Tukang gocek. Jago Dribel. Sering dicap sebagai orang yang lebih mementingkan spirit individu. Tapi, sesungguhnya mereka inilah para penentu.
Sepak bola dibangun atas dasar kolektivitas.
Semua orang bakal sepakat bahwa hal itu telah menjadi pemahaman komunal.
Kerjasama tim yang terbangun rapi berujung kepada permainan seksi.
Lihat bagaimana Barcelona mendominasi Eropa dengan asas kolektivitas bernama tiki-taka.
Jose Mourinho Ancam Tinggalkan Man United Kalau Dua Pemain Ini Gagal Dibeli https://t.co/wjBMZBv0bz
— BolaSport.com (@BolaSportcom) March 15, 2018
Namun, sepak bola menjadi lebih indah karena kehadiran individu-individu brilian yang piawai melakukan gocekan.
Jadilah tontonan yang lebih mirip tarian, bukan pertunjukan membosankan.
Didier Deschamps, Matias Almeyda, sampai Toni Kroos adalah pemain hebat.
Mereka tipikal pemain tim yang mengusung napas utama sepak bola: kolektivitas.
Deschamps, Almeyda, atau Kroos menjanjikan aliran bola yang rapi.
Hanya, ketiganya tentu tak berada di level yang sama dengan Pele, Diego Maradona, Ronaldo Luis Nazario, Ronaldinho, Cristiano Ronaldo, atau Lionel Messi.
Penciptaan atraksi melalui liukan-liukan gemulai menjadikan pemain seperti Pele, Maradona, Ronaldinho, Messi, dan Ronaldo berada di langit tertinggi pentas sepak bola dunia.
Ronaldo? CR7 sekarang memang bermain seperti robot, mesin gol.
Namun, saat masih bermain di Sporting CP dan Manchester United, ia sangat suka pamer kemampuan menggiring bola.
Alami Periode Sulit, Bagaimana Pandangan Persipura Menuju Liga 1 2018? https://t.co/gdxxpYyYlX
— BolaSport.com (@BolaSportcom) March 15, 2018
Kuncinya simpel: Dribel! Pele barangkali tak akan pernah disemati julukan O Rei (Sang Raja) tanpa gol cantik ke gawang Swedia di final Piala Dunia 1958.
Ia memamerkan teknik dribel sombrero, yakni melewati dengan cara melambungkan bola ke atas kepala lawan sebelum dirinya menceploskan bola ke gawang.
Spesies terunggul dalam sepak bola identik dengan mereka yang jago gocek.
Bukan pemilik operan paling aduhai, bukan pula mereka yang mampu menembak dengan sangat keras.
Bayangkan jika Maradona memilih untuk menendang langsung dari tengah lapangan saat menerima operan Hector Enrique di perempat final Piala Dunia 1986.
Akan ada satu potongan sejarah penting yang hilang.
Tak akan ada kisah soal The Goal of The Century, yang terus abadi melintas generasi. Beruntung Maradona memilih untuk menggocek bola.
Ia satu per satu melewati Peter Beardsley, Peter Reid, Terry Butcher, Terry Fenwick, sekaligus kiper Inggris, Peter Shilton.
El Pibe de Oro sadar bahwa atribut terbaiknya bukan tendangan geledek.
Diego Maradona vs England in 1986: the good, the bad and the ugly https://t.co/WorCgDoYXr #TBT pic.twitter.com/MrmtRA5E8b
— i newspaper (@theipaper) June 22, 2017
Tembakan Maradona mungkin tak sedahsyat Gabriel Batistuta atau Paul Pogba. Tapi, soal kemampuan menggiring bola dan mengelabui lawan, ia rajanya.
Sepanjang Piala Dunia 1986 yang dijuarai Argentina, El Pibe de Oro tercatat 90 kali melakukan gocekan!
Para jago dribel seperti sudah digariskan untuk menguasai kerajaan sepak bola.
Mereka ditakdirkan untuk mengubah keadaan, menjadikan sepak bola menjadi sebuah hiburan.
Tanyakan saja kepada pendukung Real Madrid soal salah satu malam favorit mereka.
Melihat Madrid kalah barangkali tak akan semenyenangkan pada 19 November 2005.
Saat itu Los Blancos dibekap 0-3 oleh rival abadi mereka, Barcelona, di Santiago Bernabeu.
Puncaknya adalah penghormatan berdiri publik Santiago Bernabeu kepada andalan Barca, Ronaldinho, yang mengemas sepasang gol solo-run cantik.
"Sepak bola adalah tentang sukacita, soal dribel. Saya menyukai setiap gagasan yang menjadikan permainan lebih indah," kata Ronaldinho.
Siapa seniman olah bola terbaik versi saya? Saya akan menyebut Maradona, Manuel Rui Costa, Ronaldinho, dan Rudy Sulistya.
Asing dengan nama terakhir? Pasti. Ia bukanlah pesepak bola top.
Ia adalah pakde atau paman saya.
Tulisan ini khusus saya persembahkan untuknya, figur yang membuat saya bisa melihat sepak bola dengan kacamata berbeda, sudut pandang estetika.
Pakde Rudy, saya biasa memanggilnya demikian, adalah mentor bagi saya dan kakak saya.
"Nek shootingmu elek, giring wae bal'e, cerakke gawang (kalau tembakanmu jelek, giring saja bolanya mendekati gawang)."
Itulah petuah dari Pakde Rudy yang disampaikan kepada saya versi bocah, saat sedang menggebu-gebu meraih mimpi menjadi pesepak bola profesional.
Dulunya Pakde Rudy adalah salah satu pemain paling berbakat di Yogyakarta.
Ia memperkuat klub binaan PSIM Yogyakarta, Sinar Oetara (SO).
Manusia Rp 1,7 Triliun Barcelona adalah Ferrari yang Sedang Dirakit https://t.co/keEyl1HrwD
— BolaSport.com (@BolaSportcom) March 15, 2018
Kewajiban bersekolah sore membuat impiannya menjadi pemain sepak bola buyar.
Tapi, tekniknya sama sekali tak hilang, terutama dribel.
Rekan satu angkatannya yang lantas mentas sebagai pemain profesional seperti Jatmiko (eks kapten PSIM dan PSS) dan Prasetyo Sugianto (eks kiper PSIM dan PSS), bahkan sangat menaruh respek kepada pakde saya.
Hal yang paling mereka ingat tentu saja kualitas dribel Pakde Rudy.
Bukan Zinedine Zidane yang memberikan inspirasi kepada saya tentang teknik dribel roulette, tapi Pakde Rudy.
Ia pula yang mengajarkan gaya menggocek khas pemain Argentina yang kelak saya ketahui bernama gambetta.
Karier saya sebagai pesepak bola hanya mentok di seputar kompetisi Pengda PSSI Yogyakarta.
Kakak saya lebih sukses dengan berhasil menembus skuat PSIM junior dan sempat masuk kandidat seleksi timnas U-15 Indonesia.
Pencapaian itu sudah membuat Pakde Rudy senang.
Filosofinya terbukti belum usang, bahkan terus bertahan sampai sekarang.
Pakde Rudy berada dalam satu hembusan napas paradigma serupa dengan Maradona, Ronaldinho, atau Messi, yang suka mengoseng-oseng bola.
"Dribel adalah sesuatu yang datang dari hati, sebuah trik, tipu muslihat. Bukan soal kecepatan atau fisik. Ini adalah seni," ujar legenda Barcelona yang sukses mengeluarkan potensi terbaik Messi, Pep Guardiola.
Alasan Dihapusnya Aturan Marquee Player di Liga 1 2018 https://t.co/shOdFNi6Ol
— BolaSport.com (@BolaSportcom) March 15, 2018
Pada 11 Maret 2018, Pakde Rudy dipanggil Tuhan.
Saya pun sangat terpukul karena tak bisa lagi bertukar pikiran dan berbicara panjang lebar soal sepak bola.
Kendati demikian, kacamata Pakde Rudy akan terus saya gunakan untuk mendukung kinerja saya sebagai jurnalis di Tabloid BOLA dan Bolasport.com.
Mengamati sepak bola dengan kacamata estetika.
Sudah menjadi khitahnya bahwa sepak bola harus menyajikan hiburan.
Operan, tembakan, dan tekel adalah atribut penting.
Tapi, dribel merupakan elemen yang membuat permainan lebih keren.
Ketika melihat Messi, Neymar, dan Isco Alarcon menggocek bola di Piala Dunia 2018, memori tentang Pakde Rudy pasti akan senantiasa terlintas.
Sugeng tindak, Pakde...
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | The Guardian, , These Football Times |
Komentar