BOLASPORT.COM - Ceritanya berawal dari sebuah rumah di Murphy, kawasan pertanian sekitar 300-an kilometer dari ibu kota Argentina, Buenos Aires, tiga dasawarsa silam.
Mahaguru pencarian bakat pemain Argentina, Jorge Griffa, mengetuk jendela rumah sederhana.
Sudah dini hari kala itu. Sekira pukul dua.
Griffa disambut dua orang, suami-istri. Ia dipersilakan masuk, lantas berbincang basa-basi soal hasil pertanian mereka.
Sebentar saja, Griffa langsung mengutarakan tujuannya datang blusukan ke situ dan meminta izin mengintip anak mereka yang sedang tertidur di kamar.
Ketika masuk, Griffa terkesan melihat kaki remaja yang pipinya tembam itu. "Kaki yang bagus. Itu kaki pesepak bola!" katanya.
Anak dengan kaki yang menarik itu ialah Mauricio Pochettino ketika usia 14 tahun.
Baca Juga : Tottenham Hotspur dan Kisah Debut Wakil Inggris di Final Liga Champions
Momen di atas ialah pertemuan pertama Pochettino dengan Griffo selaku pencari bakat akademi klub Newell's Old Boys dan Marcelo Bielsa, pelatihnya.
Bukan tanpa alasan dua orang berpengaruh di sepak bola akar rumput Argentina itu penasaran mengamati Pochettino.
Kabar angin menyebut ada anak sangat berbakat yang tinggal di kawasan pertanian Murphy, Provinsi Santa Fe.
Singkat cerita, dari hasil blusukan ke tempat tidur, Pochettino pun direkrut Newell's dan menjadi anak buah Bielsa di klub itu serta di Espanyol dan timnas Argentina.
Awal cerita sebagai anak petani membentuk karakter Pochettino sebagai pria tangguh, sederhana, pekerja keras, tetapi berdaya inteligensi tinggi dalam merancang sesuatu yang terstruktur.
Baca Juga : Ada Istri Cerewet di Balik Kesuksesan Mauricio Pochettino di Tottenham
Deretan skill itu ibarat resep lahiriah di kantong Pochettino yang dia bawa berkelana sebagai pesepak bola hingga kini sebagai pelatih.
Pria berusia 47 tahun itu adalah seorang family-man. Lelaki ramah, mudah bergaul, tetapi tegas terhadap prinsip.
Pochettino mungkin bukan pelatih yang diharapkan mendatangkan kesuksesan instan.
Dia bukan Jose Mourinho atau Pep Guardiola yang selalu dikalungi beban wajib meraih gelar karena disokong skuat elegan.
Profil sekelas Pochettino masih bisa dibilang ada di zona aman. Paling-paling membawa tim jadi kandidat juara, itu sudah terbilang sukses.
Namun, jangan kaget kalau awal bulan depan Poche bisa mempersembahkan trofi yang sebelumnya sebatas mimpi bagi publik Spurs: Liga Champions.
Membawa Tottenham ke final untuk berjumpa Liverpool memperbolehkan publik Spurs menjangkau mimpi yang terakhir terbangun puluhan tahun silam.
Tottenham baru menjuarai ajang kontinental tiga kali, yaitu Piala Winners 1962-1963 dan Piala UEFA 1971-1972 serta 1983-1984.
Baca Juga : Liverpool dan Tottenham Gagalkan Tim Kesembilan Raih Treble Winner
Pochettino baru berusia dua bulan ketika pasukan Spurs mengangkat trofi pertama di Piala UEFA.
Dibanding membahas strategi dan taktik Mauricio Pochettino secara njelimet, saya lebih tertarik melihat kekuatan personal dia membangun tim dari level paling dasar: ruang ganti dan tempat latihan.
Poche lebih memandang tim dan suporter sebagai satu keluarga. Dia mengakrabkan diri dengan semua pemain, staf, hingga koki dan pegawai lain di markas tim.
Hal serupa berlaku bagi semua pemain dan ofisial tim. Setiap hari dia tertawa bersama pemain dalam sesi di lapangan.
Baca Juga : Lolos ke Final Liga Champions, Pochettino Gembira Bersua Juergen Klopp
Poche berperan sebagai pelatih komplet yang cerdas dalam segi taktikal, juga konsultan pemain soal kondisi fisik, teknik, dan mental.
"Dia salah satu pelatih terbaik di dunia. Tahu bagaimana cara pemain mengeluarkan kemampuan terbaik, memberi kans tampil di laga penting, dan sangat memercayai kami," kata Harry Kane.
Meski terlihat sepele, resep harmoni yang diterapkan Pochettino nyatanya dirasakan vital menggenjot performa klub.
Dia melayangkan memori publik Spurs ke sosok Bill Nicholson yang meramu tim sedemikian rupa menjadi harmonis dan berprestasi puluhan tahun silam.
Orang ini paling sakral di Tottenham. Nicholson merupakan pelatih Spurs era The Glory Years pada awal 1960-an hingga 1970-an.
Nicholson menyumbang 11 gelar, termasuk titel Liga Utama Inggris (1960-1961), Piala Winners yang jadi trofi perdana mereka di Eropa (1962-1963), hingga Piala UEFA 1971-1972.
Seperti halnya Poche, Nicholson memperkuat fondasi Spurs dengan man-management kelas top yang mengutamakan azas kekeluargaan serta kemesraan di skuat.
"Salah satu faktor kesuksesan Tottenham adalah saya punya banyak pemain bijaksana yang senang bermain bersama satu sama lain. Tak ada yang diasingkan atau dibedakan," kata Nicholson, dikutip BolaSport.com dari situs klub.
"Semuanya ingin maju dan sukses bersama-sama. Kami adalah sebuah tim dalam arti yang sebenarnya," ucap sang legenda yang wafat pada 2004 tersebut.
Cliff Jones, winger andalan Spurs di era kejayaan itu menautkan persamaan filosofi kekeluargaan Poche dengan Nicholson.
Baca Juga : Liverpool vs Tottenham - Partai Langka di Final Liga Champions
"Spurs kini sangat kompak dan menyenangkan. Ada komitmen kepada suporter dan klub, sama seperti yang Bill tanamkan di klub ini dahulu," ujarnya.
Makanya, tak heran kalau frekuensi ribut-ribut di Tottenham selama ini nyaris nihil, kalaupun ada tidak sebesar di Manchester United, Chelsea, atau Arsenal.
Persamaan filosofi sudah. Kini tinggal kemiripan sisi sejarah yang jangan-jangan menjadi pertanda Pochettino bakal berjaya juga.
Spurs meraih Piala Winners sebagai trofi perdana mereka di Eropa pada 1963 atau lima tahun setelah Nicholson diangkat sebagai pelatih (1958).
Kalau dihitung, interval itu pula yang mengantarai waktu momen pengangkatan Pochettino (2014) sejak dilantik Spurs hingga final Liga Champions 2019.
Baca Juga : Tottenham Hotspur ke Final Liga Champions Setelah Seribu Purnama
Masih ada persamaan lain. Mesin tempur Tottenham musim ini dioperasikan dengan bujet bahan bakar nol di bursa transfer.
Saat para pelatih klub elite merengek minta pemain supermahal, Pochettino sabar saja mengoptimalkan materi yang ada.
Justru materi yang tak banyak mengalami perombakan membuat pemain yang ada semakin kompak dan punya waktu ekstra untuk saling memahami satu sama lain. Tak perlu anak baru yang adaptasi lagi.
Ditopang manajemen keren, teknologi analisis tim terpadu, serta sokongan fan, mesin-mesin low budget ini mendobrak ke final Liga Champions dan stabil di empat besar Liga Inggris.
Baca Juga : Jadwal Final Liga Champions - Tottenham Hotspur Vs Liverpool
Situasi kurang lebih sama dilakukan Bill Nicholson saat merancang Spurs.
Tottenham berbelanja aktif pada 1959-1960 atau semusim sebelum berkuasa dengan gelar dobel Liga Inggris dan Piala FA 1961.
Menurut Transfermarkt, menjelang musim 1960-1961 itu, justru riwayat pengeluaran transfer Spurs juga nihil, tapi hasilnya terbukti maksimal.
Semusim kemudian, mereka pun hanya menambah amunisi dengan merekrut Jimmy Greaves dari AC Milan.
Dengan materi tak banyak berubah, Nicholson justru menyulap Spurs menjadi tim penuai gelar dengan permainan atraktif lewat sistem yang dia bangun beberapa tahun.
Baca Juga : Hasil Liga Champions - Laga Super Dramatis, Tottenham Hotspur Maju ke Final
Urusan gelar bukan target instan lantaran mereka yakin hasil tak akan membohongi proses yang baik.
"Lebih baik gagal dalam mencapai target yang tinggi daripada sukses dalam mencapai target yang rendah. Spurs telah menetapkan standar sangat tinggi, hingga kegagalan sekalipun akan terasa seperti sebuah kejayaan," demikian kutipan ujaran Nicholson yang kondang.
Kira-kira situasi sama tengah dihadapi Tottenham bersama Pochettino dengan bayangan gelar Liga Champions perdana di pelupuk. Lalu, bagaimana kalau gagal?
Rasanya tidak masalah juga karena mencapai final saja sudah prestasi hebat bagi Pochettino. Seperti kata Nicholson tadi.
View this post on Instagram
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | The Guardian, bbc.co.uk, dailymail.co.uk, as.com, transfermarkt.com, Tottenhamhotspur.com |
Komentar