Spieltag, yang dalam bahasa Indonesia bermakna hari pertandingan, bagi penduduk Kota Muenchen adalah hari di mana pusat keramaian akan bernuansa merah kala FC Bayern menjamu lawan di Stadion Allianz Arena.
Bagi mereka yang tidak mengikuti sepak bola sekalipun akan sangat mudah mengindikasi hari pertandingan lewat keriuhan yang sedikit bertambah di beberapa jalur kereta sejak siang hari.
Tata kota dengan penduduk terbanyak ketiga se-Jerman ini memang sudah dirancang sedemikian rupa untuk memberi ruang gerak bagi para fans sepak bola di hari pertandingan.
Letak Allianz Arena yang sedikit menjauh dari pusat kota hanya memiliki satu jalur akses transportasi umum.
Halte akhir menuju stadion berjarak 11 perhentian dengan pusat kota dan dapat ditempuh memakai kereta kurang dari 20 menit.
Sehingga, biasanya pada siang hari hingga beberapa jam sebelum pertandingan akan banyak suporter sepak bola berlalu-lalang di sekitaran Marienplatz, yang sudah menjadi sentral kota sejak ratusan tahun silam.
Bukan hanya fans tuan rumah, pendukung tim tamu pun akan mudah ditemukan membaur dengan masyarakat.
Pada hari pertandingan akan terdapat ucapan selamat datang bagi pendukung tim tamu di salah satu sudut di Marienplatz dengan jersey kedua tim terpajang bersandingan.
(Baca Juga: Bayern Muenchen Salah Membiarkan Toni Kroos Pergi)
Sepanjang jalan yang memiliki perpaduan bangunan modern dan medieval itu dapat ditemukan outlet perbelanjaan dan beragam resto yang menjadi daya tarik tersendiri bagi suporter pelancong.
Sudah 20 tahun klub dari Bavaria ini tidak pernah didatangi klub Turki di kompetisi Eropa.
Secara kebetulan, sang penantang kali ini adalah klub yang sama dengan dua dekade silam, Besiktas.
Perbedaannya hanya pada fase yang dilakoni. Pada musim 1997-1998 laga terjadi di babak grup dan sekarang di 16 besar.
Namun, ada yang hal unik di spieltag kali ini.
Siang hari menjelang laga, di salah satu ujung jalan yang terhubung dengan pusat kota, sekumpulan fans yang dapat diidentifikasi sebagai pendatang Turki menarik perhatian.
Alih-alih menggunakan atribut putih bergaris hitam milik Besiktas, mereka mengenakan seragam klub berbeda dan membawa bendera berwarna biru-merah keunguan.
Di bawah rintikan butiran salju yang turun hari ini, mereka berdiri di depan banyak spanduk bertulisan dan bergambar.
(Baca Juga: Legenda Timnas Jerman Kritik Sistem Pembinaan Pemain Muda di Liga Jerman)
Musik khas resto kebab pun dilantunkan lewat pengeras suara sebagai latar.
Awalnya, saya mengira mungkin hal itu adalah salah satu bentuk solidaritas dari para warga yang berasal dari Turki dalam mendukung Besiktas.
Penduduk yang berasal atau memiliki garis keturunan Turki memang tergolong banyak, 5 persen dari total populasi Jerman.
Karena itu, kedekatan psikologis dan kultur dapat dirasakan di beberapa kota termasuk di Muenchen.
Namun, setelah melihat dari dekat barulah kita akan tahu bahwa mereka sedang melakukan demonstrasi.
Lewat perbincangan singkat dengan mereka, saya tahu bahwa mereka bukan pendatang. Mereka tinggal di kota ini.
Mereka tidak khusus datang untuk menyaksikan Besiktas berlaga.
Mungkin mereka menganggap hari pertandingan kompetisi Eropa yang melibatkan klub Turki adalah momen yang tepat untuk berunjuk rasa.
Para lelaki paruh baya ini adalah pendukung klub Trabzonspor, salah satu klub non-Istanbul yang cukup disegani di Super Liga, kasta teratas liga sepak bola Turki.
(Baca Juga: Incaran Para Raksasa Liga Inggris Ini Sebut Bayer Leverkusen Sempurna)
Trabzonspor merupakan klub keempat dengan gelar terbanyak liga, di bawah tiga raksasa Istanbul: Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas.
Namun, mereka sudah lama berpuasa gelar sejak terakhir kali meraihnya pada tahun 1984.
Sejak itu, mereka hanya berhasil 5 kali menjadi runner-up.
Namun, yang paling menyakitkan adalah di kompetisi tahun 2010-2011 saat mereka meraih poin sama dengan Fenerbahce namun harus puas di posisi kedua karena kalah selisih gol.
Musim tersebut pulalah yang menjadi pemantik isu yang mereka angkat.
Fans Trabzonspor menuntut FIFA dan UEFA untuk turun tangan memberikan gelar liga 7 tahun lalu tersebut kepada mereka.
Pasalnya, Fenerbahce terlibat dalam skandal pengaturan pertandingan di musim itu.
Kasus tersebut cukup melibatkan banyak entitas, termasuk pula Besiktas yang dihukum UEFA tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi Eropa di musim 2013-2014.
Fenerbahce sendiri sudah mendapatkan ganjaran tidak diperbolehkan oleh UEFA berpartisipasi dalam kompetisi Eropa di kurun waktu dua tahun yaitu 2013-2014 dan 2014-2015.
Pada musim setelah terjadinya aib itu pun keikutsertaan klub Turki di UEFA Champions League dihibahkan kepada Trabzonspor sebagai peringkat kedua.
Hal itu terjadi setelah Federasi Sepak Bola Turki (TFF) mencabut keikutsertaan Fenerbahce di kompetisi Eropa.
Musim itu pun menjadi kompetisi Liga Champions perdana bagi klub dari Kota Trabzon.
Namun, mereka belum puas hanya dengan hadiah “kecil” tersebut.
Yang mereka inginkan adalah pelepas dahaga gelar, yaitu status juara liga di musim tersebut.
Sejak tahun 2014, pihak klub sudah mengajukan keberatan resmi kepada UEFA namun ditolak. Mereka berniat meneruskannya ke FIFA dan Badan Peradilan Olah Raga (CAS).
Beberapa poster bernada protes yang dibawa bertuliskan bahasa Jerman, Inggris, dan Turki.
Berikut isi beberapa poster tersebut: “FIFA dalam 5 tahun terakhir hanya menyaksikan saja.” Lalu ada “FIFA, lakukan keadilan. Berikan gelar kami,” serta “Kenapa mafia pengatur pertandingan tidak dihukum?” dan “#JUSTICEFORTRABZONSPOR #CHAMPIONS2011”.
Akan tetapi, Besiktas gagal menyuarakan protes dari rekan-rekan senegaranya dalam bentuk performa gemilang di lapangan melawan Bayern Muenchen.
Besiktas digulung tim tuan rumah lima gol tanpa balas.
Walau, belum tentu prestasi tim Turki akan membuat otoritas tertinggi sepak bola melirik dan turun tangan menangani tuntas kasus tersebut.
Terakhir kali klub dari negara Eurasia berprestasi di kancah Eropa pada tahun 2000 adalah saat Galatasaray menjuarai Piala UEFA, sebelum kompetisi tersebut berubah nama menjadi Europa League.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar