Insiden rusaknya beberapa bagian SUGBK pada final Piala Presiden 2018 juga pasti menjadi salah satu pertimbangan dari OC dan Steering Committee (SC). Seperti yang kita tahu, final Piala Presiden 2018 diwarnai insiden oknum suporter yang merangsek masuk ke SUGBK sampai menjebol pagar besi dan merusak beberapa kursi.
Aksi yang terekam kamera CCTV stadion itu tak hanya dilakukan oleh satu dua orang, melainkan ratusan jumlahnya. Kerugian akibat peristiwa itu ditaksir mencapai Rp150 juta. Ironisnya lagi, peristiwa tersebut terjadi beberapa bulan sebelum SUGBK digunakan sebagai venue Asian Games 2018.
Parah banget ya mental oknum2 ini. Miris melihatnya. Sedih juga melihat GBK rusak dengan cepatnya. #AyoJadiSupporterBaik pic.twitter.com/3879lZmfvT
— Tomy Ristanto (@tomyrist) February 18, 2018
Barang tentu SC dan OC Piala Presiden enggan kejadian tersebut terulang lagi mengingat final edisi kali ini mempertemukan dua rival bebuyutan, Persebaya Surabaya dan Arema FC.
Coba bayangkan, partai final Piala Presiden 2019 yang mempertemukan Persebaya Surabaya dan Arema FC, dua tim besar asal Jawa Timur yang memiliki riwayat rivalitas panjang, bertanding di tempat netral, jauh dari kota asal kedua tim itu, dengan sistem single match. Menyatukan Bonek dan Aremania, suporter Persebaya dan Arema FC, dalam satu stadion jelas membuat final Piala Presiden 2019 terasa mengerikan.
Terlebih, sebelum final dimainkan ada insiden yang melibatkan kedua kelompok suporter itu. Memang, alangkah baiknya apabila dua kelompok suporter yang besar bisa duduk berdampingan dalam satu stadion. Tapi masih ingatkah dengan aksi rasialis yang dilakukan oknum Aremania dan ditujukan kepada Bonek pada laga kontra Bhayangkara FC di babak 8 besar?
Mempertemukan Bonek dan Aremania dalam satu stadion bukan pilihan bijak untuk saat ini. Potensi terjadi kericuhan jelas lebih besar, belum lagi adanya kemungkinan gesekan dengan warga setempat. Ditambah lagi, final Piala Presiden 2019 dihelat beberapa hari jelang Pemilu, gesekan kecil saja bisa mengganggu stabilitas keamanan di daerah tersebut. Lebih-lebih jika digelar di Jakarta.
Menggelar laga final dua kali bisa dibilang keputusan yang visioner jika melihat Persebaya dan Arema FC yang akhirnya jumpa di final. Sejak awal merencanakan, panitia pelaksana Piala Presiden sudah meminimalisir kemungkinan gesekan, terutama antarsuporter, yang bisa mencederai asas fair play dalam sepak bola.
Baca Juga : Memori Hujan Kartu Persebaya Vs Arema FC Jelang Piala Presiden 2019
Sistem kandang dan tandang di partai final yang mempertemukan Persebaya vs Arema FC juga bukannya tanpa potensi perkara. Coba bayangkan jika Persebaya menang pada leg pertama 9 April nanti di Stadion Gelora Bung Tomo. Kemudian pada leg kedua di markas Arema, Stadion Kanjuruhan, Persebaya bisa menahan imbang Singo Edan.
Tak pelak lagi, Persebaya akan berpesta di markas tim rival jika skenario tersebut terjadi. Bagi Aremania, jelas menyakitkan melihat tim lawan, lebih-lebih rival, mengangkat piala di markas mereka. Potensi keributan pun muncul seperti yang disampaikan Cak Tessy, dirijen Bonek.
Editor | : | Taufan Bara Mukti |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar