BOLASPORT.COM - Kontroversi seputar servis mewarnai babak kedua Denmark Open 2022. Pasangan ganda putra Indonesia, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, harus menelan pil pahit karenanya.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan tersingkir dengan tragis pada babak kedua Denmark Open 2022 yang berlangsung di Jyske Bank Arena, Denmark, Kamis (20/10/2022).
Ahsan/Hendra, unggulan ketiga, takluk di tangan pasangan non-unggulan dari Taiwan, Lu Ching Yao/Yang Po-han, dengan skor 19-21, 17-21.
Jalan terjal dihadapi Ahsan/Hendra karena mereka lebih sering berada dalam situasi tertinggal sepanjang pertandingan.
Bukan berarti Ahsan/Hendra tanpa perlawanan. Pada gim pertama dan gim kedua mereka selalu hampir bangkit dari ketertinggalan skor yang cukup besar.
Hampir saja. Sebab, poin terakhir yang membuat mantan pasangan nomor satu itu kalah terjadi karena situasi di luar kendali mereka.
Pada gim pertama Ahsan/Hendra menyelamatkan lima game point dari kedudukan 14-20 hanya untuk kehilangan poin krusial karena servis Ahsan dinyatakan fault.
Ahsan dianggap mengangkat kok terlalu tinggi saat melakukan servis. Pemain akan kehilangan poin jika melakukannya.
"Fault! Too high," teriak service judge alias hakim servis sambil mengangkat salah satu tangan dan meletakkan di depan dada.
Baca Juga: Hasil Denmark Open 2022 - Tumbang, Rekor Keunggulan 5-0 Ahsan/Hendra Berakhir
Gim berikutnya pasangan berjuluk The Daddies tersebut kembali dibuat gigit jari karena poin kekalahan mereka terjadi karena service fault.
Ahsan makin dibuat tidak percaya ketika pada gim berikutnya dia dan Hendra kehilangan poin yang sangat krusial karena alasan yang sama.
Posisi servis Ahsan dinyatakan terlalu tinggi. Padahal saat itu Daddies sedang berusaha mencegah Lu Ching Yao/Yang Po Han menuntaskan match point.
Kesalahan Ahsan makin terasa ironis karena servis yang tidak diharapkan itu sebenarnya tidak perlu terjadi.
Servis Ahsan sebelumnya baik-baik saja tetapi dianulir karena lawan tidak siap menerima bola.
Bukan Ahsan/Hendra saja yang dibuat geregetan dengan masalah servis.
Pasangan ganda campuran China, Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong, juga mengalami hal yang sama saat menghadapi wakil tuan rumah, Mikkel Mikkelsen/Rikke Soby.
Pada pertengahan gim kedua Zheng Si Wei sempat beradu argumen dengan hakim servis karena berulang kali servisnya dinyatakan terlalu tinggi.
"Unbelievable", artinya sulit dipercaya, kata Zheng Si Wei setelah menunjukkan ketidaksepakatan dengan pengamatan hakim soal seberapa tinggi tadi posisi servisnya.
Baca Juga: Kejuaraan Dunia Junior 2022 - Bikin China Alami Prestasi Terburuk, Indonesia Dekati Titel Ke-2
Tensi makin panas karena pada pertandingan yang sama pelatih Denmark mendorong pelatih China saat berusaha melakukan protes kepada wasit lapangan.
Terganggunya konsentrasi juara dunia dua kali tersebut dimanfaatkan Mikkelsen/Soby untuk terus melancarkan tekanan.
Mereka sukses memaksa pertandingan berlangsung hingga rubber game. Pada gim penentuan pun mereka hampir menciptakan deuce dari ketertinggalan 15-20.
Apes bagi pasangan Denmark, servis Mikkelsen membentur net sehingga perlawanan mereka berakhir dengan anti-kilmaks.
Pertandingan selesai dengan skor 21-10, 19-21, 21-19 bagi kemenangan Zheng/Huang.
Inkonsistensi
Dalam melakukan servis pemain dituntut untuk tidak memposisikan kok lebih dari 115 cm di atas permukaan lapangan saat kontak pertama antara kok dan kepala raket.
Aturan ini diajukan untuk mengurangi kerugian yang dialami pemain dengan postur tubuh yang relatif pendek dan pengamatan hakim servis yang rawan berubah-ubah.
Sebelumnya batas yang dipakai adalah di bawah pinggang.
Baca Juga: Denmark Open 2022 - Kunci Kebangkitan Jonatan Lewati Duel Sengit
Artinya, setiap pemain punya standar yang berbeda. Pun demikian halnya dengan pengamatan hakim karena tidak ada ukuran yang pasti.
Perubahan ini dianggap sukses sejak pertama kali diuji coba saat All England Open 2018 dan menjadi pakem yang baru sampai sekarang.
Meski begitu, aturan yang baru tetap disorot karena tidak menjawab permasalahan inkonsistensi dari keputusan hakim.
Instrumen pengukur ketinggian servis yang dioperasikan secara manual dinilai masih menyisakan celah untuk kesalahan dalam pengamatan.
Pada akhirnya celah ini tetap menimbulkan ketidakpercayaan pemain terhadap keputusan hakim servis.
Pemain ganda putra Indonesia, Marcus Fernaldi Gideon, menjadi salah satu pemain yang tidak puas dengan hal ini.
Marcus menilai BWF seharusnya memakai teknologi dengan akurasi yang tinggi seperti hawk eye yang mampu mengukur posisi jatuhnya kok secara digital.
"Semua tergantung dari mata service judge-nya. Kalau misalnya mata dia silinder, mungkin bisa bermasalah," kata Marcus saat BWF menerapkan aturan servis baru.
"Kalau BWF mau buat peraturan seperti ini, seharusnya mereka punya alat semacam hawk eye untuk mendeteksi servis seorang pemain atau ada sensornya."
"Kalau enggak begitu ya enggak adil dong," ucap dia.
Baca Juga: Indonesia Masters 2022 - Rahmat/Pramudya Masih Tak Terbendung
Editor | : | Ardhianto Wahyu Indraputra |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar