Penguasaan terhadap bola pernah menjadi susunan anak tangga pasti yang menuntun sebuah tim kepada kenikmatan juara. Memegang Tabloid BOLA pun seperti lintasan bebas hambatan pencinta sepak bola menuju surga wawasan dan gagasan.
Usang, kuno, ketingggalan zaman. Tahun 2018 dirasa bukan momen yang tepat untuk mengagungkan strategi permainan berbasis penguasaan bola.
Jarang memegang bola tak lagi bermakna nestapa. “Umpan ke Kylian,” demikian bunyi salah satu kalimat sakti pelatih Prancis, Didier Deschamps, di jeda babak partai final Piala Dunia 2018 versus Kroasia.
Deschamps meminta agar anak didiknya mengoper ke si pelari supercepat, Kylian Mbappe, saat berada dalam situasi terdesak.
Sudah pasti, pelatih yang akrab disapa Didi itu ingin memaksimalkan transisi, istilah masa kini untuk menyebut serangan balik cepat.
Taktik Prancis berujung manis. Les Bleus menggelar pesta juara di Rusia 2018 tanpa perlu banyak menguasai bola dan mantap menunggangi kendaraan bernama transisi.
Berlama-lama dengan bola tak lagi penting. Bagaimana jika empat abjad pembentuk kata bola saya ganti semua dengan huruf kapital menjadi BOLA?
Oke. Kalimatnya bakal berubah menjadi seperti ini: Berlama-lama dengan BOLA tak lagi penting.
Penggila bola Nusantara, apalagi generasi 1990-an, tentu paham maksud saya. Bola dan BOLA adalah satu kesatuan yang nyaris tak terpisahkan.
Saya merujuk kepada Tabloid BOLA, bacaan kesayangan saya sedari bocah, sampai saya mewujudkan mimpi sebagai bagian dari redaksinya, sampai pula ikut ambil bagian menerbitkan edisi terakhir dari media yang bermarkas di Palmerah ini pada Jumat, 26 Oktober 2018.
BOLA menyudahi pengabdian sebagai media cetak per 26 Oktober 2018, saat usianya 34 tahun.
Benarkah orang memang sudah semakin malas berlama-lama dengan BOLA? Ternyata tidak semua.
Begitu kabar Tabloid BOLA mau pamitan tersiar, media sosial dibanjiri oleh simpati, ekspresi, bahkan elegi.
Tanda pagar #terimakasihtabloidBOLA sempat menjadi trending topic di Twitter.
“Saya rutin beli BOLA tiap minggu, seminggu dua kali. Saya dapat info bola dari tabloid ini dan saya lebih percaya berita di tabloid ini dibanding di medsos,” kata pembaca BOLA dengan akun Twitter @patoinsta7.
Pastikan BOLA di tangan Anda. Itulah jargon yang digemakan Tabloid BOLA pada rentang 1997 sampai 2009.
(Baca Juga: Edisi Terakhir Tabloid BOLA, Terbit Hari Ini)
Memegang dan membaca BOLA adalah jalan ke gudang wawasan dan gagasan.
Tiba-tiba saya bisa mengoceh panjang lebar bak komentator sepak bola andal di ruang kelas sekolah dasar begitu membaca analisis khas jurnalis BOLA seperti Weshley Hutagalung, Sapto Haryo Rajasa, dan Dwi Widijatmiko, figur panutan yang tak pernah saya sangka bakal menjadi rekan kerja saya.
Ada yang berbeda, khas, dan unik dari Tabloid BOLA. Berita disajikan dengan penelusuran rinci dan gaya bahasa cerdas.
Pembaca bak dibawa langsung ke arena, melihat bola disepak, mendengar keriuhan penonton, sampai mencium bau rumput basah lapangan yang menyegarkan.
Kata demi kata yang tertulis di lembar BOLA mengalir rapi layaknya sepak bola tiki-taka garapan Pep Guardiola.
Ada proses panjang di sana, mulai dari membangun kedekatan dengan narasumber, mengorek informasi mahal, menentukan sudut pandang eksentrik, hingga mengetukkan jari-jari tangan ke papan ketik.
(Baca Juga: Inter Milan Sampaikan Pujian untuk Tabloid BOLA)
BOLA tak perlu repot menuliskan “wow” di barisan judul untuk sebuah peristiwa besar. Muatan berita niscaya tetap dahsyat dan inspiratif.
Tak perlu pula menjual misteri dan teka-teki sebagai penyedot atensi. BOLA tetap menjadi media yang elegan.
BOLA senantiasa cerdas, meski itu tak lagi berarti dengan melejitnya tiras. Tabloid kesayangan saya ini akhirnya tenggelam di tengah serbuan serangan cepat media daring.
Siapa bombastis, itu yang laris. BOLA gulung tikar pada saat di mana taktik transisi alias serangan balik cepat dalam sepak bola merajalela. Sebuah kebetulan?
Perubahan tren tak bisa dihindarkan, entah itu di dunia media atau sepak bola. Membaca ulasan runtut khas BOLA mungkin akan banyak menyita waktu generasi terkini yang begitu dinamis.
Kalau perlu baca judul saja, lebih cepat ke inti berita lebih baik, tanpa perlu tahu bagaimana latar belakang dan prosesnya.
Pendekatan langsung “umpan ke Kylian” dirasa lebih memanjakan mata ketimbang serangkaian operan presisi penuh kesabaran.
Namun, saya masih percaya penguasaan bola, atau kalau boleh saya tulis BOLA, adalah jalan utama menuju paradigma juara.
Pep Guardiola mengantar Manchester City kepada status kampiun Premier League 2017-2018 berikut deretan pemecahan rekor dengan cara yang selalu diyakininya.
“Penguasaan bola adalah langkah pertama. Langkah kedua, ketiga, dan keempat bisa menyusul setelahnya. Dengan memegang bola, tim punya kesempatan lebih banyak untuk membuat peluang dan menderita lebih sedikit ancaman lawan,” tutur Guardiola.
Guardiola ibarat ikan koi. Ia mampu berenang melawan arus deras sungai Premier League yang dijejali manajer-manajer pengusung taktik transisi seperti Juergen Klopp dan Unai Emery.
(Baca Juga: #TerimaKasihTabloidBola dan Jerih Payah Dapatkan Edisi Pamitan)
Pendekatan penguasaan bola ala Guardiola yang seringkali dianggap usang dan menjemukan itu nyatanya masih bisa berujung dengan kesuksesan, berhasil mencerahkan.
“Untuk memenangi laga, Anda mesti mengontrol laga dan permainan. Inilah cara untuk meningkatkan peluang menang. Saya yakin sepak bola jelek menurunkan peluang Anda untuk menang,” kata eks pelatih AC Milan, Vincenzo Montella, yang pernah saya temui langsung di Casa Milan, Italia, pada 2016.
BOLA konsisten main cantik, meski pada akhirnya permainan indah sang tabloid legendaris sudah berakhir dan tak bisa lagi disaksikan.
Apa pun itu, saya masih percaya ada ratusan, ribuan, atau semoga jutaan ikan koi yang suka melawan arus dan haus dengan konten premium.
Bagi saya, BOLA sekarang tak lagi berwujud lembar demi lembar kertas. BOLA bermakna pemberitaan elegan dan jurnalisme cerdas. Warisan yang harus terus lestari dan abadi.
Karena itu, pastikan BOLA di tangan Anda!
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | The Guardian, Football Italia |
Komentar