Ada yang berbeda, khas, dan unik dari Tabloid BOLA. Berita disajikan dengan penelusuran rinci dan gaya bahasa cerdas.
Pembaca bak dibawa langsung ke arena, melihat bola disepak, mendengar keriuhan penonton, sampai mencium bau rumput basah lapangan yang menyegarkan.
Kata demi kata yang tertulis di lembar BOLA mengalir rapi layaknya sepak bola tiki-taka garapan Pep Guardiola.
Ada proses panjang di sana, mulai dari membangun kedekatan dengan narasumber, mengorek informasi mahal, menentukan sudut pandang eksentrik, hingga mengetukkan jari-jari tangan ke papan ketik.
(Baca Juga: Inter Milan Sampaikan Pujian untuk Tabloid BOLA)
BOLA tak perlu repot menuliskan “wow” di barisan judul untuk sebuah peristiwa besar. Muatan berita niscaya tetap dahsyat dan inspiratif.
Tak perlu pula menjual misteri dan teka-teki sebagai penyedot atensi. BOLA tetap menjadi media yang elegan.
BOLA senantiasa cerdas, meski itu tak lagi berarti dengan melejitnya tiras. Tabloid kesayangan saya ini akhirnya tenggelam di tengah serbuan serangan cepat media daring.
Siapa bombastis, itu yang laris. BOLA gulung tikar pada saat di mana taktik transisi alias serangan balik cepat dalam sepak bola merajalela. Sebuah kebetulan?
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | The Guardian, Football Italia |
Komentar