Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Persib Bandung tengah menjadi musafir. Menjalani hukuman dari PSSI, Maung Bandung harus berkelana untuk memainkan laga kandang usiran. Namun, langkah lebih konkret harus ditunjukkan semua pihak agar hukuman ini punya makna untuk menghentikan siklus kekerasan suporter.
Persib Bandung menjalani sanksi sebagai lanjutan dari hukuman bertubi PSSI imbas kasus meninggalnya suporter Persija, Haringga Sirla, pada akhir bulan lalu.
Selasa (9/10/2018), tampil di Stadion Batakan, Balikpapan, tanpa dukungan suporter dan minus pemain-pemain kunci yang skorsing, Pangeran Biru tumbang 1-2 kontra Madura United.
Persib dan para bobotoh (sejatinya) menjalani sanksi agar mereka lebih baik lagi ke depannya.
Namun, laga derbi Jawa Timur antara Arema dan Persebaya pada Sabtu (6/10) ternoda juga oleh insiden tak mengenakkan.
Oknum suporter masuk ke lapangan dan memprovokasi pemain lawan. Di tribune, nyanyi-nyanyian rasis dan spanduk provokatif terpajang.
Himbauan dan panggilan berdamai dari semua stakeholder sepak bola usai tragedi Haringga seperti hanya angin berlalu.
Imbasnya, Komite Disiplin PSSI juga menghukum Arema tampil tanpa penonton pada laga home dan suporter mereka dilarang memberikan dukungan pada laga away sampai akhir musim 2018.
Dua suporter Arema, Yuli Sumpil dan Fandy, yang turun ke lapangan dihukum tidak boleh masuk stadion di wilayah Republik Indonesia seumur hidup.
(Baca Juga: Yuli Sumpil Tak Ajukan Banding Soal Hukuman Larangan Masuk Stadion Seumur Hidup)
Namun, larangan dan hukuman tanpa penonton saja bakal mubazir apabila tidak ada solusi berkelanjutan untuk membuat kondisi lebih baik ke masa depannya.
Insiden-insiden seperti ini tak bisa berlanjut jika kita ingin keluar dari siklus kekerasan di sepak bola.
Menurut saya, PSSI dan LIB, selaku penyelenggara kompetisi, hanya bisa bekerja efektif apabila dibantu pemerintah.
Berkaca dari Inggris dan problema hooliganisme, federasi, klub, dan pemerintah harus bersinergi untuk menghadapi kekerasan suporter.
“Kerusuhan suporter mengancam masa depan sepak bola dan mereka menodai nama baik negeri ini di mancanegara,” tutur Leon Brittan, Sekretaris Dalam Negeri Inggris di era pemerintahan Margaret Thatcher pada 1980-an.
Ia mengidentifikasi bahwa kekerasan di sepak bola bisa berimbas kepada kapabilitas soft power Inggris dalam percaturan politik Eropa dan dunia.
(Baca Juga: Tak Cuma Yuli Sumpil, Fan di Eropa Juga Pernah Mendapat Hukuman Seumur Hidup)
Salah satu pendekatan utama pemerintah Inggris dalam memerangi kekerasan adalah mengidentifikasi oknum-oknum pelaku kekerasan, bukan melakukan generalisasi terhadap suporter.
Key trouble makers harus bisa dipisahkan dari mereka yang murni ingin menonton sepak bola.
Siloam Tumangkeng, ayah Haringga, sempat disinggung soal ini ketika ia ditanya mengenai larangan menonton bola seumur hidup bagi para tersangka yang membunuh anaknya.
“Kalau pelakunya sudah keluar dari penjara kan tidak bisa dibedakan dari penonton lain. Apakah ketahuan jika mereka nonton lagi di stadion?” tutur Siloam.
***
Pemerintah Inggris mendirikan Football Banning Orders (FBO) Authority pada 1989. Badan ini melakukan registrasi terhadap individu yang dilarang menghadiri laga sepak bola di dalam dan luar negeri.
Kegagalan untuk mematuhi larangan tersebut merupakan tindak pidana.
FBO merupakan bagian dari Football Spectators Act, suatu legislasi mengikat yang dikeluarkan Parlemen Inggris.
Menurut Football Association (PSSI-nya Inggris), legislasi ini menjadi senjata terkuat dalam memberangus kekerasan di sepak bola.
Tentu, FBO atau peraturan setara dengannya hanya bisa berlaku di Indonesia apabila aparat dapat mengidentifikasi dan mengisolir oknum-oknum di kalangan suporter.
Pemerintah Inggris juga membentuk UK Football Policing Unit yang bertujuan untuk menghimpun intelijen dan menemukan pembuat onar, pemimpin gerombolan, atau mereka yang terkena larangan ke stadion.
Selain kursi bernomor, stadion harus dilengkapi CCTV dan turnstile berkamera yang terintegrasi dengan monitor keamanan.
Dua hal tersebut teramat vital untuk mengidentifikasi oknum-oknum di antara puluhan ribu suporter yang datang ke stadion.
***
Pemerintah Inggris mengeluarkan Government’s Guide to Safety at Sports Ground (Green Guide), sebuah kitab yang menetapkan segala aspek tentang keamanan stadion sepak bola.
Kitab itu menjadi panduan bagi semua klub profesional di Inggris dan berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi agar klub mendapat sertifikat keamanan.
Pemerintah lokal mengeluarkan dan memonitor sertifikat tersebut.
Green Guide versi pertama terbit pada 1973 menyusul Tragedi Ibrox di mana 66 suporter Rangers meninggal dunia karena terhimpit di tangga keluar stadion.
Namun, beberapa insiden berdarah di Inggris tetap terjadi. Sebut saja Tragedi Bradford (56 meninggal) dan Tragedi Heysel (39 meninggal) pada 1985 disusul oleh Tragedi Hillsborough pada 1989 (96 meninggal).
Perubahan paling ketara baru dirasakan setelah Tragedi Hillsborough.
Dalam dua dekade sejak edisi ketiga Green Guide dikeluarkan menyusul meninggalnya 96 suporter Liverpool tersebut, 30 stadion baru dibangun di Inggris.
Sebagian klub menjual stadion lama, biasanya ke developer rumah hunian, dan membangun stadion baru yang memenuhi standar keamanan Green Guide. Sisanya meruntuhkan tribune berdiri menjadi stand duduk.
Tentu, masih ada beberapa hal lain yang membantu Inggris memenangi kekerasan suporter. Hal itu datang dari para pendukung sendiri dan juga dari momen di lapangan.
(Baca Juga: 5 Langkah Liga Inggris untuk Perangi Kekerasan Suporter)
Henry Winter, kolumnis ternama Inggris pernah menulis di Telegraph bahwa pengawasan mandiri oleh fans, terbitnya majalah suporter, berdirinya asosiasi suporter, bergulirnya Premier League, dan tangisan Paul Gascoigne di semifinal Piala Dunia 1990 semua bersatu padu menggerakkan suporter Inggris ke arah lebih baik.
Berat memang langkah kita untuk mengikuti langkah-langkah tersebut, terutama bagi klub-klub untuk menemukan dana demi merenovasi total stadion mereka.
Saya yakin, PSSI dan klub-klub saja tak akan bisa memecah siklus ini.
Sudah saatnya semua pihak bergerak memecah siklus kekerasan di sepak bola Indonesia demi menjadikan masa depan lebih baik bagi anak-anak kita.