Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Prestasi top ini dipersembahkan Djamiat sekaligus kado ulang tahun ke-44 PSSI.
Sebelumnya, ia menjadi kolumnis di sebuah surat kabar nasional bertajuk “Brainplayer Indonesia Nomer I” sejak tahun 1953.
8. Aang Witarsa (1974-1975)
Semasa menjadi pemain, Aang dikenal memiliki kualitas apik. Dia merupakan salah satu anggota skuat Indonesia pada Olimpiade 1956.
Sebelum meracik timnas, ia lebih dulu menangani Persib Bandung. Tak ada hasil signifikan di timnas sebab ia hanya melatih satu tahun. Meski demikian, Aang menyerap ilmu kepelatihan dari Leipzig, Jerman Timur.
9. Wiel Coerver (Belanda/1975-1976 & 1979)
Arsitek asal Belanda Wiel Coerver dan asistennya Wim Hendriks didaratkan PSSI demi target lolos Kualifikasi Olimpiade 1976. Coerver punya catatan manis, yakni gelar Piala UEFA bersama Feyenoord Rotterdam.
Ia lalu menggagas terbentuknya turnamen segitiga antara Indonesia, Ajax Amsterdam, dan Manchester United. Selanjutnya giliran klub asal Austria, Voest Linz, dan Grasshopper.
Ia menggembleng 40 pemain di Diklat Salatiga. Pada 12 Januari 1976, Indonesia menahan imbang Grasshopper 3-3. Ketika melawan Voest Linz pada 14 Desember 1975, 25.000 penonton Indonesia harus kecewa. Kondisi nonteknis tim juga panas berkaitan dengan bongkar-pasang kepengurusan PSSI.
Campur tangan terhadap kekuasaan Coerver di lapangan juga kerap terjadi. Intervensi Maladi–saat itu sebagai Dewan Penasihat PSSI–ketika melawan Voest Linz semakin menambah panas hubungan antara Coerver dan federasi.
Konflik itu mengerucut dan membuat pelatih yang terkenal dengan metode piramidanya itu tak betah. Alhasil, target lolos ke Olimpiade 1976 itu pun gagal tercapai.
Indonesia kalah adu penalti dari Korea Utara. Kontrak Coerver berakhir pada Mei 1976. Namun, ia kembali dipanggil PSSI untuk menjadi penasihat timnas SEA Games 1979. Garuda meraih perak.
Ajang Internasional
10. Marek Janota (Polandia/1979)
Marek melatih Persija pada 1977. Ia bergelar Master of Physical Education dari Wychowenie Fizycnego, Akademi Pendidikan Jasmani di Warsawa.
Ia juga mengantongi sertifikat dari “Chairman Committee of Physical Culture and Touring” Polandia yang menobatkannya sebagai Pelatih Kelas Satu pada 1971.
Janota tercatat pernah menangani tim nasional remaja dan junior. Sayang, Marek tidak memiliki kesempatan untuk berjuang di SEA Games 1979.
Ia memilih mundur karena merasa diintervensi PSSI.
Indonesia juga menuai hasil buruk pada Piala Kirin 1979 di Jepang. Rudy Keltjes dkk. dibantai Tottenham Hotspurs 6-0, Fiorentina 4-0 dan Jepang 4-0.
Ajang Internasional
11. Frans van Balkom (Belanda/1980-1981)
Frans van Balkom menjadi pelatih Belanda ketiga yang menukangi Indonesia. Indonesia membidik juara SEA Games 1981, Kualifikasi Olimpiade 1980, dan Kualifikasi Piala Dunia 1982.
Cuma satu tugas Balkom yang berhasil dikerjakan, yaitu Kualifikasi Olimpiade 1980. Namun, ia gagal membawa Indonesia lolos. Catatan itu membuat PSSI tak memperpanjang kontraknya.
Ajang Internasional
12. Harry Tjong (1981 dan 1985)
Pelatih kelahiran Makassar ini tak lama menahkodai Indonesia. Ia diganti Endang Witarsa setelah timnas dikalahkan Australia, Selandia Baru, dan ditahan Fiji di Kualifikasi Piala Dunia 1982. Tjong dipercaya lagi pada SEA Games 1985. Timnas ke semifinal, tapi kalah 0-7 dari tuan rumah Thailand.
Ajang Internasional
13. Bernd Fischer (Jerman/1981-1983)
Bernd Fischer dikontrak dengan bayaran Rp5 juta per bulan. Ia diberi tugas meraih emas SEA Games 1981. Namun, ia cuma berhasil mendapat perunggu. Kontraknya berakhir pada 1983.
Ajang Internasional
14. Muhammad Basri (1983)
Setelah membawa Niac Mitra juara Galatama, M Basri mengantar tim asuhannya itu memenangi seleksi timnas untuk Kualifikasi Olimpiade 1984. Sukses menahan imbang Arab Saudi 1-1 di Jakarta pada partai pertama fase grup, Indonesia akhirnya menjadi juru kunci setelah gagal mengatasi Malaysia, Singapura, dan India.
Ajang Internasional
15. Iswadi Idris (1983)