Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Asosiasi Pesepak Bola: Memecah Kesadaran Palsu dan Mengeraskan Suara

By Senin, 7 Mei 2018 | 20:43 WIB
Ponaryo Astaman (ketiga dari kanan) bersama pengurus Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) ketika berkunjung ke kantor BolaSport.com pada Kamis (22/3/2018). (FERRYL DENNYS/BOLASPORT.COM)

main, ia memperjuangkan haknya sebagai pemain.

Bepe menjadi ikon (termasuk daftar agung Top 10 Asian Player of 2012 ESPNFC) bukan saja karena prestasinya di atas rumput, melainkan keberaniannya menerjang arus, atau seperti digambarkan John Duerden, “penyambung lidah keresahan pesepakbola di negara sepak bola penuh masalah bernama Indonesia”.

Ia menjadi penggerak utama, sungguhpun bisa disebut penggerak satu-satunya, di antara beribu-ribu pesepakbola (prasejahtera) yang kebanyakan memilih tak bersuara.

Sebagai contoh, seperti dilansir BolaSport.com dari Bolalob, para pemain Arema FC disinyalir bungkam kepada media karena “takut untuk bicara” perihal keterlambatan gaji pada pertengahan musim lalu.

Laporan FIFPRO tentang ketenagakerjaan pesepakbola Indonesia pada 2016 setidaknya menunjukkan bahwa pesepakbola bukanlah profesi yang amat menjanjikan.

Tercatat 23% pemain tidak mendapat salinan kontrak kerja, 82% tidak memperoleh gaji sesuai jadwal, 18% pemain menghadapi resiko kesehatan, 42% pemain tidak didukung layanan medis memadai.

Selain itu, delapan persen pemain menjadi korban kekerasan, 27% pemain menerima perundungan dari manajemen (klub), 13% pemain dipaksa berlatih terpisah dari tim, dan 9% dilarang bermain karena ricuh transfer.

Ada banyak hipotesis yang bisa diajukan untuk memberi eksplanasi, termasuk asumsi berani yang mengatakan pemain menerima intimidasi dari manajemen, atau dalam bahasa lain, tersandera hukum besi bapak-anak.

***

Bagaimanapun, nyatanya banyak pesepakbola elite yang identik dengan potret mewah dan glamor.

Sangat mungkin potret tersebut menciptakan angan-angan semu di benak pesepakbola Indonesia lainnya.