Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Menunggu Bantuan Pemerintah untuk Basmi Kekerasan Suporter di Indonesia

By Firzie A. Idris - Minggu, 14 Oktober 2018 | 21:46 WIB
Seorang suporter nyaris baku-pukul dengan pemain cadangan Persebaya Surabaya yang sedang berlatih di lapangan Stadion Kanjuruhan, Kepanjeng, Kabupaten Malang, Sabtu (6/10/2018) sore WIB. (NDARU WIJAYANTO/TRIBUNJATIM.COM)

 Namun, larangan dan hukuman tanpa penonton saja bakal mubazir apabila tidak ada solusi berkelanjutan untuk membuat kondisi lebih baik ke masa depannya.

Insiden-insiden seperti ini tak bisa berlanjut jika kita ingin keluar dari siklus kekerasan di sepak bola.

Menurut saya, PSSI dan LIB, selaku penyelenggara kompetisi, hanya bisa bekerja efektif apabila dibantu pemerintah.

Berkaca dari Inggris dan problema hooliganisme, federasi, klub, dan pemerintah harus bersinergi untuk menghadapi kekerasan suporter.

“Kerusuhan suporter mengancam masa depan sepak bola dan mereka menodai nama baik negeri ini di mancanegara,” tutur Leon Brittan, Sekretaris Dalam Negeri Inggris di era pemerintahan Margaret Thatcher pada 1980-an.

Ia mengidentifikasi bahwa kekerasan di sepak bola bisa berimbas kepada kapabilitas soft power Inggris dalam percaturan politik Eropa dan dunia.

(Baca Juga: Tak Cuma Yuli Sumpil, Fan di Eropa Juga Pernah Mendapat Hukuman Seumur Hidup)

Salah satu pendekatan utama pemerintah Inggris dalam memerangi kekerasan adalah mengidentifikasi oknum-oknum pelaku kekerasan, bukan melakukan generalisasi terhadap suporter.

Key trouble makers harus bisa dipisahkan dari mereka yang murni ingin menonton sepak bola.

Siloam Tumangkeng, ayah Haringga, sempat disinggung soal ini ketika ia ditanya mengenai larangan menonton bola seumur hidup bagi para tersangka yang membunuh anaknya.