Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Bulu Tangkis Indonesia - Harmoni di Istora, Ironi di Dunia Maya

By Aditya Fahmi Nurwahid - Minggu, 2 September 2018 | 18:06 WIB
Marcus Fernaldi Gideon (kiri) dan Kevin Sanjaya Sukamuljo (kanan) saat melakoni partai final bulu tangkis nomor ganda putra Asian Games 2018, Selasa (28/8/2018). (FERNANDO RANDY/TABLOID BOLA)

(Baca Juga: Timnas Indonesia Dominan Serangan Sayap, Adakah Senjata Simpanan Luis Milla?)

Mantan Redaktur Olahraga Harian Kompas, Jimmy S Harianto, menuliskan bahwa kondisi angker di Istora tercipta lewat atmosfernya.

"Orang boleh juara All England di Wembley Arena, London. Atau Japan Open di Yoyogi Stadium, Tokyo. Tetapi kalau belum pernah juara di Istora Senayan, ia belum dipandang publik bulu tangkis sebagai juara sejati," tulisnya dalam kolom yang diterbitkan pada 2017.

Tumbangnya juara dunia tunggal putra 2018, Kento Momota, dan juara dunia ganda putra 2018, Li Junhui/Liu Yuchen, di Asian Games 2018 oleh wakil Indonesia jelas menjadi bukti tersendiri soal angkernya Istora.

Saya yang waktu itu duduk di kursi Kategori A langsung terpana dengan suasana Istora dan para pencinta bulu tangkis Indonesia.


Pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie, berpose dengan medali emas kategori perorangan Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018). ( FERNANDO RANDY/TABLOID BOLA )

Megahnya stadion berkapasitas tujuh ribu kursi ini berkombinasi dengan meledak-ledaknya semangat para suporter di tribune, terlebih jika wakil Indonesia bermain.

Saat match pertama babak semifinal tunggal putra antara Jonatan Christie melawan Kenta Nishimoto, saya duduk empat baris di atas pendukung Pusarla Venkata Sindhu, yang juga bertanding melawan Akane Yamaguchi di court berbeda.

Saya melihat bahwa beberapa kali kelompok suporter berisi lima orang ini agak sungkan untuk berteriak memberikan semangat bagi Sindhu.

Padahal, persiapan mereka sudah cukup lengkap. Bendera India dan clapping balloon pun sudah berada di tangan.