BOLASPORT.COM - Para pendukung Liverpool buka suara terkait kericuhan di stadion pada final Liga Champions 2021-2022.
Final Liga Champions 2021-2022 yang mempertemukan Liverpool dan Real Madrid pada 28 Mei 2022 lalu masih meninggalkan perkara.
Laga pamungkas yang dimainkan di Stade de France, Prancis, tersebut sempat diwarnai kekacauan.
Penyebabnya adalah tak bisa masuknya sebagian besar para pendukung dari Liverpool maupun Real Madrid ke dalam stadion jelang kick-off.
Hal ini dipicu oleh desakan dari para fan yang tak memiliki tiket memaksa menerobos masuk ke dalam stadion.
Sementara para penonton yang memiliki tiket resmi justru harus tertahan di luar stadion oleh petugas kepolisian setempat.
Kondisi chaos ini membuat kick-off pertandingan ditunda hingga 36 menit.
Baca Juga: Transfer Bernardo Silva ke Barcelona Tergantung Frenkie de Jong dan Man United
Pertemuan telah dilangsungkan di pengadilan Prancis dan beberapa perwakilan dari suporter Liverpool pada Selasa (21/6/2022) waktu setempat.
Ted Morris. ketua dari Liverpool Disabled Supporters Association atau Asosiasi Suporter Difabel Liverpool, memberikan gambaran mengenai keadaan yang dialaminya.
Bagi pendukung pengguna kursi roda, mereka mendapatkan perlakuan buruk ketika laga final dan menyebut diperlakukan layaknya binatang oleh petugas.
"Dia diangkat oleh fans Liverpool melewati gerbang karena pramugara menolak membukakan pintu untuknya," kata Morris, dikutip BolaSport.com dari Independent.
"Begitu di luar, dia disemprot dengan gas air mata dalam perjalanan ke stasiun.”
"Bencana besar telah dihindari. Tidak ada kekuatan yang bisa datang untuk membantu para pendukung penyandang cacat."
"Penggemar yang cacat diperlakukan seperti binatang. Saya dan istri saya tidak peduli lagi dengan permainan pada tahap ini."
Baca Juga: Sadio Mane Ungkap Alasan Pilih Gabung dengan Bayern Muenchen
???? “It was crazy.”
Liverpool Disabled Supporters Association Chief Ted Morris will give his account of the chaos at the 2022 Champions League final in Paris today. pic.twitter.com/7O5rZZSjpN
— Football Daily (@footballdaily) June 21, 2022
“Kami pergi pada menit ke-86 dan pramugara memberi tahu kami bahwa kami tidak bisa keluar karena beberapa penduduk setempat masih berusaha masuk ke stadion."
"Di jalan bawah tanah – di pintu keluar stadion di bawah pengawasan polisi, beberapa menit kemudian – penduduk setempat menyerang kami dan itu menakutkan, terutama bagi para pendukung penyandang cacat."
"Saat kami berjalan menuju stasiun, kami berharap polisi akan turun tangan. Ini pengalaman sepakbola terburuk.”
Perlakuan yang berbeda ini membuat Morris teringat akan Tragedi Hillsborough tahun 1989.
Tragedi Hillsborough terjadi saat laga semifinal Piala FA yang mempertemukan Nottingham Forest dan Liverpool.
Akibat kejadian ini, sebanyak 97 pendukung (sebelumnya berjumlah 96) dinyatakan meninggal akibat berdesakan masuk ke dalam Stadion Hillsborough.
It is 32 years since 96 men, women and children were unlawfully killed at Hillsborough. Thoughts are with families and survivors and others whose lives were forever affected. They refused to be silenced and led a formidable battle for truth, justice and accountability. #96 pic.twitter.com/cx4Eu3GCBA
— Deborah Coles (@DebatINQUEST) April 15, 2021
Baca Juga: Sebut Fabio Vieira Pemain Spesial, Mikel Arteta Tak Sabar Ingin Segera Bekerja Sama
Para Liverpudlian (pendukung asli kota Liverpool) disudutkan oleh media The Sun selepas tragedi tersebut dengan menyalahkan ulah dari para fan yang memaksa masuk.
Kejadian ini berbuntut panjang terkait keadilan hingga memunculkan gerakan Truth and Justice yang mengatasnamakan para korban kepada pengadilan Inggris.
Penuntutan ini berhasil dimenangkan pada April 2021 lalu setelah melalui 32 tahun dituduh tanpa kesalahan oleh otoritas Inggris.
Morris juga menuntut permintaan maaf dari otoritas Prancis yang menyalahkan para suporter Liverpool.
Andrew Stanley Devine, the 97th victim of the Hillsborough disaster, has now been added to the Hillsborough memorial at Anfield.
— Liverpool FC (@LFC) January 28, 2022
Secara khusus, Morris menunjuk Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, yang untuk bertanggung jawab atas tuduhan yang diberikan.
Sebelumnya, Menteri Olahraga Prancis, Amelia Oudea-Castera, memberikan pernyataan bahwa kerusuhan yang terjadi di final Liga Champions terjadi akibat ulah sebagian fan Liverpool tanpa tiket yang menerobos masuk.
Dilansir BolaSport.com dari Sportbible, Menteri Olahraga Prancis telah mengeklaim bahwa tiket yang dijual sebagian besar adalah palsu.
Baca Juga: Gambaran Carlo Ancelotti soal Liverpool Bisa Ubah Strategi Juergen Klopp
Setidaknya ada hingga 70 persen tiket yang dijual adalah palsu, dan antara 30.000 hingga 40.000 pendukung Inggris membawa pemalsuan tersebut.
Federasi Prancis mengklaim bahwa mereka telah mengerahkan 1.650 staf keamanan dan tiket untuk mengantisipasi kemungkinan kehadiran orang-orang tanpa tiket atau memiliki tiket palsu.
Jumlah staf juga dikatakan 25 persen lebih tinggi daripada pertandingan kandang Prancis yang terjual habis.
Kendati demikian, masalah keamanan meluas yang dihadapi oleh para pendukung dan tak berpihak kepada mereka.
"Ada pendukung di kursi roda yang dipaksa menunggu dalam antrian berbahaya selama satu jam." kata Morris, dikutip BolaSport.com dari Sportbible.
"Satu diizinkan melewati pintu putar tetapi temannya tidak. Itu adalah situasi yang sangat kacau."
"Gérald Darmanin telah mempermalukan Prancis dan pemerintah Prancis. Kebohongannya membuat segalanya jauh lebih buruk."
Baca Juga: Arsenal Tak Punya Daya Tarik, Gabriel Jesus bakal Gabung ke Tottenham Hotspur
Joe Blott (@spiritofshankly): "Why was the good behaviour record of Liverpool fans ignored? The police were stuck in the 1980s and believed lies about the Hillsborough disaster."
— Daniel Austin (@_Dan_Austin) June 21, 2022
"Dia harus meminta maaf atau mengundurkan diri. Kebohongannya mengingatkan kita pada orang-orang setelah Hillsborough. Dia seharusnya malu," ujar Morris mengakhiri.
Sementara perwakilan suporter lain dari Spirit of Shankly, Joe Blott, mengatakan bahwa suporter Inggris mendapakan perlakuan berbeda sejak tahun 1980-an.
Blott menilai penggunaan gas air mata tak seharusnya diberikan kepada suporter karena justru membahayakan.
Hal ini seakan menjadi peringatan kepada para penonton yang akan bepergian ke Paris, Prancis dalam acara olahraga terbesar, yakni Olimpiade Paris 2024, terkait keamanan penyelenggaraan.
"Mendengar pihak berwenang Prancis menggunakan kebohongan serupa dengan yang digunakan oleh Inggris bertahun-tahun yang lalu sekali lagi pada tahun 2022, tentang penggemar yang datang terlambat, atau dengan tiket palsu, atau mabuk, telah menyebabkan keterkejutan, kemarahan, dan rasa sakit yang luar biasa," kata Blott, dikutip BolaSport.com dari Sportbible.
"Suporter Liverpool dan Real Madrid tidak membuat masalah. Pada final 2018 di Kyiv tidak ada kekerasan. Bedanya kali ini adalah kehadiran geng lokal (Prancis)."
Bott juga menuntut permintaan maaf dari otoritas Prancis dan memperingatkan para penonton yang ingin menghadiri gelaran Olimpiade 2024 di Paris.
"Kami menuntut permintaan maaf dan pencabutan kebohongan yang diberitahukan dan untuk para pendukung yang akan bepergian ke Piala Dunia Rugby dan Olimpiade, penyelidikan yang adil," kata Blott, dikutip BolaSport.com dari Independent.
Editor | : | Bonifasius Anggit Putra Pratama |
Sumber | : | independent.co.uk, Sportbible.com |
Komentar