Alasan pelanggaran nilai itu menjadi celah klub untuk memberhentikan Allegri dengan prinsip 'just cause' atau penghentian kontrak sepihak tanpa kewajiban memberi kompensasi apa pun.
Cara ini bisa ditempuh karena pihak lain, dalam hal ini Allegri, sudah melakukan hal yang melanggar poin tertera dalam perjanjian kontrak untuk "menjaga perilaku sesuai prinsip kesetiaan, kejujuran, serta perilaku yang sesuai komitmen olahraga yang diemban."
Dengan cara ini, Juve bisa membebastugaskannya tanpa harus membayar sisa gaji 9 juta euro sebagai ganti rugi kehilangan pekerjaan.
Kondisi miris yang dialami Allegri turut menimbulkan rasa prihatin bagi pelatih legendaris, Fabio Capello.
"Kritik terhadapnya sudah berlebihan. Reaksinya di akhir laga (vs Atalanta) mengejutkan, tapi dia menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam," katanya.
"Saya yakin Allegri telah mengeluarkan yang terbaik dari tim Juventus ini dan dia melakukannya tanpa dukungan klub," bunyi pembelaan lain dari legenda Bianconeri, Marco Tardelli.
"Dia sendirian selama tiga tahun ini di mana klub menjalani momen-momen sangat sulit," imbuhnya.
Pengacara Italia, Maurizio Paniz, mengungkap opini menarik bahwa keputusan akhir pemecatan itu memang diambil sesuai rencana di antara hierarki klub.
"Situasi empat bulan terakhir memiliki efek signifikan terhadap stabilitas mental dan fisik Allegri," tutur Paniz.
"Akan lebih logis untuk memikirkan perpisahan sesuai kesepakatan dua pihak di akhir musim, tapi hal itu tidak terjadi karena ada paksaan."
"Keputusan akhir itu (pemecatan) diambil secara serentak oleh Gianluca Ferrero (presiden klub), Maurizio Scanavino (CEO), dan Francesco Calvo (CFO)."
"Mereka mungkin mendengarkan Giuntoli, dan mendengarnya lagi dari John Elkann (bos Exor, perusaahan pemilik Juventus)," tambahnya.
"Keputusan tidak diambil sendirian. Ini dievaluasi dan didiskusikan dengan berbagai level manajerial," tutur Paniz.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | Gazzetta.it, Ilmessaggero.it, Tuttomercatoweb.com |
Komentar