Hal yang saya pelajari dari ketika belajar di Inggris beberapa tahun lalu adalah, bagi warga negeri Ratu Elizabeth II, tumbang setelah melakukan perlawanan heroik jauh lebih bisa diterima ketimbang menyerah tanpa perjuangan.
Ingat, Inggris adalah bangsa petarung dan penguasa. Pada era kejayaan mereka, 1/4 populasi dunia berada di bawah kibaran Union Jack.
Inggris adalah negara yang secara teguh melawan serangan Jerman di Perang Dunia II pada masa di mana seluruh Eropa Barat tunduk kepada Adolf Hitler dan Partai Nazi-nya.
Kebanggaan mereka terletak dari bagaimana suatu tim berjuang untuk memperoleh hasil dan bukan dari output semata.
Bagi mereka, proses terkadang lebih penting ketimbang hasil.
(Baca Juga: Pilar Asing Persib Bandung Ini Dibuatkan Patung di Ghana, Cek Penampakannya!)
Di sinilah satu lagi aspek kekurangan Mourinho. Tak banyak yang berubah dari proses berpikir sang pelatih sejak ia pertama mendarat di Inggris.
Ia tak mengubah terlalu banyak tactical thinking-nya walau sepak bola terus berevolusi.
Template parkir bus dan pemilihan pemain Mourinho hampir tak berevolusi banyak.
Bermain dengan striker tinggi besar, Romelu Lukaku, dengan diapit Anthony Martial dan Marcus Rashford, mirip seperti melihat Didier Drogba beroperasi dengan Arjen Robben dan Damien Duff di Chelsea dari 14 tahun silam.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar