Sambil lahap mengunyah kroket campur sambal kacang, dia mengatakan bahwa sepak bola masa kini sudah jauh berubah. Segalanya tentang uang.
"Sulit mengukur kadar kesetiaan pesepak bola zaman sekarang. Seharusnya, seorang pemain tak boleh lebih besar dari klub," kata John Barnes, legenda Liverpool FC.
Gelandang serang top The Reds pada 1987-1997 itu lantas mencoba tahu isi taoge (gehu).
Ia mencelupkannya lagi dengan kuah kacang, kemudian bilang, "Fan juga tak boleh terlampau mencintai seorang pemain. Jangan terlalu memuja mereka melebihi cinta kepada klub".
Komentar tersebut merupakan isi pembicaraan Barnes dengan saya dalam sebuah wawancara eksklusif hampir tiga tahun silam.
Ketika itu kami membicarakan perihal masa depan Raheem Sterling. Sang objek diskusi sedang diberondong rumor transfer dari Liverpool ke Manchester City.
Masih 20 tahun Sterling saat itu.
"Liverpool tempat terbaik bagi pemain seperti Raheem. Dia bisa saja pindah ke Man City, tapi mungkin tak akan punya tempat berkembang seluas di Liverpool," kata pria gempal yang kini menjadi pandit tersebut, sambil berkeringat kepedasan.
(Baca Juga: Daftar Korban Favorit Ronaldinho, Real Madrid Nomor 3)
Eh, tak berapa lama seusai pertemuan saya dengan Barnes, Sterling malah resmi dibajak Man City pada bursa transfer musim panas 2015.
Status transfernya juga keren: pemain termahal Inggris.
Dia ditebus senilai 44 juta pounds. Rekor itu baru terpecahkan kemudian oleh dua rekannya di timnas Inggris dan Man City sekarang, John Stones (47,5 juta pounds) serta Kyle Walker (50).
Barnes barangkali cemas terhadap karier Sterling yang bisa jeblok apabila pindah ke klub kosmopolitan dengan persaingan ketat seperti Man City.
"Dulu saya pernah didekati Real Madrid dan Barcelona. Tapi, saya tetap pilih Liverpool karena di sanalah lingkungan paling tepat bagi saya," kata Barnes mengenang loyalitas untuk The Reds pada masa kejayaannya.
Melayang ke masa sekarang, kecemasan Barnes akan Sterling kelihatannya harus sirna. Sterling di bawah polesan Pep Guardiola justru kian berkembang.
Sejak bubuh kontrak buat The Citizens pada 2015, Sterling sudah bikin 27 gol dalam 85 partai Liga Inggris hingga pekan ke-24 musim ini.
Bandingkan dengan koleksi hanya 18 gol dari 95 laga di Liverpool selama empat musim sebelumnya.
Apa pun, kepindahan Sterling menjadi bukti transfer ke klub rival bisa juga berfaedah meningkatkan kualitas, tak sebatas penggembungan isi kantong.
Karena itu, gatal rasanya mengaitkan garis nasib Sterling dengan combo transaksi top bursa transfer musim dingin ini, Alexis Sanchez dan Philippe Coutinho.
Bedanya, pelepasan Coutinho ke Barcelona lebih banyak diiringi doa dan harapan, walau juga penyesalan bagi Liverpudlian.
Sementara Alexis dan Sterling banyak disertai cap ular atau pengkhianat. Kenapa begitu?
Musababnya tentu berkorelasi dengan keputusan memilih hengkang ke klub rival langsung di kancah domestik.
Coba kalau Coutinho pindah ke Manchester United. Apa dijamin reaksi Liverpudlian adem ayem pula?
Perihal khianat-mengkhianati memang sudah jadi bagian rumah tangga sepak bola sejak zaman baheula. Contohnya sangat bertumpuk. Ambillah beberapa saja.
Kasus hengkangnya Roberto Baggio dari Fiorentina ke Juventus pada 1990 tetap dikenang sebagai salah satu transfer paling kontroversial.
Kasus ini selalu mengemuka sebagai salah satu pemicu rivalitas pahit kedua tim saban kali bertanding.
Setelah lima tahun di Fiorentina, Baggio pindah dengan status pemain termahal dunia zaman itu.
Toh, Baggio tak bisa berbuat banyak dan mesti rela menerima cap pembelot.
Presiden Fiorentina kala itu, Flavio Pontello, harus menjual pemain bintang demi menyelamatkan kondisi keuangan klub yang berdarah-darah.
Karena alasan ini, sebelum Baggio, La Viola terpaksa melego jagoannya secara bertahap, yaitu Daniel Passarella (ke Inter Milan), serta Giovanni Galli dan Daniele Massaro (AC Milan).
Jadilah Baggio sumber pemasukan paling realistis agar klub bisa membangun ulang skuat dari uang hasil penjualannya.
Terlepas dari dampak kerusuhan dan letupan emosi membabi-buta pendukung La Viola terhadap situasi itu, Baggio berhasil meningkatkan level setelah pindah ke Juve.
Dia mencapai prestasi secara profesional dengan raihan gelar Piala UEFA, Liga Italia, dan Piala Italia. Sesuatu yang tidak ia raih di Fiorentina.
Kasus lain yang menonjol jelas kepindahan Luis Figo dari Barcelona ke Real Madrid (2000).
Terlepas dari megakontrak yang diajukan Madrid buat mengikatnya, Figo juga mampu meraih puncak kejayaan dalam karier.
Ia merealisasikan mimpi juara Liga Champions dan jadi Pemain Terbaik Dunia sebagai pemain Real Madrid - setelah pindah dari Barca.
Peningkatan prestasi serupa dialami pemain lain yang dicap pengkhianat, misalnya Sol Campbell (Tottenham ke Arsenal, 2001) atau Robin van Persie (Arsenal ke Man United, 2012).
Saya tak bilang kalau semua "pembelot" itu bakal selalu sukses setelah pindah ke klub rival. Ada spesimen lawas yang mencontohkan transfer ke klub pesaing tak selamanya berarti upgrade karier.
Andai kisah hidup legenda Giuseppe Meazza terjadi zaman sekarang, gaungnya bakal amat dahsyat.
Apalagi, rantai transfer itu mencakup tiga klub terbesar secara beruntun, Inter Milan ke AC Milan, AC Milan ke Juventus, lalu akhirnya ke Inter lagi.
Setelah 13 tahun menjadi idola publik Inter dan mencetak ratusan gol, Meazza memutuskan hijrah ke AC Milan pada 1940.
Sebagai superstar di Italia kala itu, Meazza banyak dicap pengkhianat pula. Tapi, ia tak punya jalan lain buat meninggalkan Inter ke rival sekotanya.
Dikenal sebagai pemain serang terkomplet di eranya, Meazza mengalami penurunan performa pada 1938-1939.
Ia diserang cedera aneh yang menyebabkan kaki kirinya beku karena aliran darah tersumbat. Dia pun absen lebih dari setahun.
Manajemen Inter pun tak mau ambil risiko dengan menurunkan sang bintang. Tapi, dasar diberkahi darah sepak bola membuncah, Meazza tak tahan diam.
Dia gatal ingin bermain lagi dalam kondisi Inter masih ragu-ragu. Jadilah dia pindah ke Milan.
Bergabung di sana dua musim tanpa prestasi besar (1940-1942), lalu Meazza ke Juve sebentar saja (1942-1943), Varese, Atalanta, hingga mengakhiri karier lagi di Inter.
Meazza tak menganggap kepindahan ke Milan sebagai pengkhianatan.
Yang dia lakukan ketika itu murni sikap profesional sebagai pesepak bola untuk tetap berusaha mencari nafkah dari pekerjaan yang dia cintai.
"Dalam masa-masa yang sangat sulit ketika itu (cedera), saya baru menikah dan ide untuk bergabung ke Milan sepertinya cocok," kata Meazza, yang meninggal pada 1979, mengenang kejadian tersebut di La Repubblica, yang dikutip BolaSport.com.
Publik Inter Milan sepertinya mafhum dengan kondisi Meazza, apalagi dirinya lantas memperbaiki relasi karena mengakhiri karier di sana, bahkan sempat pula menjadi pelatih.
Intinya, para pemain yang dicap pengkhianat tadi sebenarnya punya berbagai alasan kenapa mereka menempuh jalan pisah.
Kalau digali satu per satu, mereka juga individu yang ingin dimengerti atas dasar profesionalisme.
"Pemain mungkin akan dicap berkhianat, tetapi mereka harus mengambil keputusan sendiri," kata John Barnes lagi.
Jangan terlalu posesif itu penting. Kata Barnes, memuja berlebihan seorang pemain tidak dianjurkan karena mereka selalu berpeluang ganti klub.
(Baca Juga: El Pipita dan Syair Pengkhianatan Cinta)
Ibarat sebuah hubungan, akibatnya, sekalinya mereka pisah, kecewanya bakal luar biasa.
Arsene Wenger sendiri ogah mengecap Alexis pembunuh bayaran karena menghargai keputusannya pindah klub demi tantangan profesional personal - di luar kenaikan gaji tentunya.
Seperti ujar Barnes, terpenting adalah bagaimana klub dan fan merespons situasi setelah ditinggalkan si pemain yang pergi.
Anggap saja cobaan: melepas untuk mendapatkan yang lebih besar.
Siapa sangka Fiorentina mendapatkan pengganti Baggio dalam sosok yang melegenda di klub sekelas Gabriel Batistuta?
Beberapa tahun setelah kepergian Figo, Barcelona pun diberkahi kemunculan Lionel Messi, yang membawa klub ke level keemasan.
Bagaimana dengan Liverpool selepas Coutinho atau Arsenal pascaera Alexis Sanchez kelak?
Bisakah mereka dapat pengganti yang lebih moncer?
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar