BOLASPORT.COM - Momen Andrea Pirlo melatih Juventus ialah perayaan apresiasi bagi para juru taktik muda. Di sisi lain, ada yang menganggap ini pengingkaran tradisi.
Semuanya barangkali gara-gara Josep Guardiola.
Pada musim pertamanya membesut tim senior Barcelona, Pep langsung menguasai Spanyol dan Eropa, padahal dia hanya punya modal menukangi tim Barcelona B.
Akibatnya, Guardiola membuat standar pencapaian dan ekspektasi terhadap pelatih rookie menjadi sangat tinggi.
Tim-tim berlomba-lomba meniru Barca. Pep jadi simbol kualitas menjanjikan dari seorang pelatih muda.
Begitu juga dengan apa yang dialami Real Madrid bersama Zinedine Zidane beberapa tahun kemudian.
Imbasnya, klub dinilai terlalu gampang memberi kenaikan pangkat bagi para pelatih muda.
“Guardiola memenangi semuanya dengan Barcelona dan semua orang berpikir meniru itu. Anda harus memahami apa yang dipelajari di Coverciano. Kenaikan pangkat yang cepat seperti amnesti bagi para mantan pemain,” ujar Serse Cosmi, eks pelatih senior Perugia.
Baca Juga: Penunjukan Andrea Pirlo oleh Juventus Menghina Asosiasi Pelatih
Komentar Cosmi menjadi sentilan bagi generasi baru yang muncul belakangan di balik kemudi tim besar.
Dia menyindir begitu mudahnya klub mengangkat pelatih hijau sebelum membukukan jam terbang tinggi.
Tanpa argo pengalaman yang mapan, beberapa nama bisa langsung menangani klub besar. Ini yang mengusik para pelakon konservatif.
“Pelatih harus melalui jalan terjal, memeras keringat, bahkan mengorbankan diri sendiri untuk menguji skill mereka sebelum melatih klub besar,” ucap Cosmi.
Cosmi ialah produk generasi gavetta, secara harfiah bisa diterjemahkan “magang” atau golongan pelatih yang melahap masa kepelatihan di berbagai jenjang.
Kategori ini biasanya ditempa dari level bawah bersama klub-klub minor atau sebagai asisten, hingga mendapat kesempatan melatih tim level top.
Contohnya di era modern adalah Massimiliano Allegri, Carlo Ancelotti, Antonio Conte, dan yang paripurna, Maurizio Sarri, korban pemecatan Juventus yang digantikan Andrea Pirlo.
Baca Juga: Andrea Pirlo dari Murid Jadi Musuh Utama, Antonio Conte: Saya Merasa Tua!
Sarri baru melakoni debut di strata tertinggi pada usia 55 tahun. Saat membawa Empoli promosi ke Serie A, Sarri mencapainya dalam tahun kepelatihan ke-24!
Karena itu, betapa geger barisan allenatori senior tatkala AC Milan membahas penunjukan Clarence Seedorf saat dia masih membela Botafogo pada 2014.
Cosmi cs mungkin tertawa melihat Seedorf terbukti hanya bertugas empat bulan.
Lalu kini Pirlo muncul sebagai pelatih kepala Juventus tanpa riwayat menukangi tim, sekalipun di jenjang junior ataupun jadi asisten. Lebih parah dari CV Pep dan Zidane.
“Pemain hebat bukan berarti akan menjadi pelatih yang hebat juga. Anda tidak terlahir sebagai pelatih,” ucap Cosmi.
Jejak Inzaghi dan Capello
Kalau mau mencari komparasi menyerupai model sukses Guardiola, sebenarnya tak usah jauh-jauh meniru Barca.
Simone Inzaghi yang langsung melatih Lazio termasuk klasifikasi terdekat, walau tak segemerlap Pep.
Sejak banting setir, Simone punya bibit pelatih juara melebihi kakaknya, Filippo.
Ia hanya butuh waktu tiga bulan menghadirkan trofi buat tim Primavera.
Total 3 gelar dia berikan di tim junior.
Naik ke tim utama, Simone menuai 2 trofi Supercoppa dan satu gelar Coppa Italia.
Musim 2019-2020, dia membawa Lazio berpacu di jalur scudetto sebelum kendur pasca-pandemi.
Mundur ke era lebih lawas, kiprah Fabio Capello di AC Milan pun menarik diselisik.
Usai gantung sepatu pada 1980, Capello langsung membangun reputasi sebagai salah satu pelatih tim junior terbaik di Italia.
Pada 1986, Silvio Berlusconi resmi mengontrol saham Mediaset dan mulai memimpin Milan sebagai pemilik. Dia sudah mengendus bakat spesial Capello.
Seperti dipaparkan dalam buku "Capello: Portrait Of A Winner" karya Gabriele Marcotti, Capello menawarkan diri bergabung pada sesi latihan pramusim menjelang kompetisi 1986-1987.
Pelatih kepala Rossoneri kala itu, Nils Liedholm, tidak keberatan menanggapi keinginan Capello.
Lebih dari terkesan, petinggi Milan bahkan memberinya pangkat asisten Liedholm.
Dalam masa penuh turbulensi dan tekanan dari pemilik baru, Liedholm dipecat saat musim menyisakan tujuh laga.
“Kalian butuh pelatih baru dan klub sudah memilikinya di depan mata: Capello,” ucap Liedholm saat mengetahui kariernya bakal berakhir di Milan.
Baca Juga: Andrea Pirlo Datang, Akhirnya Juventus Dilatih Mantan Pemain Lagi
Jadilah Capello berada di kursi pelatih interim Rossoneri dengan catatan 3 kemenangan-3 seri-1 kalah sampai akhir musim.
Ia memenuhi target minimal untuk lolos ke Piala UEFA dengan finis di peringkat ke-5.
Berlusconi toh sudah punya rencana lain untuk musim selanjutnya.
Ia tergoda merekrut Arrigo Sacchi, pelatih Parma, klub Serie B yang menekuk Milan 0-1 di San Siro pada laga Coppa Italia, 25 Februari 1987.
Sang presiden dilanda dilema. Ia yakin Sacchi dapat membawa kesuksesan, tetapi ogah membiarkan Capello meretas kejayaan di klub lain.
Akhirnya, Berlusconi menjaganya tetap di Milan dengan memberi kesempatan bekerja di institusi klub serta mengenyam pendidikan pada berbagai bidang.
Capello memperkaya skill teknis sepak bola dengan psikologi, manajemen akuntansi, administrasi bisnis, komunikasi, sumber daya manusia, sampai kemampuan bahasa Inggris dan Prancis.
Sedemikian besar keyakinan Berlusconi menilai Capello sebagai investasi, sehingga hasilnya bisa terlihat saat dia melatih tim utama.
Sejak menggantikan Sacchi pada 1991, Capello dan Milan menjadi penguasa Italia, bahkan Eropa. Dalam lima tahun, dia mempersembahkan sembilan gelar.
Inti kisah tersebut ialah kesuksesan Capello di Milan, walau langsung menukangi klub besar, tidak muncul secara instan pula.
Pada kasus Pirlo, masalah dan perdebatan muncul karena eks maestro lini tengah itu tak pernah mengalami fase-fase penempaan seperti Inzaghi ataupun Capello dan para pendahulunya yang lain.
Para dedengkot di dunia kepelatihan seperti Marcello Lippi, Giampiero Ventura, hingga yang lagi meroket, Gian Piero Gasperini, juga melakoni masa gavetta dengan klub-klub minor, bukan langsung memulainya sebagai pelatih tim utama di klub top.
Baca Juga: Jadwal Semifinal Liga Europa - Sevilla vs Man United, Inter Milan vs Shakhtar Donetsk
Di antara para pelatih muda sedekade terakhir yang langsung dipromosikan ke tim utama klub besar, mayoritas mengenyam pengalaman di level junior lebih dulu.
Vincenzo Montella, Andrea Stramaccioni, atau Filippo Inzaghi dan Cristian Brocchi termasuk kategori ini.
Kegagalan Milan bersama Seedorf mungkin menjadi bayangan replika yang ingin dihindari Juve dengan Pirlo.
Namun, bukannya tak ada contoh sukses yang bisa menjadi refleksi Bianconeri.
Kalau ukurannya gelar, mantan pemain mereka, Gianluca Vialli, pernah langsung sukses di Chelsea setelah menjabat pelatih merangkap pemain.
Tanpa harus magang dulu di klub lain atau tim junior, Vialli membawa The Blues menuai 3 trofi pada 1998.
Bahwa jika prestasi Pirlo kelak tidak sesuai harapan awal, hal itu sudah risiko yang siap disambut Juve.
"Andrea Agnelli (Presiden Juventus) sudah memikirkannya secara hati-hati," begitu keyakinan Renzo Ulivieri, eks pelatih kawakan sekaligus mentor Pirlo di Coverciano.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar