Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Saya tetiba teringat salah satu buku Euny Hong yang menceritakan perjuangan Korea Selatan membangun gelombang budaya bernama Korean Wave atau Hallyu.
Semua bermula saat krisis ekonomi 1997 yang mana pemerintah Korea Selatan harus berutang 57 miliar dollar AS (sekitar Rp 833 triliun) dari IMF yang kemudian dicatat sebagai Hari Memalukan Nasional.
Peristiwa tersebut membangkitkan semangat ‘han’. Ini semacam utang dendam yang telah mendarah daging pada warga Korea. Selama ribuan tahun mereka dijajah, tanpa pernah menjajah sekali pun. Terakhir dijajah Jepang dengan brutal.
Timbullah han kolektif, termasuk dalam budaya pop. Bangkitlah gelombang besar Hallyu. Korea membangun infrastruktur budaya pop yang tangguh dan sistematis.
Korea menjadi pengekspor industri populer secara global paling kreatif dan ambisius, mengalahkan Jepang dan Hollywood, Amerika Serikat. Korea berhasrat memastikan abad ke-21 menjadi Abad Korea.
Lantas apa hubungannya dengan bulu tangkis Indonesia?
Andai PBSI bisa meniru semangat han yang menjadi cikal bakal Hallyu mungkin bulu tangkis Indonesia bisa segera bangun dari tidur panjang.
Dalam catatan sejarah, bulu tangkis Indonesia setidaknya berjaya dalam dua periode yaitu tahun 60-an hingga 70-an dan 80-an hingga awal 2000-an.
Pada gelombang pertama, bulu tangkis Indonesia berjaya di sektor individu misalnya dengan Rudy Hartono yang mengunci 8 gelar All England Open, turnamen bulu tangkis tertua di dunia, pada era 1968-1974 dan 1976.