BOLASPORT.COM - Chelsea berhasil menjuarai Liga Champions musim ini tanpa memiliki bomber yang subur.
Chelsea memenangi trofi Liga Champions 2020-2021 setelah menumbangkan Manchester City di final, Sabtu (29/5/2021).
Gol tunggal Kai Havertz pada laga di Estadio do Dragao, Porto, memastikan The Blues menjadi raja Eropa untuk kali kedua setelah gelar yang sama di 2012.
Trofi Liga Champions menjadi penutup sempurna bagi kiprah Chelsea musim ini.
Melihat kiprah mereka yang sempat terseok-seok di separuh awal, apa yang dicapai Chelsea pada akhir musim ini bisa dibilang sebuah keajaiban.
The Blues, apalagi ketika masih ditangani Frank Lampard, tadinya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda bakal sukses besar.
Baca Juga: Chelsea Juara Liga Champions, 5 Kesamaan dengan Musim 2011-2012
Boro-boro jadi kandidat juara, klub lebih sering beredar di luar zona Liga Champions pada klasemen Liga Inggris.
Kritik terhadap para pemain mahal yang tampil jeblok, dalam hal ini Timo Werner, Kai Havertz, atau Kepa Arrizabalaga, lebih sering menerpa.
Saat didepak, Lampard meninggalkan The Blues pada peringkat ke-9 di klasemen EPL.
Namun, tetap ada sisi positif karena Lampard membawa klub lolos ke tahap gugur Liga Champions.
Nasib Si London Biru berubah drastis setelah kedatangan penggantinya, Thomas Tuchel, pada 26 Januari.
Bersama pelatih pecatan PSG tersebut, Chelsea mengalami peningkatan drastis di semua front.
The Blues sempat mencatat rekor nirkalah 10 partai beruntun di liga dan menembus 4 besar, yang tadinya nyaris dirasa mustahil oleh berbagai pihak.
Di Liga Champions, Chelsea lebih menggila. Banyak yang menganggap mereka tim underdog mengejutkan ketika sampai di babak-babak akhir.
Baca Juga: Lihat Koleksi Gelar N'Golo Kante 5 Tahun Terakhir, Ronaldo dan Messi pun Harus Sungkem
Ujungnya, Tuchel mampu menjungkirbalikkan prediksi dengan membawa Reece James dkk juara setelah menumbangkan Man City, yang lebih diunggulkan.
"Daya magis Tuchel bekerja. Tuchel harus diberikan kredit atas transformasi Chelsea, dari tim yang dianggap tak akan berprestasi menjadi finalis Liga Champions dalam tiga bulan saja," tulis Deutsche Welle, seperti dikutip BolaSport.com.
Salah satu keajaiban Tuchel ialah membangun tim juara tanpa kehadiran bomber subur dalam skuadnya.
Chelsea tak punya sosok predator penuai puluhan gol sekelas Harry Kane, Mohamed Salah, apalagi Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Lihat top scorer mereka musim ini. Tammy Abraham dan si bomber mahal tapi kerap dianggap tak becus nembak, Timo Werner, cuma bikin 12 gol. Semua ajang.
Spesifik Werner, jumlah itu dia raih dalam 52 penampilan.
Rataan 0,2 gol per laga atau 1 gol setiap 4-5 partai untuk pemain berharga hampir 1 triliun rupiah? Cukup bikin elus dada.
Baca Juga: Dijauhi Dewi Fortuna, Timo Werner Akui Tak Masalah karena Masih Muda
Di Premier League lebih mengenaskan karena pemain tersubur mereka adalah gelandang Jorginho dengan 7 gol. Semuanya dari penalti!
Koleksi gabungan tiga striker Chelsea - Abraham (6), Werner (6), Olivier Giroud (4) - masih kalah dari seorang pemuda dari Leeds, Patrick Bamford (juga eks pemain The Blues), yang nyetak 17 gol sendirian.
Kok bisa tim seperti itu juara Liga Champions?
Kuncinya kedisiplinan super dalam taktik. Mereka sangat kompak sebagai satu unit perang.
Tuchel mengubah gaya bermain Chelsea menjadi lebih rapat di belakang, lebih efektif dalam menguasai bola, dan lebih tajam ketika menggeber serangan balik.
"Saat kami kehilangan bola, itu membuat tim bisa melakukan counter-pressing secara efektif," ujar eks pelatih Borussia Dortmund yang mengamalkan taktik andalannya saat membesut tim Jerman tersebut.
"Kalau tak perlu-perlu banget memberikan umpan sulit, ya jangan lakukan itu," imbuh bek Andreas Christensen menggambarkan cara kerja simpel tapi efektif ala Tuchel.
Pola di papan strategi Tuchel ialah memainkan 5 pemain bertahan; 3 bek sentral dan 2 orang full-back sebagai engsel yang naik-turun menyisir sayap.
Di tengah ada dua jangkar dengan peran spesifik yang berbeda. Satu sebagai perusak ritme serangan lawan, petarung, dan penjelajah level tinggi.
Satu lagi menjadi distributor bola antarlini, kreator, sekaligus pendikte permainan musuh.
Baca Juga: Tak Puas dengan Performa Striker Chelsea, Tuchel Incar Lukaku dan Haaland
Dua aktor utama di lini tengah itu N'Golo Kante dan Jorginho.
Urusan ofensif, Tuchel kerap memasang dua gelandang serang yang multifungsi sebagai winger dan satu penyerang tengah.
Dalam konteks di final Liga Champions, dua attacking midfielder itu ialah Kai Havertz dan Mason Mount, sedangkan peran target man dilakoni Timo Werner.
Dari skema awal 3-4-2-1, armada Tuchel secara cepat bisa mengubah pola di lapangan jadi 5-4-1 saat bertahan, plus satu jangkar di belakang, dan 3-4-3 atau bahkan 3-2-5 ketika menyerbu frontal.
Dalam praktiknya, Werner pun tidak melulu ngendon di dalam kotak penalti.
Tugas penting lainnya ialah memancing penjagaan bek-bek lawan sehingga membuka ruang buat pemain seperti Havertz, Mount, atau Hakim Ziyech dan Christian Pulisic untuk menusuk dan mengeksekusi peluang.
Lihat gol penentu Havertz ke gawang City. Secara kilat, Mount mengirim bola kepada Havertz, yang tiba-tiba menusuk ke pertahanan lawan.
Sementara Werner, yang mandul karena melewatkan 3 peluang bagus di laga itu, melakukan gerakan dummy ke sisi kiri.
Pergerakan melebar Werner sukses memancing Ruben Dias untuk mengikutinya. Cara itu berhasil membuka celah di pertahanan City.
Mount membidik ruang terbuka akibat ditinggalkan Dias, disambut sprint kilat Havertz yang tak terkejar lagi oleh Oleksandr Zinchenko.
Kita sudah tahu akhir skenario tersebut.
I can't stop watching this goal
— ????????????????????????⭐⭐ (@DoctourBrown) May 30, 2021
What a pass from Mason Mount
Who saw what Timo Werner did there? pic.twitter.com/9NWxuynb91
Aksi Werner yang ini layak disebut salah satu defining moment dalam kemenangan The Blues yang mungkin luput dari pengamatan.
Soal tugas tak melulu sebagai target man, bomber timnas Jerman yang diangkut ke Euro 2020 itu juga terbilang sukses menjalankannya.
"Kerelaan" dia memberi ruang untuk rekan setim adalah faktor pendukung dirinya menjadi raja assist klub musim ini.
Werner yang awalnya diperkirakan bakal jadi predator utama di skuad, malah menjadi pelayan terbaik bagi rekannya.
Pemain yang punya julukan Turbo Timo semasa di RB Leipzig itu memberikan 15 umpan berbuah gol.
Baca Juga: Pep Guardiola Si Tukang Bakar Duit, Habiskan 20 Triliun Masih Gagal Juara Liga Champions 10 Tahun
Sungguh catatan besar di balik derasnya kritikan perihal kemandulan Werner, yang melewatkan 18 peluang emas mencetak gol di EPL (tertinggi ke-3).
???? Combined goals and assists for Chelsea in all competitions this season:
Timo Werner: 2⃣7⃣
— SuperSport ???? (@SuperSportTV) May 31, 2021
Tammy Abraham: 1⃣8⃣
Mason Mount: 1⃣8⃣
Kai Havertz: 1⃣8⃣
Olivier Giroud: 1⃣1⃣
Hakim Ziyech: ????
Christian Pulisic: ????
Callum Hudson-Odoi: ???? pic.twitter.com/uKVASFxfdU
Mount dan Havertz yang banyak disebut sebagai pemain paling kreatif di skuad Chelsea saja cuma membikin 9 assist.
Toh, Werner sendiri tutup kuping. "Saya tak peduli, yang penting kami juara," katanya.
Jadi, kalau suatu saat Anda lihat Werner cuma lari-lari saja di lini belakang lawan dan seperti nembak asal-asalan lagi, positive thinking saja. Mungkin itu hanya dummy... hehehe.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | dw.com, Premierleague.com, Transfermarkt.com |
Komentar