Isu yang menimpa pekerja migran pun bukan satu-satunya isu HAM yang menghantui negara tersebut.
Qatar juga mendapat sorotan soal pembatasan kebebasan berpendapat, kriminalisasi komunitas LGBT, dan minimnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan warga minoritas.
Tidak heran jika penyelenggaraan Piala Dunia 2022 dituduh sebagai upaya Qatar membersihkan citra diri mereka.
Tindakan seperti ini dikenal dengan istilah sportswashing, atau pemanfaatan turnamen olahraga untuk memperbaiki citra sebuah negara.
Praktek ini umumnya dilakukan negara dengan reputasi buruk atau di bawah pemerintahan yang represif. Sportswashing pun bukan praktek baru.
Beberapa contohnya adalah Piala Dunia 1934 di Italia yang diadakan di rezim diktator Benito Mussolini, atau Olimpiade 1936 di Jerman saat Adolf Hitler dan NAZI berkuasa.
Olimpiade 2008 di Beijing, China, atau Formula 1 GP Qatar pun kerap dikategorikan sebagai ajang sportswashing.
Artikel The Guardian pada Januari 2021 mempertanyakan apakan 2022 merupakan tahun “keemasan” untuk praktek ini, karena dua turnamen besar di dalamnya.
Kota Beijing, China, menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022 pada 4-20 Februari lalu.
Mereka menyelenggarakan turnamen itu di tengah kritik soal perlakuan negara tersebut kepada etnis Uyghur Muslim di Xinjiang, serta konflik dengan Taiwan dan Hong Kong.
Setelah Olimpiade Musim Dingin pada awal tahun, Piala Dunia 2022 muncul sebagai ajang tutup tahun dengan serangkaian isu yang mengikuti Qatar.
Muncul pertanyaan soal kepatutan memilih negara yang bermasalah, terutama di aspek HAM, untuk mengadakan turnamen olahraga.
Seruan untuk memboikot penyelenggaraan Piala Dunia 2022 pun masih bergaung hingga hari ini.
Menarik ditunggu apakah semua kontroversi ini akan tersapu ingar-bingar saat Piala Dunia 2022 sudah dimulai, atau tetap jadi “hantu” yang mengikuti setiap hari hingga turnamen selesai.
Editor | : | Ade Jayadireja |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar