada babak semifinal bulu tangkis kategori perorangan Asian Games 2018.#AsianGames2018 #AsianGames #EnergyofAsia pic.twitter.com/jVXl86tbXb
— BolaSport.com (@BolaSportcom) 27 Agustus 2018
(Baca Juga: Prancis Memindahkan Gunung, Kroasia Menemukan Serpihan yang Hilang)
Bagi saya, momen "menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas" di dalam Istora sungguh nyata.
Ribuan suporter rela antre dalam hitungan puluhan menit hingga jam demi bisa masuk, lalu tak tanya siapa di sebelahnya, mereka sama-sama satu rasa dan menyanyikan chant seirama.
Keluar dari Istora, hal berbeda justru saya ketahui dan rasakan, terlebih dengan aktivitas saya di media sosial.
Bahasan-bahasan "cari perhatian" pun muncul dan "mendapat perhatiannya" di media sosial.
Beberapa sensasi untuk merundung atlet menjadi viral, tak sedikit para netizen yang turut menghardik pelaku, seakan memberi panggung untuk "gimmick" tersebut dikenal. Atau malah berniat agar dicap heroik, kita tak tahu.
Perbedaan
Warga Twitter :
'Ayo Ginting'
'Kamu sudah berjuang untuk indonesia. Kami bangga padamu'
'Semangat ginting'
'Terimakasih Ginting'
etc.Meanwhile warga Ig : pic.twitter.com/Vbi1NG3muD
— Githa Nathania (@NathaniaCircle) 27 Agustus 2018
Begitupun dengan perdebatan di luar konteks keolahragaan, soal celetukan "rahim anget" yang membuat masyarakat seolah terpecah antara kubu guyonan dan kubu pelecehan.
Bagaimana membuat lawakan beberapa hari terakhir? Masukkan kata: rahim hangat
— Fiersa Besari (@FiersaBesari) 28 Agustus 2018
.
Bagaimana membuat isu pelecehan beberapa hari terakhir? Masukkan kata: rahim hangat
.
Segala sesuatu memang bagaimana persepsi
Fenomena ini juga membuat saya belajar, bahwa apa yang dikatakan Richard Gullianotti bahwa globalisasi, juga internet-isasi, merupakan antitesis dari olahraga itu sendiri.
(Baca Juga: Membaca Mulut Indra Sjafri, Timnas U-19 Indonesia Dibentuk Tak Sekadar untuk Gelar Juara)
Bahasan-bahasan "subjektif" tersebut bahkan sempat menutupi pencapaian kolektif, saking viralnya dan banyak dibahas dengan cukup lama.
Ini yang dapat juara Indonesia lho, kok malah bahas yang lain....
Asian Games 2018, bulu tangkis, dan juga medali-medali yang dikalungkan di Istora untuk Indonesia adalah pencapaian-pencapaian semua orang.
Istora dan isinya, baik itu pelatih, atlet, staf ofisial, dan juga penontonnya bersatu untuk kebanggaan yang sama, local pride.
Penghargaan yang saya lihat di Istora, juga mungkin di berbagai venue lainnya, tak sekadar soal menang dan kalah atau duduk di kategori mahal atau murah.
Tapi bentuk usaha demi bangsa, atlet melakukan di lapangan, sedangkan suporter menjalankan tugasnya di kursi tribune.
Bukankah akhir-akhir ini kita sudah disibukkan dengan perbedaan pendapat di topik "ini-dan-itu", soal isu "ini-dan-itu"?
Bagi saya, olahraga adalah aktivitas kolektif. Meski atletnya berjuang tunggal, tapi dukungan untuknya menjadikan olahraga selalu tentang kerja sama.
Jika menang kita bergembira bersama, jika kalah kita evaluasi bersama.
Terima kasih, atlet Indonesia. Bukan karena Indonesia berada di peringkat ke-4 pada klasemen Asian Games 2018.
Lebih dari itu, terima kasih sudah menjadi pahlawan-pahlawan bangsa di masa sekarang.
Terima kasih telah menyatukan banyak dari kita yang kerap berselisih, demi menikmati penampilan kalian, demi sorak sorai atas kemenangan kalian, demi tepuk tangan kami untuk menguatkan kalian.
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar