BOLASPORT.COM - Sepekan sebelum resmi bergulir, isu seputar penyelenggaraan seperti belum mau pergi dari Piala Dunia 2022.
Piala Dunia 2022 baru akan berlangsung pada 20 November hingga 18 Desember mendatang di Qatar.
Akan tetapi, keramaian seputar penyelenggaraannya sudah berlangsung jauh sebelum itu.
Tuduhan suap, isu soal kematian pekerja migran, masalah lingkungan hidup, hingga gelombang cedera pemain menjadi bayang-bayang turnamen empat tahunan tersebut.
Segalanya memang masih bisa terjadi, tetapi masih ada kemungkinan sejarah akan mengingat Piala Dunia 2022 sebagai Piala Dunia dengan paling banyak drama di dalamnya.
BolaSport.com mencoba merangkum lima isu besar yang terjadi di seputar penyelenggaraan Piala Dunia 2022.
1. Tuduhan suap
Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010 mengalahkan Amerika Serikat dan Australia.
Namun, pada 2011 muncul tuduhan bahwa pemerintah Qatar menyuap beberapa petinggi FIFA untuk memuluskan langkah negara mereka memenangkan proses pencalonan diri.
Tuduhan itu sempat dibantah melalui laporan yang dilakukan langsung oleh FIFA.
Toh, bantahan tersebut tak betul-betul menghapus dugaan yang muncul.
Pada 2014, The Sunday Times mempublikasikan dokumen berjudul FIFA Files yang mengklaim bahwa mantan anggota komite eksekutif FIFA, Mohamed Bin Hammam, punya andil dalam terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah.
FIFA Files mengungkapkan Bin Hammam menghabiskan 5 juta dolar AS (Rp 77 miliar) untuk menyuap beberapa petinggi organisasi sepak bola demi memuluskan langkah Qatar memenangi proses bidding.
Bin Hammam pun menyalahgunakan jabatannya di FIFA untuk memudahkan proses suap terjadi
Pada akhirnya, laporan tersebut dibantah setelah FIFA meluncurkan investigasi etik yang menunjukkan tidak ada bukti bahwa pihak Qatar memberi sogokan.
2. Pelanggaran HAM terhadap pekerja migran
Isu kesejahteraan pekerja migran menjadi topik yang paling lekat dengan Piala Dunia 2022 di Qatar selain ajang sepak bola itu sendiri.
Laporan dari The Guardian pada 2021 yang dikutip BolaSport.com menyebutkan bahwa tidak kurang dari 6.500 pekerja migran dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka meninggal dunia.
Data gabungan dari India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka menunjukkan ada 5.927 kematian pekerja migran dari 2011 hingga 2020.
Adapun data dari Kedutaan Besar Pakistan di Qatar mengungkapkan adanya 824 kasus kematian pekerja negara mereka dari 2010 hingga 2022.
Baca Juga: PIALA DUNIA - James Maddison Alami Cedera, Bagaimana Nasibnya dengan Timnas Inggris?
Catatan dari situs Amnesty International menunjukkan bahwa para pekerja di Qatar hidup di kondisi yang tidak layak.
Selain harus membayar mahal untuk biaya perekrutan, mereka hidup di pemukiman yang tidak layak tinggal, serta mengalami keterlambatan mendapat gaji.
Amnesti Internasional pun menuntut FIFA memberikan ganti rugi kepada pekerja migran yang dirugikan oleh penyelenggaraan Piala Dunia.
Tidak tanggung-tanggung, FIFA dituntut harus mengeluarkan uang setara 440 juta dolar AS atau Rp 6,5 triliun, yang merupakan anggaran penyelenggaraan Piala Dunia.
Sekjen FIFA, Fatma Samoura, dalam wawancara dengan Al-Jazeera pada 2021 mengatakan FIFA sudah mengambil beberapa langkah yang dinilai tepat menyikapi isu ini.
Namun, Samoura memastikan FIFA tetap mendukung Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
“Hal pertama yang kami lakukan adalah mendirikan badan penasihat HAM pada 2016 untuk menangani isu ini. Mereka memberikan beberapa rekomendasi kepada FIFA," kata Samoura.
“Sejak 2017, 85 persen masukan mereka kami terapkan untuk Piala Dunia 2018 dan juga untuk Qatar.”
“FIFA pun terus bekerja sama dengan organisasi pekerja internasional untuk memonitor situasi. Akomodasi para pekerja dicek reguler untuk memastikan mereka hidup layak.”
“Ini proses yang lama, apalagi untuk menyamai level beberapa negara lain. Namun, Qatar bisa menjadi inspirasi bagi semua negara,” ujar Samoura.
3. Klaim palsu netralitas karbon
Bukan cuma dari aspek hak asasi manusia, Piala Dunia 2022 juga mengundang protes dari pemerhati lingkungan hidup.
Protes ini terkait dari klaim Qatar bahwa edisi 2022 adalah Piala Dunia yang sudah netral karbon.
Netral karbon adalah upaya mengurangi emisi karbon dioksida yang dihasilkan dan menyebabkan efek gas rumah kaca yang berpengaruh ke pemanasan global.
Sebelumnya, pihak FIFA dan panitia pelaksana mengklaim bahwa total emisi Piala Dunia 2022 mencapai 3,6 juta metric ton.
Hanya saja, riset yang dilakukan Carbon Market Watch dan Greenly, dua lembaga lingkungan hidup, membantah klaim ini.
Riset yang mereka lakukan menunjukkan total emisi yang dihasilkan Piala Dunia 2022 mencapai 6 juta ton.
Salah satu penyebab klaim Qatar ini lemah adalah karena pihak mereka terindikasi tidak memperhitungkan efek pembangunan stadion baru dan infrastrukturnya.
Dikutip BolaSport.com dari rilis GSCC Network, jaringan internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup, sejumlah atlet dan aktivis lingkungan hidup mengkritik Qatar soal klaim netralitas karbon ini.
Mereka menilai klaim netralitas karbon yang keliru dari FIFA tersebut akan menyesatkan para atlet, penggemar sepak bola, dan tidak kurang dari lima miliar penonton di rumah,.
“FIFA berusaha menggambarkan diri mereka sebagai juara iklim, tetapi sejauh ini hanya memberikan sedikit, selain janji kosong,” kata Gilles Dufrasne, Global Carbon Market Lead for Carbon Market Watch.
“Janji mereka untuk mencapai netralitas karbon pada 2040 tidak didukung oleh rencana yang kredibel, dan mereka belum mengukur jejak mereka sendiri, atau mengklarifikasi sumber emisi mana yang mereka rencanakan untuk ditangani.”
“Fakta bahwa mereka sekarang mengiklankan Piala Dunia Qatar 2022 sebagai karbon netral benar-benar konyol.”
“Klaim ini sangat tidak memiliki kredibilitas, sulit dipercaya bahwa mereka bahkan mencoba (mengklaim seperti ini),” ujar Dufrasne.
Belum ada tanggapan dari FIFA maupun panitia pelaksana soal protes mengenai klaim yang mereka lontarkan.
Namun, saat BolaSport.com mengakses laman artikel di situs qatar2022.qa soal klaim Piala Dunia 2022 sebagai turnamen netral karbon, artikel itu sudah tidak bisa ditemukan.
4. Isu internal tim peserta
Bukan cuma tuan rumah yang dilanda masalah. Tim-tim peserta Piala Dunia 2022 pun tak lepas dari isu internal.
Salah satu contohnya adalah tim nasional Ekuador. Mereka diguncang isu pemalsuan identitas oleh salah satu pemain mereka, Byron Castillo.
Byron Castillo diindikasikan memalsukan identitasnya. Pemain yang berposisi sebagai bek kanan itu bukan berkebangsaan Ekuador, melainkan Kolombia.
Data ini disodorkan oleh Asosiasi Sepak Bola Cile (FFC) yang menunjukkan bahwa Castillo lahir di Kolombia dan bukan di Ekuador.
Tahun lahir pemain klub Leon itu juga diduga palsu. Selama ini, publik mengetahui Byron Castillo lahir pada 10 November 1998.
Namun, FFC mengeklaim tanggal lahir Castillo sebenarnya adalah 25 Juli 1995 alias dia memalsukan umurnya menjadi tiga tahun lebih muda.
Cile pun diuntungkan seandainya tuduhan terhadap Castillo terbukti.
Ekuador akan melorot posisinya di klasemen Kualifikasi Piala Dunia 2022 jika poin yang mereka raih itu dianulir dan bisa digantikan Cile bermain di Piala Dunia.
Pada akhirnya, Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) menetapkan Ekuador tetap bermain di Piala Dunia 2022 setelah tuduhan Cile terhadap Castillo tidak terbukti.
Namun, tim Ekuador akan mendapat pengurangan tiga poin pada kualifikasi Piala Dunia 2026 dan denda karena menggunakan dokumen berisi informasi palsu.
Bukan cuma tim Ekuador yang bermasalah. Posisi tim nasional Iran di Piala Dunia 2022 juga turut digugat.
Sejumlah mantan atlet negara itu menyurati FIFA agar mendiskualifikasi Iran dari Piala Dunia 2022 karena kondisi di dalam negeri yang sempat panas.
Semua ini adalah akibat kematian wanita bernama Mahsa Amini (22) yang diduga disiksa polisi moral Iran gara-gara pakaian yang tak sesuai aturan.
Baca Juga: PIALA DUNIA - Tak Berani Coret Iran dari Piala Dunia 2022, FIFA Kena Semprot Sepp Blatter
Kematian Amini memicu protes oleh warga lokal dan telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa di berbagai wilayah Iran.
Tidak cukup sampai situ, Iran juga mendapat kritik terkait keterlibatan dalam invasi Rusia ke Ukraina
CEO Shakhtar Donetsk, Serge Palkin, meminta FIFA mengganti timnas Iran dengan Ukraina sebagai kontestan.
Palkin menuding Rusia menyerang Ukraina dengan persenjataan yang dikirimkan oleh pemerintah Iran.
5. Tuduhan sportswashing
Seperti sempat disinggung pada poin kedua, Qatar bukan negara dengan rekam jejak yang mulus jika menyangkut soal hak asasi manusia.
Isu yang menimpa pekerja migran pun bukan satu-satunya isu HAM yang menghantui negara tersebut.
Qatar juga mendapat sorotan soal pembatasan kebebasan berpendapat, kriminalisasi komunitas LGBT, dan minimnya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan warga minoritas.
Tidak heran jika penyelenggaraan Piala Dunia 2022 dituduh sebagai upaya Qatar membersihkan citra diri mereka.
Tindakan seperti ini dikenal dengan istilah sportswashing, atau pemanfaatan turnamen olahraga untuk memperbaiki citra sebuah negara.
Praktek ini umumnya dilakukan negara dengan reputasi buruk atau di bawah pemerintahan yang represif. Sportswashing pun bukan praktek baru.
Beberapa contohnya adalah Piala Dunia 1934 di Italia yang diadakan di rezim diktator Benito Mussolini, atau Olimpiade 1936 di Jerman saat Adolf Hitler dan NAZI berkuasa.
Olimpiade 2008 di Beijing, China, atau Formula 1 GP Qatar pun kerap dikategorikan sebagai ajang sportswashing.
Artikel The Guardian pada Januari 2021 mempertanyakan apakan 2022 merupakan tahun “keemasan” untuk praktek ini, karena dua turnamen besar di dalamnya.
Kota Beijing, China, menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022 pada 4-20 Februari lalu.
Mereka menyelenggarakan turnamen itu di tengah kritik soal perlakuan negara tersebut kepada etnis Uyghur Muslim di Xinjiang, serta konflik dengan Taiwan dan Hong Kong.
Setelah Olimpiade Musim Dingin pada awal tahun, Piala Dunia 2022 muncul sebagai ajang tutup tahun dengan serangkaian isu yang mengikuti Qatar.
Muncul pertanyaan soal kepatutan memilih negara yang bermasalah, terutama di aspek HAM, untuk mengadakan turnamen olahraga.
Seruan untuk memboikot penyelenggaraan Piala Dunia 2022 pun masih bergaung hingga hari ini.
Menarik ditunggu apakah semua kontroversi ini akan tersapu ingar-bingar saat Piala Dunia 2022 sudah dimulai, atau tetap jadi “hantu” yang mengikuti setiap hari hingga turnamen selesai.
Editor | : | Ade Jayadireja |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar