Babak baru buat electronic sports alias eSports di Asia terjadi di Indonesia di tengah penyelenggaraan Asian Games 2018, 18 Agustus 2018 hingga 2 September 2018.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, eSports dipertandingkan di ajang olahraga multicabang terbesar di Asia walaupun memang hanya berstatus ajang ekshibisi.
Sebelum ini di level Asia, eSports baru pernah dipertandingkan di Asian Indoor Games 2007, kemudian di Asian Indoor-Martial Arts Games sejak 2013.
Setelah hanya menjadi ajang ekshibisi di Asian Games 2018, eSports rencananya akan benar-benar dipertandingkan untuk memperebutkan medali pada Asian Games 2022.
Juga di level yang lebih tinggi, eSports sedang menjadi bahan diskusi untuk dipertandingkan di Olimpiade Paris 2024.
(Baca Juga: Hasil Undian Liga Champions - Cristiano Ronaldo Balik ke Manchester, Grup B Neraka)
Tidak bisa tidak, video game dan eSports terus mengalami perkembangan yang signifikan sejak game pertama kali diperkenalkan pada akhir 1970-an.
Walaupun memiliki banyak kualitas, sensasi eSports memang pada akhirnya tak bisa disejajarkan dengan olahraga tradisional.
Olahraga tradisional tetap memiliki nilai-nilai yang tidak akan pernah bisa disamai oleh eSports.
Akan tetapi, seiring dengan makin canggihnya teknologi video game, plus kian mahalnya biaya untuk memainkan olahraga tradisional, eSports membuka banyak kemungkinan untuk menikmati olahraga tanpa perlu melakukannya secara nyata.
Di tengah perkembangan masifnya yang tidak terbantahkan, masih ada banyak diskusi soal pro dan kontra eSports.
Yang menjadi persoalan utama adalah eSports berkembang di kalangan masyarakat berusia muda.
Nilai positif dan negatif dari aktivitas menekuni video game, yang menjadi dasar dari eSports, benar-benar jadi harus diperhitungkan.
(Baca juga: Asian Games 2018 - Menpora Akan Cairkan Bonus bagi Peraih Medali Pekan Depan Tanpa Pajak)
Secara mudah, seperti dikutip oleh Bolasport.com dari Thestudentview, nilai positif bermain game antara lain adalah membantu mengembangkan kemampuan anak-anak untuk menyelesaikan problem, melatih kerja sama tim, serta membangun kemampuan komunikatif dan kreativitas.
Tambahannya, mereka juga bisa mengembangkan kemampuan membaca dan menulis.
Video game, dalam hal ini eSports, membantu anak-anak untuk bersosialisasi dan berkompetisi secara sehat dengan orang lain.
Melakukan eSports juga sangat minim memiliki kemungkinan mengalami cedera walaupun bukan berarti mustahil.
Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, eSports memiliki keunggulan.
Olahraga tradisional jelas lebih berbahaya dengan atlet berpotensi mengalami cedera parah dalam usia muda yang bahkan bisa mengakhiri kariernya secara dini.
Sementara itu, nilai negatif dari eSports tentu saja adalah potensi membuang banyak waktu, mengganggu aktivitas lain yang seharusnya bisa dilakukan.
Atmosfer sosialisasi dalam lingkungan eSports juga tidak sama dengan sosialisasi masyarakat pada umumnya.
Ada aspek-aspek yang tidak akan pernah bisa dimiliki sosialisasi lewat eSports.
(Baca Juga: Grup Neraka Liga Champions 2018-2019, Bukan Grup Barcelona atau Manchester United)
Belum lagi bermain game juga memiliki bahaya memberikan pengaruh buruk buat masyarakat usia muda.
Misalnya dari chat online yang tidak sehat, budaya negatif seperti kekerasan atau pornografi, serta perundungan yang bisa terjadi di antara pemain.
Tidak mudah untuk menghitung dan memperbandingkan nilai-nilai positif dan negatif yang dimiliki eSports untuk kemudian mengambil kesimpulan nilai mana yang lebih banyak.
Yang bisa dilakukan adalah melakukan optimalisasi agar lebih banyak nilai positif yang dimunculkan para pelaku eSports.
Bentuk termudah dari optimalisasi itu adalah kontrol.
Semua nilai negatif yang dimiliki oleh eSports bisa ditekan dengan fungsi kontrol dan pengawasan, baik dari diri sendiri maupun keluarga.
Dari banyaknya waktu yang terbuang, sosialisasi yang tidak sehat, sampai budaya negatif.
Apabila kontrol terhadap nilai-nilai negatif berhasil dilakukan, pada akhirnya hanya nilai positif dari eSports yang akan muncul secara dominan.
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | Thestudentview.org |
Komentar