Ia pun mendapat pengalaman berharga, bagaimana mengatasi permasalahan di lapangan dalam tekanan yang cukup tinggi.
Namun, Alan mengaku tak ingin jemawa. Titel juara hanya bagian dalam sejarah hidupnya. Bukan suatu hal istimewa yang harus ia terus banggakan.
"Setelah juara saat itu, saya jadi tahu gitu, di lapangan dengan masalah tertentu, saya jadi tahu solusinya. Walaupun pada akhirnya karena masalah tenaga juga. Kalau lawan yang lebih muda rubber game kalah, jadi saya pikir wah ini sudah tua."
"Sudah saatnya saya berhenti. Tahun 1996 saya ikut Olimpiade lagi, tetapi saya kalah pada perempat final dari juaranya, Poul Erick (Denmark). Saat itu, dia mainnya luar biasa, dan memang pantas dia menjadi juara," ucap Alan.
"Saya ingat banget pelatih saya bilang, inget ya Lan ya, elu juara pas naik podium, begitu turun elu bukan juara lagi, elu turun jadi orang biasa. Supaya beban itu nggak saya bawa terus, dan itu yang membuat saya tetap mawas diri," tutur Alan.
Editor | : | Delia Mustikasari |
Sumber | : | badmintonindonesia.org |
Komentar