BOLASPORT.COM - Raihan medali perunggu dari Olimpiade Paris 2024 makin menambah manis kisah kebangkitan tunggal putri Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung.
Gregoria Mariska Tunjung menyelamatkan wajah bulu tangkis Indonesia dengan menyumbangkan medali satu-satunya dari Olimpiade Paris 2024.
Tampil sendirian sejak babak 16 besar di nomornya, Gregoria terus melangkah maju sampai bisa naik ke podium dan di panggung olahraga paling bergengsi.
Kebanggaan yang dialami Gregoria berbanding 180 derajat dengan kesulitan besar yang dahulu pernah dialaminya.
Semangat Jorji dengan bulu tangkis sempat mati suri setelah rententan hasil kurang memuaskan. Kritik yang tidak manusiawi sampai ditelannya dengan pasrah karena saking putus asanya.
"Untuk sekarang, aku ingin menemukan kebahagiaan di badminton dalam diri aku," tulis Jorji dalam keluh kesah yang dibagikan lewat media sosial pada 2022.
Saat itu, Gregoria seperti dijauhkan dari kemenangan.
Dua tahun dia selalu gagal mencapai perempat final di turnamen individu BWF. Di SEA Games, dia pun buntu dengan tersingkir di perempat final pada 2019 dan 'cuma' perunggu di 2022.
Padahal, publik sempat berharap banyak kepadanya karena dapat menghadirkan harapan di tengah kemarau panjang yang terjadi di sektornya.
Legenda tunggal putri, Susy Susanti, menjadi salah satu yang menaruh harapan kepada Jorji.
Kebetulan, pemenang medali emas Olimpiade yang pertama bagi Indonesia itu sedang menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI saat calon penerusnya itu mulai bersinar.
"Waktu dia juara dunia junior 2017, sebetulnya saya berharap," ucap Susy dalam interviu dengan Kompas.com pada 2021 silam.
"Lalu, pada 2018, performa Jorji sedang tinggi-tingginya. Dia bisa mengalahkan dan menyulitkan beberapa pemain elite dunia. Dia juga sempat juara (di Finnish Open 2018)."
"Namun, belakangan saya melihat dia seperti stuck. Setelah tahun 2019, dia agak kurang. Bukan menurun, melainkan seperti itu saja performanya. Dia nyaris menang, tetapi tidak berhasil."
Susy, saat wawancara sudah berada di luar PBSI, melihat perlunya penangangan khusus. Selain itu harus ada tekad dalam diri Gregoria sendiri untuk bangkit selain bantuan dari tim pelatih.
Gregoria memulai dari dirinya sendiri. Melansir Kompas.id, Gregoria mulai menjalani konseling dengan psikolog. Dari sana, Gregoria belajar teknik visualisasi.
Sebelum bertanding Jorji menciptakan gambaran visual untuk mengurangi kecemasan. Di Paris kemarin, dia mengambil waktu untuk menatap lapangan kosong dari tribune.
Selain itu pemain jebolan PB Mutiara Cardinal Bandung itu juga berusaha berdamai dengan kesulitan yang dialaminya.
"Aku lebih menerima bahwa dalam fase hidup manusia ada satu titik nyebelin yang harus dilewati. Dengan itu aku lebih ringan membawa beban itu," tuturnya.
Olah diri itu sangat membantu Gregoria.
Berbagai prestasi baru dicapainya seperti debut di BWF World Tour Finals, mencapai rank 10 besar dunia, hingga trofi pertama dari ajang setaraf dengan Super Series.
Semua pencapaian dari Gregoria tersebut mengakhiri penantian panjang tunggal putri Indonesia selama lebih dari satu dekade.
Dalam perjalanannya, masih ada ketidaksempurnaan memang. Tak cuma sekali Gregoria kembali menghadapi momen-momen di mana dirinya nyaris menang.
Di Olimpiade Paris 2024 pun demikian.
Babak final sudah terlihat ketika dia dapat mendominasi ratu bulu tangkis, An Se-young (Korea Selatan), pada gim pertama dari pertandingan babak semifinal.
Sayangnya, begitu An memaksakan permainan defensifnya, Gregoria terlambat untuk memberi respons yang tepat.
Akan tetapi, Jorji menunjukkan bahwa dirinya tidak lagi mudah putus asa.
Di tengah kondisi mustahil karena tertinggal 3-11 di interval gim ketiga, dia malah menunjukkan salah satu permainan terbaiknya hingga sudah dekat dengan skor sama kuat di 13-16.
Kendati pada akhirnya kalah, Gregoria setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya dia bisa.
Semesta pun tampaknya terkesan dengan kerja keras Gregoria hingga takdir memberinya medali perunggu secara cuma-cuma.
Gregoria secara otomatis mendapatkan medali karena calon lawannya, Carolina Marin (Spanyol), mengalami cedera serius di semifinal.
Jiwa besar dan sportivitas tetap ditunjukkan Gregoria dengan tidak merayakannya melalui gestur ataupun pernyataan secara berlebihan.
Gregoria sudah paham betul dengan pahitnya kegagalan.
Dia sebenarnya tidak puas dengan raihan medali perunggunya. Untungnya, dia tidak sendirian lagi. Kehadiran support system sungguh disyukurinya.
"Bersyukur ada yang mendukung, keluargaku, keluarga Mikha (Angelo, kekasih). Teman-teman dekat," kata Gregoria setelah raihan medalinya.
"Bersyukur punya lingkungan suportif yang bukan kayak ada maunya. Bersyukur sekali berada dalam lingkungan tersebut."
Editor | : | Ardhianto Wahyu |
Sumber | : | Kompas.com, kompas.id |
Komentar