Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Status Quo dan Kerugian Penerapan Aturan Financial Fair Play bagi Klub-klub Eropa

By Thoriq Az Zuhri Yunus - Sabtu, 2 September 2017 | 19:19 WIB
Neymar diperkenalkan sebagai pemain baru Paris Saint-Germain (PSG), Jumat (4/8/2017). (LIONEL BONAVENTURE/AFP)

Pada awal kemunculan FFP, UEFA hanya berencana akan menerapkan aturan ini untuk klub dengan penghasilan 50 juta euro ke atas.

Namun kemudian hal ini berhasil digagalkan oleh Asosiasi Klub Eropa (ECA) yang kemudian membuat semua klub, entah berapapun penghasilan mereka, wajib mematuhi FFP.

Alasannya sederhana dan masuk di akal, semua klub harusnya diperlakukan sama tak terkecuali.

ECA adalah satu-satunya badan asosiasi klub-klub Eropa yang diakui UEFA.

Pada awalnya mereka bernama G-14, sebuah kumpulan 14 klub besar di Eropa macam Bayern Muenchen, Real Madrid, Barcelona, Manchester United, dan Juventus.

Tengok saja barisan direksi ECA saat ini yang didominasi dari klub-klub besar mulai dari Karl-Heinz Rummenigge (Chairman; Bayern Munich), Umberto Gandini (first Vice-Chairman; AC Milan), Pedro López Jiménez (second Vice-ChairmanReal Madrid), Josep Maria Bartomeu (Barcelona), Andrea Agnelli (Juventus), Ed Woodward (Manchester United), hingga Ivan Gazidis (Arsenal).

Tak perlu jadi seorang jenius untuk mengerti bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh ECA ini memang condong untuk kepentingan klub-klub tersebut, karena para petinggi tim besar mempunyai kekuatan disana.

Tak adanya diskriminasi dalam penerapan aturan FFP membuat klub-klub besar bisa bernapas lega.

Status mereka sebagai klub besar Eropa menjadi tak tergoyahkan, status quo aman.

Kok bisa?