Pernahkah Pembaca menyadari bahwa setiap kali Jerman menjadi juara Piala Dunia, maka yang akan berdiri di podium tertinggi pada edisi berikutnya selalu tim dari Amerika Selatan?
Memang tak semua orang mengetahui fakta itu. Penulis sendiri baru betul-betul menyadarinya setelah diberitahu kolega senior di kantor.
Jerman sejauh ini sudah 4 kali merebut gelar Piala Dunia, tiga di antaranya saat masih bernama Jerman Barat. Momen tersebut terjadi pada edisi 1954 di Swiss, tahun 1974 ketika menjadi tuan rumah, 1990 di Italia, serta 2014 di Brasil.
Lalu, siapa yang menggantikan tahta Tim Panser pada ajang-ajang selanjutnya? Brasil berhasil berdiri di podium tertinggi pada edisi 1958 dan 1994, sementara mahkota Piala Dunia 1978 menjadi milik Argentina.
(Baca Juga: 9 Negara Ini Tak Pernah Absen di Piala Dunia 20 Tahun Terakhir)
Dengan rentetan sejarah yang sudah seperti menjadi pola ini, tak urung Brasil dan Argentina dipercaya punya kesempatan besar di Rusia 2018.
Di antara keduanya, Brasil yang paling diunggulkan. Berbagai rumah taruhan bahkan sejak awal memang menempatkan Selecao sebagai unggulan utama dibanding kontestan Piala Dunia 2018 lainnya.
Bersama Tite, pelatih yang punya reputasi hebat di Brasil dan telah melatih selama hampir 3 dekade sejak 1990, Selecao disebut siap menghapus duka akibat kekalahan 1-7 kontra Jerman di semifinal Piala Dunia 2014.
Apa hendak dikata, Neymar cs nyatanya hanya meraih hasil imbang 1-1 melawan Swiss di laga perdana. Tapi, bukan itu sebenarnya yang melandasi keraguan atas Brasil seperti tercermin di judul tulisan ini.
Hasil imbang melawan Swiss, termasuk cara Brasil kehilangan dua poin di laga tersebut, hanya mempertegas faktor yang tidak dimiliki Brasil untuk menjadi kampiun.
Penulis coba membandingkan skuat Brasil saat ini dengan yang dimiliki pada 1994 dan 2002 ketika menjadi tim terbaik pada 16 dan 24 tahun silam.
Elemen apa yang dulu dimiliki dan juga ada saat ini, bahkan lebih baik, serta apa yang tidak ada, atau setidaknya belum terlihat, di Rusia 2018? Brasil disebut-sebut menjadi juara pada 1994 dan 2002 berkat kekuatan ofensif luar biasa yang dimilikinya.
Di AS, Selecao punya duet mematikan dalam diri Romario dan Bebeto, yang secara bersama-sama mencetak 7 dari total 11 gol Brasil di Piala Dunia ketika itu.
Lethal Weapon I dan II, begitu media Negeri Paman Sam menjuluki mereka ketika itu. Saking hebatnya, Romario dan Bebeto bisa melupakan perselisihan di antara mereka dan terkesan sebagai sahabat karib.
Tidak percaya? Buktinya, saat Bebeto melakukan selebrasi timang bayi selepas mencetak gol kedua Brasil di laga kontra Belanda pada perempat final, adalah Romario yang berdiri di sebelahnya.
(Baca Juga: Prancis dan Jerman Beragam demi Prestasi, Indonesia (Jangan) Terpecah karena Pilpres dan Jalan Tol!)
Persib Bandung Akan Gelar Uji Coba Sebelum Hadapi Persija Jakarta https://t.co/947beXQvio
— BolaSport.com (@BolaSportcom) June 18, 2018
Padahal, semua yang mengikuti kiprah Brasil sebelum tampil di PD 1994 pasti tahu betul rivalitas di antara keduanya.
Persaingan Bebeto dan Romario terbangun dari La Liga. Nama pertama menjadi top scorer La Liga 1992-1993 berkat torehan 29 gol bagi Deportivo La Coruna.
Musim berikutnya, Romario yang baru menjalani musim perdananya bersama Barcelona, langsung meraih gelar pichichi dengan 30 gol. Adapun Bebeto ketika itu cuma menceploskan 16 gol.
Persaingan ini berlanjut ke timnas dan dibumbui dengan julukan Bayi Cengeng yang dilekatkan Romario pada Bebeto karena dianggapnya terlalu sering protes ke wasit.
Berita-berita yang beredar kala itu juga menyebut soal konferensi pers yang dilakukan Romario untuk mengumumkan bahwa dia tak sudi duduk bersebelahan dengan Bebeto di pesawat menuju AS. Tapi, rivalitas itu sama sekali tak terlihat di PD 1994.
"Romario dan Bebeto adalah kombinasi sempurna," kata pelatih Carlos Alberto Parreira ketika itu sebagaimana dilansir BolaSport.com dari New York Times.
"Mereka sama-sama pemain yang punya skill hebat, pemain luar biasa. Mereka adalah matador, pembunuh di dalam area penalti," tutur sang pelatih.
Lompat ke 2002, kualitas pembunuh ini terlihat dari keberhasilan Brasil menjadi tim tersubur di fase grup bersama Jerman dengan torehan 11 gol.
Lini ofensif Selecao ketika itu memang mengerikan berkat nama-nama seperti Ronaldo - Ronaldo Kucung alias Ronaldo asli, tentu saja - Rivaldo, dan Ronaldinho.
Mereka inilah tipe pemain yang bisa membuat talenta hebat seperti Juninho hingga Kaka duduk manis di bangku cadangan.
(Baca Juga: Gagal Penalti, Lionel Messi Mengaku Bertanggung Jawab atas Hasil Imbang Argentina)
Ronaldo mengakhiri turnamen ketika itu sebagai peraih Sepatu Emas dengan 8 gol di mana dua di antaranya diciptakan di final saat Brasil menang 2-0 versus Jerman, sementara Rivaldo mengoleksi 5 gol.
Bagaimana dengan saat ini? Tentu saja nama-nama seperti Neymar, Coutinho, dan Willian juga menjadi impian bagi pelatih mana pun di dunia.
Selepas pertandingan melawan Swiss di PD 2018, memang sempat muncul keraguan atas Gabriel Jesus.
Tapi, mengingat pemain kelahiran Sao Paulo ini bisa menjadi salah satu andalan pelatih sekaliber Pep Guardiola di klub sebesar Manchester City dan mencetak 13 gol di kompetisi sekompetitif Liga Inggris musim lalu dalam usia yang baru 21 tahun, kualitas Jesus tak bisa disangkal.
Jika pun Tite memutuskan mengubah ujung tombaknya untuk laga kedua, Roberto Firmino akan menyajikan ancaman yang tak kalah mengerikan sebagaimana diperlihatkannya bersama Liverpool musim lalu dan dua musim sebelumnya.
Sedikit mundur, di sektor inilah yang disebut-sebut letak keberhasil Tite dibanding Dunga, pelatih Brasil sebelumnya, karena berhasil menciptakan keseimbangan tim.
Daya ledak tinggi bisa diimbanginya dengan pemain-pemain yang piawai memutus serangan lawan, seperti Paulinho, Casemiro, hingga Fernandinho di bangku cadangan.
Nama-nama tersebut mengingatkan publik akan pentingnya kehadiran gelandang bertahan semacam Gilberto Silva di PD 2002 dan Dunga pada edisi 1994.
Untuk mengeksploitasi lebar lapangan, Brasil di PD 2018 punya bek luar biasa semacam Marcelo. Kehilangan Dani Alves tentu patut disayangkan, tapi kualitas Danilo tidaklah bisa dibilang jelek.
Keberadaan mereka seperti menapak tilasi kontribusi hebat Cafu dan Roberto Carlos di edisi 2002 serta Jorginho pada 1994.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Timnas Spanyol di Fase Grup)
Nama terakhir mungkin sedikit asing di telinga penikmat sepak bola saat ini. Tapi, percayalah, Jorginho merupakan salah satu bek kanan terbaik dunia pada masanya.
Jorginho, yang melepas crossing berujung gol tunggal Romario kontra Swedia di semifinal, masuk dalam susunan Tim Terbaik PD 1994.
Lantas, elemen apa yang masih menghilang? Jawabannya ada di pos jantung pertahanan. Pada edisi 1994, Brasil punya bek tengah setangguh Aldair.
Selain sulit ditembus, legenda AS Roma yang menjalani operasi lutut pada 1993 ini punya visi permainan dan kemampuan penguasaan bola mumpuni serta diberkati kemampuan melepas operan jauh.
Rekannya, Marcio dos Santos, tak kalah cakap. Terbukti, eks Ajax dan Fiorentina ini juga masuk susunan Tim Terbaik PD 1994.
Duet Aldair dan Dos Santos adalah aktor utama yang membuat kiper Claudio Taffarel cuma perlu melakukan 12 penyelamatan hingga sebelum final.
Mereka juga yang berjasa membuat Brasil cuma menelan 3 gol sepanjang turnamen, itu pun hanya kebobolan saat melawan Swedia di fase grup serta Belanda (2) pada perempat final.
Pada 2002, Brasil punya bek semacam Lucio dan Edmilson yang membuat kelemahan Roque Junior dalam formasi 3 bek tengah jadi tak terlalu terasa.
Kualitas hebat itu yang tak terlihat dalam diri Thiago Silva dan Miranda, setidaknya saat melawan Swiss.
Silva masih menjadi tembok tangguh, tetapi kualitas yang diperlihatkannya saat menghadapi Swiss lebih kepada jejak-jejak yang tersisa dari ketika ia masih membela AC Milan dan masuk jajaran bek tengah terbaik dunia.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Lengkap Grup E, Brasil Punya 1 Musuh Berat)
Silva setidaknya salah posisi saat mengantisipasi tendangan sudut Xherdan Shaqiri yang berujung gol Steven Zuber. Pendampingnya, Miranda, tak bisa dibilang jelek, namun juga sulit menyebut eks Atletico ini sebagai bek istimewa.
Pemain berusia 33 tahun ini juga dituding terlalu gampang goyang oleh dorongan minimal Zuber. Miranda juga tak semestinya melepaskan pengawalannya terhadap Zuber semudah itu.
Soal usia bek tengahnya, ini juga yang membedakan Brasil saat ini dengan edisi 1994 serta 2002.
Miranda didampingi pemain yang juga berusia 33 tahun, sementara duet Aldair serta Dos Santos tengah dalam kondisi terbaiknya karena baru berumur 28 dan 24 tahun.
Adapun Lucio baru merayakan ulangtahun ke-24 sebulan sebelum tampil di Korsel-Jepang, sedangkan Edmilson dan Roque Junior sama-sama berusia 25 tahun.
Usia memang bisa ditutupi dengan pengalaman dan kematangan membaca bola, tapi kualitas itu pula yang tidak terlalu terlihat dari Silva serta Miranda di partai kontra Swiss. Gabungkan itu dengan ketidakmampuan Tite mengobati penyakit timnya.
Pada kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Conmebol, Brasil kebobolan total 11 gol. Nah, dari 11 gol itu, sebanyak 8 di antaranya lewat operan silang (7 open play dan 1 tendangan sudut). Dari total 8 itu, 5 di antaranya umpan silang melambung dan 3 lagi menyusur tanah.
Bagaimana proses terjadinya gol Swiss? Tepat, crossing lewat sepak pojok! Calon-calon lawan Brasil boleh jadi sudah mempelajari kelemahan itu.
Sebagaimana data yang dilansir BolaSport.com dari Whoscored, Swiss adalah kontestan Grup E yang sejauh ini paling sedikit melepas operan silang, yakni 12 kali.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Artinya, Brasil bisa jadi akan menghadapi kesulitan kian besar melawan tim yang lebih banyak melepaskan crossing seperti Serbia (14 kali di laga perdana Grup E) dan Kosta Rika (22).
Okelah, kegagalan Brasil melangkah dari fase grup di Rusia 2018 akan kejutan yang terlalu tidak menyenangkan. Tapi, bila penyakit-penyakit itu tak dicarikan penangkalnya, tidaklah mengherankan bila Brasil akan gagal meraih gelar keenamnya di Rusia.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar