Selama satu setengah tahun terakhir saya mendadak menjadi penikmat berbagai pertandingan bulu tangkis dunia.
Mulai dari turnamen individu, beregu, dan yang terbaru adalah seri BWF Tour 2018 mulai dari Tour Super 100 hingga World Tour Super 300, 500, 750, hingga 1000.
Tapi saya mulai bosan, bergaya rasional.
Saya mulai bosan melihat Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo atau biasa dijuluki Minions terlalu sering jadi wakil terakhir Indonesia di berbagai turnamen dalam dua tahun terakhir.
Tercatat dari 13 turnamen tertinggi tahun 2017, superseries/premier hingga superseries finals, Minions sembilan kali masuk final dengan tujuh di antaranya berbuah gelar juara.
(Baca Juga: Ini Dia Total Hadiah Fantastis yang Dikantongi Marcus/Kevin Setelah Masuk 9 Final Tahun Ini)
Memasuki tahun 2018, Minions masih menjadi andalan apalagi berstatus ganda putra nomor satu dunia.
Tidak terkalahkan sejak final China Open 2017, Minions akhirnya tumbang di fase grup Piala Thomas 2018 saat berjumpa tim Thailand.
Siapa yang mengalahkan? Ganda putra yang digoreng dadakan saat Piala Thomas 2018 yaitu Kittisak Namdash/Nipitphon Phuangphuapet.
Setelah kekalahan di Piala Thomas, Minions terhenti di perempat final Malaysia Open 2018 padahal berstatus unggulan satu, juara bertahan, sekaligus tidak terkalahkan di kategori individu.
Syok. Pasti. Minions sampai enggan menemui awak media dan hanya perwakilan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang memberi keterangan.
(Baca Juga: Malaysia Open 2018 – Marcus/Kevin Kalah karena Tidak Tampil seperti Biasanya?)
Menariknya, para penakluk Minions adalah rookie yang baru saja debut di panggung perbulutangkisan dunia alias masih berusia awal 20-an.
(Baca Juga: Hanya Ganda Putra China Ini yang Bisa Kalahkan Marcus/Kevin 2 Kali Beruntun di Tahun 2018)
Itu artinya sudah saatnya alarm peringatan pendamping Minions berbunyi nyaring. Tak ada negara yang hanya mengandalkan satu dua orang sebagai wakil di puncak tertinggi penguasaan ilmu, budaya, termasuk olahraga. Kita pantas belajar dari Korean Wave.
KOREAN WAVE
Baru-baru ini saya kesengsem dengan lagu terbaru EXO, boyband Korea Selatan, berjudul Tempo.
Oh my God, Sehun ganteng banget di video klip Tempo. Si maknae (baca: anggota termuda) seperti memiliki daya magis yang membuat saya meleleh hanya dengan tatapan matanya. Dari mana datangnya Sehun?
Saya tetiba teringat salah satu buku Euny Hong yang menceritakan perjuangan Korea Selatan membangun gelombang budaya bernama Korean Wave atau Hallyu.
Semua bermula saat krisis ekonomi 1997 yang mana pemerintah Korea Selatan harus berutang 57 miliar dollar AS (sekitar Rp 833 triliun) dari IMF yang kemudian dicatat sebagai Hari Memalukan Nasional.
Peristiwa tersebut membangkitkan semangat ‘han’. Ini semacam utang dendam yang telah mendarah daging pada warga Korea. Selama ribuan tahun mereka dijajah, tanpa pernah menjajah sekali pun. Terakhir dijajah Jepang dengan brutal.
Timbullah han kolektif, termasuk dalam budaya pop. Bangkitlah gelombang besar Hallyu. Korea membangun infrastruktur budaya pop yang tangguh dan sistematis.
Korea menjadi pengekspor industri populer secara global paling kreatif dan ambisius, mengalahkan Jepang dan Hollywood, Amerika Serikat. Korea berhasrat memastikan abad ke-21 menjadi Abad Korea.
Lantas apa hubungannya dengan bulu tangkis Indonesia?
Andai PBSI bisa meniru semangat han yang menjadi cikal bakal Hallyu mungkin bulu tangkis Indonesia bisa segera bangun dari tidur panjang.
Dalam catatan sejarah, bulu tangkis Indonesia setidaknya berjaya dalam dua periode yaitu tahun 60-an hingga 70-an dan 80-an hingga awal 2000-an.
Pada gelombang pertama, bulu tangkis Indonesia berjaya di sektor individu misalnya dengan Rudy Hartono yang mengunci 8 gelar All England Open, turnamen bulu tangkis tertua di dunia, pada era 1968-1974 dan 1976.
Merah Putih juga berjaya di kejuaraan beregu putra Piala Thomas dengan meraih tujuh gelar beruntun pada 1958-1979, hanya gagal di edisi 1967 karena kalah dari Malaysia.
Gelombang kedua adalah era Susy Susanti, Alan Budi Kusuma, hingga Taufik Hidayat yang menciptakan tradisi emas bulu tangkis Indonesia tidak terputus selama 16 tahun, 1992-2008.
Piala Uber pun terakhir kali terbang ke Indonesia di era Susy yaitu 1994 dan 1996. Begitu juga dengan Piala Thomas yang erat di pelukan Merah Putih pada rentang 1994-2002.
Setelah itu, prestasi bulu tangkis Indonesia terus merosot dan hanya bertumpu pada satu dua bintang saja termasuk saat ini kepada Marcus/Kevin.
Memang bukan perkara mudah untuk menciptakan kembali kejayaan Indonesia di tengah kebangkitan Jepang dan dominasi China yang tak kunjung luntur.
(Baca Juga: Park Joo-bong Curhat Jatuh Bangun Dirikan Pelatnas Bulu Tangkis Jepang sejak Awal 2000-an)
Indonesia butuh berbenah dari sekarang. PBSI harus segera memperbaiki sistem kaderisasi pemain dan pelatih.
BERBENAH SISTEM
Gonjang-ganjing bulu tangkis paling kentara baru-baru ini adalah hengkangnya Rexy Mainaky dari PBSI setelah mengantarkan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir meraih medali emas Olimpiade Rio 2016.
Hengkangnya Rexy membawa berkah untuk Thailand yang kali pertama menjadi runner-up Piala Uber 2018 di saat Indonesia terakhir kali final pada 2008 silam.
Tahun 2017, dunia dikejutkan dengan kebangkitan tunggal putra India yang diarsiteki pelatih Indonesia Mulyo Handoyo.
(Baca Juga: Kidambi Srikanth Puji Pelatih Asal Indonesia yang Berhasil Membawa Kebangkitan Bulu Tangkis India)
Mantan pelatih Taufik tersebut jadi orang di balik kesuksesan Kidambi Srikanth jawara Indonesia Open 2017 ketika tunggal putra tuan rumah terakhir kali kampiun tahun 2012.
Taufik sendiri sempat mencak-mencak ketika PBSI tidak memberi kesempatan pemain non-pelatnas seperti Tommy Sugiarto bergabung dengan skuat Piala Thomas 2018.
(Baca Juga: Alasan PP PBSI Tak Sertakan Tommy Sugiarto ke Piala Thomas 2018)
Mungkin PBSI tengah meniru strategi Korea Selatan yang mengirim skuat muda minim pengalaman ke Piala Sudirman 2017 dan berbuah kemenangan manis dengan tampil tanpa Tommy.
Dari catatan prestasi, bulu tangkis Indonesia memang menurun apalagi jika dibanding dengan era kejayaan.
Bahkan, julukan Raksasa Bulu Tangkis tak lagi disandang Indonesia. Artinya, butuh pembenahan serius dan massif, apalagi mengingat negara lain juga makin gencar membina diri.
Namun, apakah PBSI berani melakukan perombakan demi perbaikan?
Tahun 2018 Asosiasi Bulu Tangkis Korea Selatan (BKA) secara tegas mengatakan kecewa dengan prestasi Negeri Ginseng karena gelar turnamen individu merosot tajam dan puncaknya Asian Games nihil gelar.
(Baca Juga: BKA Korea Selatan Bersiap Cari Kepala Pelatih Bulu Tangkis Baru)
Selain pemecatan, BKA juga membuka kran pemain profesional di bawah 31 tahun boleh bermain di level internasional demi mendongkrak prestasi bulu tangkis mereka.
Sekali lagi jiwa ‘han’ Korea Selatan bangkit karena malu dan ‘merasa tertindas’, apalagi prestasi sang rival abadi yaitu Jepang justru tengah berjaya.
Rexy, Mulyo, dan Tommy hanya segelintir pihak di luar PBSI yang tersisih karena regulasi dan sistem.
Sebagai negara bulu tangkis, sudah tentu banyak bakat yang sebenarnya laik dipoles demi membangunkan Macan Asia yang tidur terlalu lama.
Korea Selatan saja berani melakukan perombakan besar-besaran demi kemajuan bulu tangkis, lantas bagaimana dengan Indonesia?
Saya percaya mencari bibit unggul itu tidak sulit, tapi betapa banyak bibit unggul yang terbunuh sistem?
Biar tidak mumet, saya sebaiknya menikmati lagu Tempo milik EXO, sambil mengagumi makhluk ciptaan Tuhan bernama Oh Sehun yang dibesarkan dalam sistem unggul Hallyu.
“Don’t mess up my tempo, baby!”
Editor | : | Hery Prasetyo |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar