Baca Juga: Denmark Open 2022 - Kunci Kebangkitan Jonatan Lewati Duel Sengit
Artinya, setiap pemain punya standar yang berbeda. Pun demikian halnya dengan pengamatan hakim karena tidak ada ukuran yang pasti.
Perubahan ini dianggap sukses sejak pertama kali diuji coba saat All England Open 2018 dan menjadi pakem yang baru sampai sekarang.
Meski begitu, aturan yang baru tetap disorot karena tidak menjawab permasalahan inkonsistensi dari keputusan hakim.
Instrumen pengukur ketinggian servis yang dioperasikan secara manual dinilai masih menyisakan celah untuk kesalahan dalam pengamatan.
Pada akhirnya celah ini tetap menimbulkan ketidakpercayaan pemain terhadap keputusan hakim servis.
Pemain ganda putra Indonesia, Marcus Fernaldi Gideon, menjadi salah satu pemain yang tidak puas dengan hal ini.
Marcus menilai BWF seharusnya memakai teknologi dengan akurasi yang tinggi seperti hawk eye yang mampu mengukur posisi jatuhnya kok secara digital.
"Semua tergantung dari mata service judge-nya. Kalau misalnya mata dia silinder, mungkin bisa bermasalah," kata Marcus saat BWF menerapkan aturan servis baru.
"Kalau BWF mau buat peraturan seperti ini, seharusnya mereka punya alat semacam hawk eye untuk mendeteksi servis seorang pemain atau ada sensornya."
"Kalau enggak begitu ya enggak adil dong," ucap dia.
Baca Juga: Indonesia Masters 2022 - Rahmat/Pramudya Masih Tak Terbendung
Editor | : | Ardhianto Wahyu Indraputra |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar