BOLASPORT.COM - "Seorang pemain sepak bola yang baik harus menggunakan hati dan logikanya saat turun merumput. Begitu pula kita dalam bekerja," begitu ucap Arief Natakusumah kepada saya dalam sebuah perbincangan.
Bagi kalian yang mengikuti informasi sepak bola melalui Tabloid BOLA pada tahun 1996 sampai berhenti edarnya, tentu mengenal dan familiar dengan sosok Arief Natakusumah.
Sebagai wartawan sepak bola, khususnya Liga Italia dan Liga Inggris, beliau juga pernah mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid BOLA, jabatan tertinggi sepanjang karier jurnalistiknya di markas Si Gundul.
Ratusan lebih ulasan melalui pemikiran usai membaca banyak referensi dituangkannya dengan hati yang penuh cinta terhadap sepak bola.
Saya masih ingat seluruh detail pembicaraan kami hari itu, termasuk ketika saya mengingatkan beliau untuk tidak merokok di ruangan.
Baca Juga: Arsenal Ukir Banyak Rekor di Liga Inggris tetapi Percuma Tidak Ada Trofinya
Walaupun dia salah seorang pimpinan saat itu, saya adalah komandan SDM dari tabloid olahraga legendaris di Indonesia.
Bicara tentang hati dan logika (bahasa halus untuk otak), Arief Natakusumah bertanya tentang klub favorit saya.
Saya jawab: "Inter Milan."
"Apakah itu mewakili logika dan hati kamu?," tanyanya lagi.
Kali ini saya diam. Lalu dia mulai bercerita tentang bagaimana hati dan otak logikanya membaptis dirinya sebagai penggemar Arsenal dan Napoli.
Mas Nata, biasa kami memanggilnya, mencintai Napoli karena sosok besar bernama Diego Armando Maradona.
Manusia setengah dewa, demikian Mas Nata berulang kali menggambarkan Maradona.
Kita pun semua tahu, di zaman Maradona, Napoli sukses merengkuh dua titel juara Serie A Liga Italia, yaitu musim 1986-1987 dan 1989-1990.
Baca Juga: Hasil Napoli Vs Lazio - Immobile Gagal Lampaui Rekor Higuain, Si Elang Finis 4 Besar
Tak hanya gelar Serie-A, pada musim 1986-1987, Diego Maradona memimpin Napoli mengalahkan tim yang pada musim 2019-2020 naik daun, Atalanta.
Dengan agregat 4-0 atas Atalanta di partai puncak, Napoli yang kala itu dinakhodai Ottavio Bianchi sukses meraih trofi Coppa Italia.
Diego Maradona yang mengalami puncak karier saat tujuh tahun bersama Napoli adalah sosok yang memenangi hati para suporter.
Tak terkecuali hati Arief Natakusumah.
Maklumlah, ketika di Italia sepak bola adalah olahraga yang paling digemari, hal itu sempat tidak berlaku di kota Naples.
"Hal tersebut terjadi karena tim sepak bola di sana tidak memiliki prestasi yang cukup bagus, sampai Maradona datang dan mengubah semuanya," cerita Mas Nata kepada saya.
Panjang lebar Mas Nata bercerita tentang Napoli, beliau pun bersemangat saat menceritakan klub yang difavoritkan berdasarkan otak atau logikanya.
Baca Juga: RESMI - 20 Klub yang Akan Bertanding di Premier League 2020-2021
Dengan menyeruput kopi dari gelas keduanya, Mas Nata lantas bercerita tentang Arsene Wenger, sang pelatih Arsenal kala itu.
Kata "Profesor" adalah pangkat dosen tertinggi dalam perguruan tinggi dan bisa diartikan sebagai guru besar.
Arsene Wenger adalah sosok profesor sepak bola.
Mas Nata mengatakan kepada saya betapa banyak publik sepak bola meragukan pria kelahiran Strasbourg ini di awal kariernya menjadi nakhoda Arsenal.
Mungkin banyak pihak menganggap Presiden Arsenal saat itu, David Dein, sudah gila saat memilih Arsene Wenger untuk menangani Tony Adams dkk.
Akan tetapi, pria Prancis ini menjawab semua keraguan itu.
"Otak dan logika yang menjadi kekuatan Arsene Wenger," lanjut Mas Nata kepada saya.
Dari Arief Natakusumah, saya mendapat cerita bahwa Arsene Wenger adalah seorang sarjana teknik yang juga mengambil gelar master di bidang ekonomi dari sebuah universitas di Strasbourg.
Baca Juga: Hasil Play-off Liga Inggris - Dua Gol Bek Kiri Bawa Fulham Promosi ke Premier League
Sebagai sarjana teknik, Wenger menerapkan ilmunya di lapangan hijau bersama Arsenal lewat taktik permainan yang jitu.
Sebagai master ekonomi, kita pun mengenal Wenger sebagai manajer yang mampu memberikan keuntungan bagi Arsenal dari segi finansial.
Maklum, Wenger kita kenal sering meraih kesuksesan dengan pengeluaran uang transfer yang sedikit.
Belakangan, Arsene Wenger menjadi manajer tersukses dan terlama dalam sejarah tim Meriam London, terutama dalam hal pengumpulan trofi juara.
Salah satu momen yang sampai kini belum bisa disamai tim mana pun ialah saat Wenger membawa Arsenal menjadi kampiun Premier League pada musim 2003-2004 tanpa menelan satu kekalahan.
Kisah menjadi The Invincibles serta laga-laga krusial musim itu pun jadi menu cerita Mas Nata kepada saya.
Sesaat Arsenal mengalahkan Manchester City dan memastikan diri maju ke final Piala FA musim 2019-2020, saya kembali teringat sosok Mas Nata.
Baca Juga: Mantan Asisten Pelatih Persija Almarhum Satia Bagdja Positif COVID-19
Saya yakin, Mas Nata sangat kencang dan tekun dalam mendoakan Arsenal untuk menjadi pemenang di laga puncak menghadapi Chelsea.
Gelar Piala FA menjadi satu-satunya cara bagi Arsenal untuk menyelamatkan musim yang buruk ini.
Hal itu sebagai imbas karena Pierre-Emerick Aubameyang dkk mengakhiri kompetisi Premier League musim ini dengan hanya duduk di posisi kedelapan klasemen.
Gelar Piala FA akan menjadi tiket bagi Arsenal untuk berlaga di kompetisi antarklub Eropa musim 2020-2021 lewat tajuk Liga Europa.
Doa itu ternyata dijawab Tuhan dengan manis. Arsenal sukses mengalahkan Chelsea dengan skor 2-1.
Saya berani bertaruh, andai saja tidak ada pandemi, penulis buku berjudul Drama Itu Bernama Sepak Bola ini mungkin akan menggelar syukuran.
Betapa tidak, musim 2019-2020 yang aneh ini berakhir dengan kegembiraan baginya.
Baca Juga: Sebelum Bela Persija, Pemain Ini Hampir Saja Berlaga di Eropa
Sebelum Arsenal merengkuh gelar ke-14 di ajang Piala FA, Napoli, klub lain yang merepresentasikan hatinya juga sukses menjadi juara Coppa Italia.
Serupa dengan Arsenal, Napoli yang menempati posisi ketujuh di akhir klasemen Serie A musim ini akhirnya meraih tiket ke Liga Europa musim depan dengan status juara Coppa Italia.
Gelar keenam Napoli di ajang Coppa Italia diraih dengan mengalahkan Juventus lewat drama adu penalti di babak final.
Menariknya, baik Arsenal yang menjadi juara Piala FA dan Napoli yang mengklaim Coppa Italia, sama-sama diarsiteki seorang pelatih yang belum genap satu tahun menangani kedua tim.
Baik Mikel Arteta maupun Gennaro Gattuso baru resmi menangani Arsenal dan Napoli sejak Desember 2019.
Andaikata Tabloid BOLA masih ada dan Mas Nata masih berkarya di sana, tentu ulasan melalui hati dan logika akan terlihat lewat artikel dan naskah-naskah keren darinya.
Hari ini dari kejauhan saya pun ikut bahagia atas keberhasilan Arsenal dan Napoli meraih gelar Piala FA dan Coppa Italia.
Saya tidak merokok, tetapi sembari minum dua gelas kopi, saya mengenang Mas Nata lewat tulisan ini.
Baca Juga: Demi Pertahankan Aubameyang, Arsenal Harus Buang 3 Pemain Minim Kontribusi
Saya memang tidak bisa menulis sebaik seorang Arief Natakusumah, karena sejatinya saya adalah praktisi HR, bukan jurnalis sepak bola macam beliau.
Sebuah kebetulan saat saya mengingat pertemuan terakhir kami.
Rabu, 3 Agustus 2016, itulah perjumpaan terakhir saya dan Mas Nata.
Empat tahun silam, di sebuah kedai roti yang legendaris kami berbincang apa saja.
Sejak pukul 10 malam sampai kami diingatkan bahwa kedai tersebut sudah akan tutup.
Empat tahun lalu, Mas Nata masih berbicara soal hati dan logikanya, tentang Tabloid BOLA, juga sepak bola.
Arieh Natakusumah, dua huruf dari kata pertama namanya adalah Ar yang menggambarkan Arsenal, yang mewakili otak dan logikanya.
Sementara Na, merupakan dua alfabet pertama dari kata kedua namanya. Na adalah Napoli, representasi dari hatinya.
Alhamdulillah Mas Nata, musim ini Arsenal dan Napoli barengan jadi juara. Belum barengan juara liga memang, tetapi siapa tahu musim depan.
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar