Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Bulu Tangkis Indonesia - Harmoni di Istora, Ironi di Dunia Maya

By Aditya Fahmi Nurwahid - Minggu, 2 September 2018 | 18:06 WIB
Marcus Fernaldi Gideon (kiri) dan Kevin Sanjaya Sukamuljo (kanan) saat melakoni partai final bulu tangkis nomor ganda putra Asian Games 2018, Selasa (28/8/2018). (FERNANDO RANDY/TABLOID BOLA)

Bagi saya, momen "menguatkan hubungan kultural, identitas, dan komunitas" di dalam Istora sungguh nyata.

Ribuan suporter rela antre dalam hitungan puluhan menit hingga jam demi bisa masuk, lalu tak tanya siapa di sebelahnya, mereka sama-sama satu rasa dan menyanyikan chant seirama.

Keluar dari Istora, hal berbeda justru saya ketahui dan rasakan, terlebih dengan aktivitas saya di media sosial.

Bahasan-bahasan "cari perhatian" pun muncul dan "mendapat perhatiannya" di media sosial.

Beberapa sensasi untuk merundung atlet menjadi viral, tak sedikit para netizen yang turut menghardik pelaku, seakan memberi panggung untuk "gimmick" tersebut dikenal. Atau malah berniat agar dicap heroik, kita tak tahu.

Begitupun dengan perdebatan di luar konteks keolahragaan, soal celetukan "rahim anget" yang membuat masyarakat seolah terpecah antara kubu guyonan dan kubu pelecehan.

Fenomena ini juga membuat saya belajar, bahwa apa yang dikatakan Richard Gullianotti bahwa globalisasi, juga internet-isasi, merupakan antitesis dari olahraga itu sendiri.

(Baca Juga: Membaca Mulut Indra Sjafri, Timnas U-19 Indonesia Dibentuk Tak Sekadar untuk Gelar Juara)

Bahasan-bahasan "subjektif" tersebut bahkan sempat menutupi pencapaian kolektif, saking viralnya dan banyak dibahas dengan cukup lama.

Ini yang dapat juara Indonesia lho, kok malah bahas yang lain....