Riuh di media sosial soal kejanggalan di partai final Piala Presiden 2019. Tak seperti tiga gelaran terdahulu, Piala Presiden 2019 menerapkan sistem kandang dan tandang di partai final. Apa dampak baik dan buruk dari keputusan tersebut?
Gelaran Piala Presiden 2019 tak banyak mengalami perubahan dibandingkan edisi-edisi sebelumnya. Hanya ada beberapa perubahan seperti peningkatan jumlah hadiah bagi tim juara dan runner-up dan partai kandang bagi 4 tim terbaik fase grup di babak 8 besar. Satu perubahan yang paling mencolok barangkali adalah penerapan sistem kandang dan tandang di partai final.
Penerapan sistem home and away di partai final merupakan hal paling mutakhir di kompetisi Piala Presiden. Tengok pada 2015 ketika Persib juara Piala Presiden edisi pertama, partai final dihelat di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta.
Sempat vakum pada 2016 karena sanksi FIFA, Piala Presiden kembali hadir pada 2017 dan mempertemukan Pusamania Borneo FC vs Arema FC di partai final yang dimainkan di Stadion Pakansari, Bogor, karena SUGBK tengah direnovasi.
Setelah rampung pembenahan, SUGBK kembali menjadi venue partai final Piala Presiden, kali ini edisi 2018, yang menghadirkan laga Persija Jakarta vs Bali United. Sekira 70.000 penonton yang memadati SUGBK menjadi saksi saat Persija mengangkat trofi turnamen pramusim paling bergengsi di Indonesia itu.
Baca Juga : Arema FC Punya 3 Modal Penting Hadapi Persebaya di Final Piala Presiden 2019
Keputusan menggelar partai kandang dan tandang di final Piala Presiden 2019 membuat pihak penyelenggara mendapat pancawarna tudingan dari kalangan pecinta sepak bola nasional. Ketetapan tersebut dinilai muncul secara tiba-tiba dan kurang pertimbangan. Padahal yang sebenarnya, keputusan memakai format kandang dan tandang di partai final sudah digaungkan sejak Februari.
Kata Iwan Budianto Plt Ketua Umum PSSI sekaligus Ketua Organizing Committee (OC) Piala Presiden 2019, pertimbangan memainkan partai final dua kali adalah untuk memikat suporter tim tuan rumah agar datang dan memenuhi stadion.
"Kami belajar dari Piala Presiden (edisi) 1, 2, dan 3. Kami menganalisis sistem satu pertandingan, kalau tidak melibatkan tim yang menjadi tuan rumah gebyarnya terasa kurang," kata Iwan di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (10/2/2019).
Insiden rusaknya beberapa bagian SUGBK pada final Piala Presiden 2018 juga pasti menjadi salah satu pertimbangan dari OC dan Steering Committee (SC). Seperti yang kita tahu, final Piala Presiden 2018 diwarnai insiden oknum suporter yang merangsek masuk ke SUGBK sampai menjebol pagar besi dan merusak beberapa kursi.
Aksi yang terekam kamera CCTV stadion itu tak hanya dilakukan oleh satu dua orang, melainkan ratusan jumlahnya. Kerugian akibat peristiwa itu ditaksir mencapai Rp150 juta. Ironisnya lagi, peristiwa tersebut terjadi beberapa bulan sebelum SUGBK digunakan sebagai venue Asian Games 2018.
Parah banget ya mental oknum2 ini. Miris melihatnya. Sedih juga melihat GBK rusak dengan cepatnya. #AyoJadiSupporterBaik pic.twitter.com/3879lZmfvT
— Tomy Ristanto (@tomyrist) February 18, 2018
Barang tentu SC dan OC Piala Presiden enggan kejadian tersebut terulang lagi mengingat final edisi kali ini mempertemukan dua rival bebuyutan, Persebaya Surabaya dan Arema FC.
Coba bayangkan, partai final Piala Presiden 2019 yang mempertemukan Persebaya Surabaya dan Arema FC, dua tim besar asal Jawa Timur yang memiliki riwayat rivalitas panjang, bertanding di tempat netral, jauh dari kota asal kedua tim itu, dengan sistem single match. Menyatukan Bonek dan Aremania, suporter Persebaya dan Arema FC, dalam satu stadion jelas membuat final Piala Presiden 2019 terasa mengerikan.
Terlebih, sebelum final dimainkan ada insiden yang melibatkan kedua kelompok suporter itu. Memang, alangkah baiknya apabila dua kelompok suporter yang besar bisa duduk berdampingan dalam satu stadion. Tapi masih ingatkah dengan aksi rasialis yang dilakukan oknum Aremania dan ditujukan kepada Bonek pada laga kontra Bhayangkara FC di babak 8 besar?
Mempertemukan Bonek dan Aremania dalam satu stadion bukan pilihan bijak untuk saat ini. Potensi terjadi kericuhan jelas lebih besar, belum lagi adanya kemungkinan gesekan dengan warga setempat. Ditambah lagi, final Piala Presiden 2019 dihelat beberapa hari jelang Pemilu, gesekan kecil saja bisa mengganggu stabilitas keamanan di daerah tersebut. Lebih-lebih jika digelar di Jakarta.
Menggelar laga final dua kali bisa dibilang keputusan yang visioner jika melihat Persebaya dan Arema FC yang akhirnya jumpa di final. Sejak awal merencanakan, panitia pelaksana Piala Presiden sudah meminimalisir kemungkinan gesekan, terutama antarsuporter, yang bisa mencederai asas fair play dalam sepak bola.
Baca Juga : Memori Hujan Kartu Persebaya Vs Arema FC Jelang Piala Presiden 2019
Sistem kandang dan tandang di partai final yang mempertemukan Persebaya vs Arema FC juga bukannya tanpa potensi perkara. Coba bayangkan jika Persebaya menang pada leg pertama 9 April nanti di Stadion Gelora Bung Tomo. Kemudian pada leg kedua di markas Arema, Stadion Kanjuruhan, Persebaya bisa menahan imbang Singo Edan.
Tak pelak lagi, Persebaya akan berpesta di markas tim rival jika skenario tersebut terjadi. Bagi Aremania, jelas menyakitkan melihat tim lawan, lebih-lebih rival, mengangkat piala di markas mereka. Potensi keributan pun muncul seperti yang disampaikan Cak Tessy, dirijen Bonek.
"Kami inginnya cari tempat yang netral. Sebab yang ditakutkan bila home and away, waktu pertandingan terakhir akan rusuh," kata pria bernama Agus Bimbim Tessy itu.
"Menurut saya, home and away itu takutnya rusuh. Saya punya pikiran, kalau lolos ke final dan Persebaya main di Arema, lalu menjadi juara, pasti rusuh. Sedangkan kalau Arema yang jadi juara, dan mainnya di Bung Tomo, akan rusuh juga," ucapnya menambahkan.
Sementara dari kubu Arema FC, mereka lebih berharap spotlight diarahkan ke keberhasilan tim menembus babak final Piala Presiden 2019. Persebaya dan Arema FC, dituturkan Media Officer Arema FC, Sudarmadji, membuat Jawa Timur dipandang sebagai barometer sepak bola nasional. Sudarmadji juga berharap Aremania datang dan mendukung Singo Edan agar sejarah Piala Presiden 2017 kala menjadi juara bisa terulang lagi.
"Kami memohon doa restu agar tahun ini mendapat momentum untuk kembali memenangi gelar," ucap Sudarmadji.
Final yang dimainkan dua leg memang menjadi hal baru di persepakbolaan Indonesia. Di luar negeri pun partai final yang dimainkan home and away tak banyak ditemukan. Hanya Copa Libertadores dan Copa Sudamericana yang memakai format tersebut. Kebanyakan format kandang dan tandang digunakan di babak gugur sebelum final, seperti perempat final dan semifinal.
Sempat muncul juga tudingan bahwa penyelenggara Piala Presiden 2019 hanya mencari keuntungan dari penjualan tiket partai final kandang dan tandang. Maklum, anggapan seperti itu muncul disebabkan padangan skeptis pecinta sepak bola terhadap PSSI yang belakangan mendapat citra kurang baik karena beberapa alasan.
Sejatinya, sebelum turnamen ini digulirkan, Ketua Steering Committee Piala Presiden 2019, Maruarar Sirait, sudah mewanti-wanti soal transparansi aliran dana. Dewan Pembina PSSI itu menegaskan bahwa Piala Presiden harus menjunjung asas fair play dan tak boleh ada praktik jual-beli pertandingan serta suap-menyuap. Maruarar juga mengungkapkan bahwa Piala Presiden 2019 akan diaudit oleh PricewaterhouseCoopers (PWC) agar lebih transparan dan terbuka.
"Tujuan dilakukan audit untuk membuktikan transparansi keuangan yang terjadi selama Piala Presiden 2019 bergulir. Ini sesuai dengan perintah Presiden RI Joko Widodo yang ingin semua terbuka. Kami juga ingin meningkatkan ekonomi kerakyatan," kata Maruarar.
Dengan audit menggandeng pihak ketiga, aliran dana Piala Presiden 2019 akan jelas juntrungannya. Pun demikian dengan uang tiket yang didapatkan dari hasil final dua leg tersebut.
Semangat transparansi dan keterbukaan ini menjadi indikasi positif bagi persepakbolaan nasional yang sebelumnya tak pernah didapatkan di kompetisi resmi. PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) tak pernah membuka catatan keuangan mereka kepada publik setelah musim Liga 1 berakhir.
Memang PT LIB biasanya membagikan laporan keuangan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) kepada perwakilan klub-klub Liga 1 yang hadir. Namun, akan lebih baik jika PT LIB, selaku operator kompetisi resmi di Indonesia, merilis laporan keuangannya secara terbuka kepada publik.
Dengan begitu kepuasan publik bisa meningkatkan bisnis PT LIB itu sendiri, sekaligus untuk membangun trust masyarakat kepada PT LIB maupun PSSI.
PERSEBAYA DAN AREMA DIJODOHKAN PIALA PRESIDEN
Piala Presiden 2019 menggunakan sistem yang sama seperti edisi sebelumnya. Ada lima kota tuan rumah yang akan menggelar laga-laga fase grup dari Grup A sampai E. Kelima kota tersebut adalah Bandung (Grup A), Bekasi (Grup B), Magelang (Grup C), Sleman (Grup D), dan Malang (Grup D).
Seperti jodoh yang dipertemukan di Piala Presiden 2019, Persebaya Surabaya dan Arema FC akhirnya berjumpa meski awalnya dipisahkan. Karena alasan keamanan, kedua tim dimainkan berjauh-jauhan di fase grup. Persebaya Surabaya di kelompok pertama alias Grup A sedang Arema FC di grup terakhir, Grup E.
Sebelum drawing fase grup Piala Presiden 2019 digelar pada 18 Februari, Persebaya sudah mendapat tempat bermain di Bandung.
Baca Juga : Persebaya Surabaya Vs Arema FC - Bonek Janji Tak Ada Lagu Rasialis
"Karena kita tahu bagaimana rivalitasnya, Persebaya akan main di Bandung. Nanti ada drawing. Kemungkinan Persebaya main di Bandung karena melihat kondisi keamanan," kata Gatot Widakdo, Direktur Media dan Promosi Digital PSSI, Kamis (14/2/2019).
Tak hanya di fase grup, Persebaya dan Arema FC pun berjauhan saat drawing babak 8 besar. Persebaya lolos sebagai juara Grup A, sementara Arema FC jadi salah satu runner-up terbaik. Di babak 8 besar Persebaya bersua Tira-Persikabo pada perempat final 1, sedangkan Arema FC menghadapi Bhayangkara FC di perempat final 4.
Meski berjauh-jauhan, namanya jodoh tetap bakal bertemu. Persebaya dan Arema FC akhirnya berhadap-hadapan di partai final Piala Presiden 2019. Persebaya melenggang ke final usai mengalahkan Madura United di semifinal dengan agregat 4-2. Pun demikian dengan Arema FC yang menjejakkan kaki di partai puncak usai menggilas Kalteng Putra 6-0 secara agregat.
Final ideal pun tercipta, dua tim besar sekaligus rival bebuyutan bertemu di laga pamungkas, Persebaya vs Arema FC.
Final dengan format 2 leg menjadi pilihan paling logis melihat ketegangan antarsuporter yang dipantik ulah oknum tak bertanggung jawab. Pada babak 8 besar Arema FC vs Bhayangkara di Stadion Patriot, oknum suporter terdengar menyanyikan lagu bernada rasialis kepada suporter Persebaya, Bonek. Aksi tersebut sampai mendapat kecaman dari kapten Arema, Hamka Hamzah.
"Seharusnya lagu itu itu tidak ada lagi di dunia persuporteran yang saling mengejek. Walaupun Aremania suporter tim saya sendiri, tapi kalau memang tidak bagus, ya, harus kami tegur," kata Hamka Hamzah selepas pertandingan.
Memutuskan menggelar partai kandang dan tandang di final sejak awal penyelenggaraan merupakan langkah yang visioner karena sejak awal mengantisipasi pertemuan rival bebuyutan. Sebab, mempertemukan Bonek dan Aremania dalam satu stadion dengan kondisi seperti ini rasanya jadi keputusan yang kurang bijak.
Alih-alih menikmati pertandingan sebagai sajian utama, kericuhan antarsuporter malah bisa jadi hidangan yang lebih “panas”. Tentu saja penyelenggaraan laga kandang dan tandang juga harus diikuti larang untuk suporter agar tidak melawat ke kandang lawan.
Baca Juga : Panpel Arema FC Terapkan Sistem Pengamanan Tingkat Tinggi Kepada Persebaya
Memang kalangan suporter yang sering bertikai seharusnya sudah mulai mendewasakan diri dan duduk bersama menjalin keakraban dengan suporter lain. Hal itu semata-mata demi membangun sepak bola nasional dengan modal persatuan dan fair play.
Bayangkan betapa indahnya menyaksikan Bonek dan Aremania duduk berdampingan di tribune, atau The Jakmania yang menjamu Bobotoh dengan kekeluargaan di SUGBK. Jangan sampai ada nyawa yang terbuang sia-sia lagi karena bentrokan jadi korban bentrokan antarsuporter.
Itu bukan hal yang mustahil diwujudkan suatu saat nanti. Namun sebelumnya perlu wadah pembinaan bagi suporter dengan melibatkan klub-klub agar tercipta sinergitas. Tapi saat ini, agaknya kita belum siap untuk itu. Jadi daripada ada korban berjatuhan lagi, mending melakukan antisipasi, bukan?
Editor | : | Taufan Bara Mukti |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar