Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
"Its construction is a feat unequelled in the annuals of sports history in Asia and perhaps in the world."
"Konstruksinya merupakan suatu prestasi yang tak tertandingi dalam sejarah olahraga di Asia dan barangkali di seluruh dunia."
Begitulah seuntai pernyataan positif dari majalah The Asia Magazine terbitan Hongkong yang memuji rancangan bentuk bangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Stadion Utama Gelora Bung Karno (selanjutnya disingkat dengan nama populernya, Stadion GBK) mempunyai sejarah panjang yang turut senantiasa menemani timnas Indonesia bertanding.
Meski timnas Indonesia miskin prestasi di olahraga sepak bola, setidaknya keberadaan Stadion GBK yang sering dipakai timnas berlaga mempunyai kebanggaan karena berpredikat salah satu stadion terbesar di dunia.
Berdiri gagah sejak pemerintahan Orde Lama, pembangunanan Stadion GBK dipicu dari ambisi Presiden Sukarno (Bung Karno) yang menggalakkan Politik Mercusuar.
(Baca Juga: Sejarah Hari Ini, Gol Terbaik Piala Asia Lahir dari Sepakan Salto Widodo C Putro)
Kebijakan politik tersebut bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi New Emerging Forces (kekuatan baru yang sedang tumbuh dari negara-negara berkembang) untuk menyaingi blok barat (Amerika Serikat) dan timur (Uni Soviet).
Proyek-proyek raksasa nasional dengan dana megah pun dirancang dan digelar di Jakarta agar mendapat perhatian internasional.
Mulai jalan-jalan baru dan segala bentuk arsitektur dibangun di periode 1960-1965, dan tentu Stadion GBK dan kompleks olahraga di kawasan Senayan menjadi salah satunya.
Awalnya Bung Karno, yang berbekal lulusan teknik sipil, mengusulkan lokasi Dukuh Atas dijadikan area pembangunan stadion beserta kompleks olahraga.
Namun, Friedrich Silaban, salah satu arsitek menonjol pada saat itu, mempunyai perspektif lain yang lebih visioner.
Friedrich Silaban tak setuju kawasan Dukuh Atas menjadi tempat yang cocok karena bisa menimbulkan kemacetan dan berpotensi terkena serangan banjir.
Menemani Bung Karno melihat daerah sekitar menggunakan helikopter, arsitek yang juga merancang Masjid Istiqlal itu meminta pesawat diterbangkan di atas kampung Senayan.
"Beliau (Bung Karno) bisa membayangkan keberadaan sebuah hamparan lahan datar yang jauh lebih luas, berada tepat di arah bawah helikopter."
"Secara samar-samar dalam pemikirannya mulai terwujud sebuah gambaran, stadion raksasa, lengkap dengan aneka macam pusat kegiatan beragam cabang olahraga serta fasilitas pendukung lainnya."
"Sebuah kompleks pusat olahraga yang nantinya akan bisa disatukan dengan sebuah jalan besar lurus, yang akan menghubungkannnya dengan kawasan Monumen Nasional serta pusat pemerintahan."
"Seketika itu juga lahir ide brilian pada diri Bung Karno."
"Kawasan sekitar Senayan yang waktu itu secara relatif cukup jauh letaknya dari pusat kota Jakarta, justru lebih cocok sebagai lokasi pusat kegiatan olahraga," jelas buku Julius Pour yang berjudul Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno.
Menyongsong Asian Games 1962, Bung Karno pun membentuk badan-badan Organisasi Penyelenggara Asian Games IV di Jakarta dengan nama Dewan Asian Games Indonesia (DAGI).
Dalam kaitannya mengosongkan lahan Senayan, pada pertengahan tahun 1959 petugas lapangan DAGI yang dibentuk Bung Karno diturunkan untuk membebaskan tanah, melakukan pembongkaran, pemindahan, dan juga penampungan penduduk.
Usai diberikan pengertian dan ganti rugi, warga kampung Senayan yang sebagian besar korban penggusuran proyek kota satelit Kebayoran Baru dipindahkan ke perumahan baru di Tebet, Slipi, dan Ciledug.
Konstruksi pun dimulai pada 8 Februari 1960 dengan Presiden Sukarno yang meletakkan tiang pancang pertama proyek pembangunan stadion itu.
Sementara itu pemancangan tiang keseratus secara simbolis dilakukan Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev.
Peran Uni Soviet jelas sangat besar dalam pembangunan Stadion GBK mengingat mereka memberi bantuan kredit lunak sebesar 12,5 juta dolar AS.
Dalam merancang stadion tersebut, Presiden Soekarno bersikeras meminta arsitek Uni Soviet untuk membuat atap temu gelang (joined ring).
Ide itu terinspirasi dari kunjungannya ke Mexico City saat melihat air mancur di halaman Museo Antropologia de Mexico.
(Baca Juga: Sejarah Hari Ini, Debut Manis Cristian Gonzales di Timnas Indonesia)
"Saya memerintahkan kepada arsitek-arsitek Uni Soviet, bikinkan atap temu gelang daripada main stadium yang tidak ada di lain tempat di seluruh dunia," ucap Presiden Soekarno kepada para olahragawan di pemusatan latihan Asian Games keempat, 22 Agustus 1962.
Atap temu gelang yang sanggup membuat penonton terlindung dari panas matahari dan basah karena hujan memang masih terbilang langka dipergunakan pada masa itu.
"Tidak biasa, tidak lazim, tidak galib, kok ada stadion atapnya temu gelang, dimana-mana atapnya ya hanya sebagian saja. Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kita harus temu gelang," tegas Soekarno.
Tentu dalam proses pembangunan Stadion GBK membutuhkan bahan baku material yang banyak dengan belasan ribu tenaga manusia.
"Sekian banyak kantong semen, andaikan dijajarkan satu per satu akan bisa mencapai panjang sekitar 640 kilometer, atau mencapai jarak Jakarta-Semarang," tulis Julius Pour masih dari buku yang sama.
Di tengah pengerjaan Stadion GBK tak selamanya mulus, karena sempat ada insiden terjadi.
Sekitar pukul 18.45 WIB pada 23 Oktober 1961, kebakaran sempat terjadi di bangunan stadion yang setengah jadi.
Beruntung kobaran api hanya menjilat kayu penyangga kerangka besi.
Ditaksir kerugian akibat kebakaran hanyalah tiga persen dari biaya yang dikeluarkan, sementara imbasnya dalam proyek pembangunan tidak lebih dari satu persen.
Membutuhkan dua tahun pengerjaan, kompleks olahraga beserta stadionnya resmi dibuka oleh Soekarno pada 21 Juli 1962 dan mulai dipergunakan tanggal Agustus 1962 pada Asian Games IV.
Demi menghormati Soekarno, nama kompleks olahraga dan stadion itu dinamai dengan nama Gelora (Gelanggang Olahraga) Bung Karno.
Namun saat Soekarno lengser dan berganti ke penguasa orde baru, nama stadion tersebut diganti menjadi Stadion Utama Senayan.
Nama stadion kembali menjadi GBK pada tahun 2001 atas andil presiden Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid, melalui Surat Keputusan Presiden No 7/2001.
Sepanjang sejarahnya, Stadion GBK menjadi saksi pertandingan-pertandingan penting, baik skala nasional maupun internasional.
Tim sekelas Eropa seperti Liverpool dan Bayern Muenchen bahkan pernah menjajal bermain di stadion yang awalnya memiliki kapasitas 120 ribu orang itu.
(Baca Juga: Sejarah Hari Ini, Lahirnya Bomber Abadi Timnas Indonesia dari Tanah Papua)
Dalam rangka melangsungkan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang, Indonesia pun membenahi Stadion GBK yang dikerjakan pada 2016 hingga 2017.
Rampung pada tahun 2018, Stadion GBK yang awalnya memiliki jumlah bangku 100.000 lebih kini dikurangi menjadi 76.127.
Meski jumlah bangku dikurangi, Stadion GBK kini memiliki banyak kelebihan.
Kelebihan utamanya terdapat pada penerangan dengan daya lampu sebesar 3.500 lux, sehingga menjadi salah satu stadion paling terang di dunia.
8. Nah sobat tahu stadion mana lagi yang menggunakan rumput yang sama dengan Stadion Gelora Bung Karno?#FOPSUGBK #rumputSUGBK #GeloraBungKarno #SUGBK#EngineeredbyADHI #ADHIKarya #EdisiProyekGBK #ASIANGames#ASIANGames2018 #ZoysiaMatrella pic.twitter.com/Yf7ISYIvEb
— ADHI (@adhikaryaID) 11 Januari 2018
Stadion GBK sendiri akan kembali dibuka pada Minggu (14/1/2018) pukul 18.30 WIB.
Pada hari itu Timnas Indonesia akan menjamu negara peserta Piala Dunia 2018 Islandia dalam laga persahabatan.
Mampukah Timnas Indonesia memberi kesan manis menggapai kemenangan di stadion lama dengan nuansa yang baru?
Sangat patut ditunggu.