"Alasan kegagalan pemasaran di Asia Tenggara adalah karena keterampilan sebagian besar pemain berada di bawah standar," tulis Nate.
"Karena skill mereka yang kurang bagus untuk bermain dalam permainan."
"Tidak ada pengaruh pemasaran yang signifikan kecuali peningkatan jumlah pengikut di media sosial klub saat pertama kali bergabung dengan tim," lanjutnya.
Salah satu petinggi klub di Korea Selatan juga mengeluhkan gaji para pemain Asia Tenggara.
Menurutnya, rata-rata gaji para pemain Asia Tenggara ada di kisaran 200 juta won atau 2 miliar rupiah.
Angka ini juga dinilai sangat mahal. Hal tersebut membuat tim-tim Korea Selatan memilih merekrut para pemain dari Amerika Latin atau Eropa Timur.
Selain itu, penambahan follower di sosial media juga tidak membuat jersi mereka diminati publik Asia Tenggara. Harga yang terlalu tinggi jadi penyebab utama.
“Pemasaran di Asia Tenggara tidak hemat biaya. Gaji tahunan pemain kompetitif Asia Tenggara setidaknya 200 juta won, jadi lebih baik mencari pemain dari Amerika Selatan atau Eropa Timur untuk mendapatkan uang tersebut," ujar salah satu pengurus klub Korea Selatan yang tidak mau disebut namanya ke Nate.
"Di J-League (Jepang), pemasaran Asia Tenggara sukses berkat pemain seperti Chanathip Songkrasin dan Thirathorn Boonmatan (keduanya dari Thailand) yang memainkan lebih dari 20 pertandingan di liga. Tidak ada pemain Asia Tenggara sekaliber itu di K-League, dan sulit untuk mendatangkan mereka."
"Saat kami melakukan pemasaran di Asia Tenggara, tidak banyak penggemar Asia Tenggara yang tinggal di Korea. Harga seragam pemain dan barang-barang juga memberatkan fans di Asia Tenggara, jadi sebenarnya pendapatan klub juga kecil."
"Jumlah pengikut sosial media yang meningkat pesat dalam jangka pendek juga tidak berarti banyak," lanjutnya.
Editor | : | Bagas Reza |
Sumber | : | nate |
Komentar