Untuk menguji hipotesis mereka, para peneliti dari Texas tersebut menggunakan sejumlah tikus yang memiliki empat jenis rantai genetik (DNA) yang berbeda. Tikus-tikus ini dibuatkan pola makan yang berbeda-beda jenisnya.
Diet sesuai DNA ini dirancang sedemikian rupa sehingga hampir setara dengan menu makanan yang umum.
Di antaranya adalah makanan barat yang kebanyakan menu Amerika, makanan Mediterania, makanan Jepang, dan makanan diet Maasai (Afrika bagian timur) atau mirip dengan diet ketogenik.
Jika ingin dijabarkan lebih dalam, diet menu Amerika merupakan makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat olahan. Diet Mediterania lebih menonjolkan makanan tinggi serat, termasuk ekstrak anggur merah.
Sedangkan makanan Jepang terdiri dari ekstrak teh hijau dan nasi. Terakhir, diet makanan ketogenik merupakan makanan yang tinggi lemak dan protein, tapi hanya sedikit sekali karbohidratnya.
Barrington, salah satu periset dari penelitian tersebut, mencoba menggabungkan kandungan serat dan senyawa bioaktif yang dianggap penting dalam uji coba ini.
Tidak lupa juga, tim peneliti memantau kesehatan kardiometabolik tikus, mengukur tekanan darah, gula darah, kadar kolesterol, dan melihat tanda-tanda adanya perlemakan hati.
Tingkat aktivitas fisik para tikus juga dipantau. Begitu pula dengan nafsu makan tikus serta asupan makanannya.
Lalu bagaimana hasilnya?
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 3 dari 4 diet sesuai DNA ini bekerja baik untuk kebanyakan tikus. Akan tetapi, tikus dengan rantai genetik keempat tidak merespon pola makan Jepang dengan baik.
Editor | : | Nina Andrianti Loasana |
Sumber | : | kompas.com |
Komentar