BOLASPORT.COM - Sosok pelatih bulu tangkis Indonesia, Muamar Qadafi, mendadak jadi buah bibir seiring dengan keberhasilannya mengantar pemain tunggal putra Guatemala, Kevin Cordon, menjadi semifinalis Olimpiade Tokyo 2020.
Dari segi histori, Guatemala bukanlah negara yang familiar dengan olahraga bulu tangkis layaknya Indonesia.
Namun, Muamar Qadafi mampu mengukir sejarah tersendiri saat mendampingi Kevin Cordon pada Olimpiade Tokyo 2020.
Cordon kini tercatat sebagai pebulu tangkis pertama dari Benua Amerika yang mampu menembus ke babak empat besar Olimpiade.
Baca Juga: Dani Pedrosa Beri Hormat ke Valentino Rossi Usai MotoGP Styria 2021
Selaku pelatih, Qadafi tentu merasakan kebanggaan yang luar biasa terhadap pencapaian anak didiknya tersebut.
Apalagi, Cordon datang ke Tokyo dengan status non-unggulan.
Dikutip dari wawancara ekslusif Kompas.com, Qadafi mengaku hal tersebut tidak akan pernah terjadi andai dia tidak nekat meninggalkan zona nyaman sebagai pelatih di PB Djarum pada tahun 2005.
Baca Juga: Daftar Turnamen Bulu Tangkis 2021 Usai Olimpiade Tokyo 2020, Ada 3 Kompetisi Beruntun di Bali
"Sebenarnya perjalannya panjang bisa sampai berkelana ke Guatemala karena sudah 16 tahun, tetapi semua berawal dari tahun 2005 di Peru," tutur Muamar Qadafi.
Kala itu, dua teman Qadafi yang juga berasal dari PB Djarum, Roy Purnomo dan Agustino Sasono, mendapat tawaran menjadi sparring partner di tim nasional bulu tangkis Peru.
Secara kebetulan, pelatih Peru, Ge Cheng, berencana mundur dari jabatannya karena ingin mengikuti program dari BWF.
"Kemudian, Ge Cheng bercerita ke dua teman saya itu," ucap Qadafi.
"Lalu, teman saya menghubungi, meyakinkan saya soal kelangsungan (hidup) saya di sana."
"Awalnya, saya ragu karena di PB Djarum, dari segi fasilitas dan jaminan masa depan yang diberikan sudah sesuai standar," kata pelatih kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu.
Namun, zona nyaman yang sudah didapat ini dirasa Qadafi tak cukup.
Selaku pelatih yang memulai karier sejak tahun 2001, Qadafi mengaku memiliki impian menjadi bagian dari event-event besar dunia, termasuk Olimpiade.
Baca Juga: Sulit Buntuti Dani Pedrosa, Valentino Rossi Gagal Tembus 10 Besar pada MotoGP Styria 2021
"Satu hal yang membuat saya yakin untuk berangkat ke sana (Peru) adalah sistem di Indonesia saat itu, hanya pemain-pemain di timnas saja yang bisa berkompetisi di kancah internasional. Sementara itu, pemain-pemain klub belum bisa, hanya berkompetisi lokal saja," tutur dia.
"Kemudian, hal itu berhubungan dengan impian saya. Mimpi saya sebagai seorang pelatih bisa menjadi bagian di event-event besar seperti Sudirman Cup, Thomas Cup, World Champion, sampai Olimpiade ini ya (Tokyo 2020)."
"Namun, kalau saya di sini (Indonesia), nanti kiprahnya hanya lokal. Jadi, saya harus keluar."
"Meski ke depan bukan event besar, tetapi paling tidak international series. Hal itu akan menambah pengalaman dan wawasan saya (sebagai pelatih)," kata Qadafi.
Baca Juga: Beruntung Tinggal di Singapura, Eko Roni Saputra Perlu Maksimalkan Kesempatan di ONE Championship
Berbekal mimpi menjadi pelatih di ajang Olimpiade itulah, Qadafi akhirnya meninggalkan zona nyamannya di PB Djarum dan berangkat ke Peru pada kuartal pertama tahun 2005.
"Kalau nggak salah, Maret atau April 2005," ucap dia.
Hanya, jauh sebelum mengantar Kevin Cordon menjadi semifinalis Olimpiade Tokyo 2020, Muammar Qadafi merasakan banyak lika-liku selama berkarier sebagai pelatih di Peru.
Mulai dari perbedaan kultur, sistem, sampai fasilitas dalam olahraga bulu tangkis.
Baca Juga: Selaku Sesama Muslim, Khamzat Chimaev Bantah Benci Khabib Nurmagomedov
"Paling terasa itu shuttlecock. Setiap main (bertanding) atau latihan, pemain harus bawa shuttlecock sendiri," ujar Qadafi menjelaskan.
"Sebelum latihan, mereka harus undian. Yang kalah harus keluarin shuttlecock duluan," kata pria berusia 39 tahun itu.
Lebih lanjut, Qadafi menceritakan perihal pemain yang datang berlatih tetapi tidak bawa kok.
Jika hal ini terjadi, peman yang bersangkutan harus pinjam terlebih dulu sebelum bisa memulai latihan.
Proses membeli shuttlecock juga tidak mudah di Peru.
Baca Juga: Menpora RI: Bonus Atlet Olimpiade Tokyo 2020 Akan Diumumkan Presiden
Pembelian shuttlecock harus melalui online atau menitip ke teman yang berpergian.
"Saya berbicara ke federasi soal shuttlecock, tetapi mereka bilang kondisinya memang seperti itu. Akhirnya, saya jalani dulu saja," kata Qadafi, mengenang.
"Terlebih, bulu tangkis ini bukan olahraga populer, hanya sekadar hobi."
"Pemain juga merangkap ke berbagai sektor. Jadi, bermain untuk tunggal, ganda, mixed (ganda campuran). Saya ngga pernah mengalami itu, di Indonesia sudah spesialis," ucap dia lagi.
Baca Juga: Dianggap Panutan, Peraih Emas Olimpiade Tokyo 2020 Ingin Jadi Seperti Ahsan/Hendra
Editor | : | Diya Farida Purnawangsuni |
Sumber | : | Kompas.com |
Komentar